Ragam pondok pesantren di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) cukup bervariasi. Ada yang pesantren yang fokus mendalami ajaran Islam berbasis kitab-kitab kuning klasik dan modern. Ada pula pesantren yang fokus mendidik generasi Al-Qur’an melalui program tahfidz dan kajian tafsir.
Atau ada juga pesantren yang mengkombinasi keduanya, bahkan belakangan ini muncul ragam baru, seperti pesantren agribisnis, pesantren kaligrafi, pesantren sains, dan lain sebagainya. Namun, terdapat varian pesantren yang sudah ada cukup lama namun sampai sekarang masih tetap sedikit keberadaannya, yakni “pesantren tirakat”.
Sisi Lain
Pesantren tirakat tidak menekankan aspek intelektual santri, melainkan melatih aspek spiritualnya yang dilatih agar jiwa dan raganya bersih. Pesantren model ini tersebar di beberapa daerah di Indonesia, terutama di pulau Jawa.
Jika di kawasan Banten ada Kiai Munfasir, di Nganjuk ada Kiai Mujajad atau dipanggil Mbah Jad. Nganjuk seperti tak pernah absen melahirkan orang-orang alim disetiap zaman. Maha Guru ulama tanah Jawa yang masyhur itu, Kiai Zainudin Mojosari Nganjuk seakan terlahir di setiap era.
Mbah Jad yang usianya saya perkirakan 70 tahunan tidak menikah, atau istilah santrinya uzubah. Hingga saat ini beliau istikomah berpuasa dan mengkonsumsi nasi jagung dan lauk tak bernyawa. Santri Jawa menyebutnya ngrowot.
Selain riwayat pendidikannya, saya tidak banyak tahu asal usul Mbah Jad. Tapi pengakuan dari Dzuriyah KH. Abdul Karim, dan keunikan pribadinya membuat saya harus berkunjung ke pesantrennya.
Pesantren Mbah Jad, berupa kamar-kamar kecil yang terbuat dari kayu dan bambu. Gotakan-gotakan kecil itu dihuni oleh 30 santri.
Tidak banyak memang, karena rekrutmennya cukup sulit. Syarat masuk menjadi penghuni pesantren ini harus puasa ngrowot 40 hari, 1 tahun, 2 tahun sampai 3.5 tahun. Setiap santri baru diberi masa puasa berbeda-beda. Setelah lulus dilanjutkan puasa dawud.
Perbedaannya dengan di Kiai Munfasir Banten, di Mbah Jad santri diajari 12 disiplin ilmu secata lengkap, tauhid, fikih, tafsir, nahwu, shorof, mantiq, badi’ bayan ma’ani (balaghah), ‘arudh qawafi, dan seterusnya. Di Kiai Munfasir tidak selengkap itu.
Perbedaan lainnya di pesantren asuhan Kiai Munfasir, syarat masuk menjadi santri yakni pola makan harian dan disiplin dzikir lebih ‘ekstrem’.
Sedangkan kesamaan paling menonjol adalah kebersihan. Ya, sangat bersih. Kesamaan lain, ketersediaan air bersih, jernih dan melimpah.
Mbah Jad, adalah sisi lain wajah Nahdlatul Ulama. Ormas Islam yang saya disebut sebagai penangkaran ajaran-ajaran Nabi yang sangat kaya. (Ahmad Tsauri)