Berkunjung atau mukim di luar negeri mungkin menjadi keinginan dari jamak orang. Baik keperluan studi, riset, travelling, atau hajat lainnya.
Bagi muslim yang taat tentu saja shalat lima waktu tetap wajib melaksanakannya. Namun, dalam hal ini setiap wilayah memiliki waktu berbeda-beda dalam pelaksanaannya.
Sudah lazim kita pahami, bahwasa bumi mengalami rotasi pada sumbu porosnya sendiri. Salah satu akibat antara lain adalah pergantian siang dan malam.
Pergantian tersebut dialami oleh daerah sekitar khatulistiwa secara seimbang, yakni masing-masing siang dan malam selama 12 jam. Tetapi, hal ini tidak terjadi daerah kutub dan sekitarnnya. Matahari sebagai penanda shalat pun akan sulit dikenali di daerah-daerah bergaris lintang tertentu.
Bagi orang yang tinggal di daerah abnormal seperti kutub, akan memiliki keajaiban (fenomena) alam terutama terkait waktu terbit dan terbenam Matahari. Maka, dalam kondisi seperti ini paling tidak ada tiga kemungkinan.
Pertama, ada wilayah yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam sehari atau sebaliknya mengalami malam selama 24 jam sehari.
Kedua, ada wilayah yang pada bulan tertentu tidak mengalami hilangnya mega merah sampai datangnya waktu Subuh, sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat Magrib dan mega merah saat subuh.
Ketiga, ada wilayah yang mengalamai siang dan malam akan tetapi sewaktu-waktu panjang siang lebih lama atau sebaliknya.
Shalat merupakan ibadah yang sudah mempunyai ketentuan waktunya masing-masing. Hal ini sebagaimana keterangan kitab suci Alquran berikut ini.
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ [4]: 103)
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan. (QS. Al-Isra`: 78)
Ayat-ayat ini menyatakan, untuk menentuakan awal waktu shalat yakni dengan melihat tanda-tanda alam.
Seperti, untuk waktu Dhuhur dimulai sejak matahari tergelincir dari timur condong ke barat. Untuk Ashar, dimuali pada saat panjang bayang-bayang sama panjang dengan benda aslinya dan ada juga ada yang menyebutkan saat panjang bayang-bayang dua kali panjang dirinya.
Adapun Magrib, dimulai ketika Matahari terbenam, sementara waktu Isya’ dimulai dengan hilangnya mega merah pada awan langit bagian sebelah barat. Sedangkan Subuh, dimulai sejak munculnya fajar sampai terbitnya matahari.
Waktu-waktu yang sudah ditentukan sedemikian rupa itu tidak berlaku di daerah yang waktu antara siang-dan malamnya ambyar, tidak jelas, sulit untuk dibedakan.
Ada bagian bumi yang mengalami siang lebih-lebih panjang dan malam yang pendek. Ada pula daerah yang untuk sekadar menentukan waktu zuhur saja akan kesusahan.
Mengapa bisa demikian? Mataharinya saja bergerak menurut lingkaran yang benar-benar sejajar letaknya dengan ufuk, dan tingginya kurang lebih akan selalu sama. Nah, daerah sebaliknya ini akan mengalami malam yang lebih panjang dan siang yang pendek.
Bukan hanya waktu Dhuhur, bahan Ashar dan Magrib juga tidak terdaftar. Ya, karena memang pada saat itu Matahari tidak terbit dan tidak terbenam sehingga malam hari panjangnya bisa sampai 24 jam.
Nah, bagi yang belum tahu sebaiknya pahami terlebih dahulu tentang konsep waktu-waktu shalat di daerah abnormal ini. Berikut beberapa pendapat ahli fikih dan astronomi mengenai hukum dan solusi aturan waktu shalat di kawasan abnormal seperti kutub utara.
Ia menguraikan bahwa keadaannya boleh diumpamakan seperti seorang yang tertidur di waktu Magrib, lalu terbangun di waktu Subuh. Sehingga adanya waktu Isya tidak disadarinya. Ilmu Fikih mengajarkan, bahwa dalam keadaan yang demikian orang yang bersangkutan setelah terbangun atau sadar kembali, wajib segera melakukan shalat Isya, setelah itu shalat Subuh.
Majelis ini berpendapat, bagi kawasan yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam sehari atau sebaliknya, maka jadwal salat disesuaikan dengan kawasan yang terdekat.
Penentuan waktu salat di daerah yang lintangnya melebihi 45° Utara atau Selatan dapat menggunakan daerah yang memiliki lintang 45° saja dan bujurnya tidak berubah. Contohnya Bandar Oslo di Norway (φ=59,5°LU, λ=10,45° BT) waktu shalat yang digunakan adalah waktu yang posisi geografisnya φ=45° LU, λ=10,45° BT.
Dalam bukunya Menggagas Fiqh Astronomi, untuk daerah dengan lintang lebih dari 48° pada musim panas, saat senja dan fajar bersambung (continous twilight), sehingga waktu Isya dan Subuh di-qiyaskan (disamakan) pada waktu normal sebelumnya.
Demikian persoalan waktu shalat di daerah abnormal seperti kutub utara, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dengan begitu, kewajiban Muslim tetap bisa terlaksana. Semoga bisa bermanfaat menjadi pedoman bagi siapa saja bertempat tinggal atau sedang melakukan perjalanan di belahan bumi yang waktunya abnormal. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Azhari, Susiknan. Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,cet II, (Yogyakarta: SuaraMuhammadiyyah, 2007)
Sabiq, Sayyid. Jilid 1, terj. Khairul Amru Harahap dkk., (Jakarta : Cakrawala Publishing, 2008).
Djambek, Saadoe’ddin. Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, Cet I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Hambali, Slamet. Ilmu Falak “Penentuan Awal Waktu Shala Dan Arah Kiblat Seluruh Dunia”, Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo, 2002.
Djamaluddin, Thomas. Menggagas Fiqh Astronomi Telaah Hisab Rukyat dan Pencarian Solusi Perbedaan Hari Raya, cetI,( Bandung: Kaki Langit, 2005).
Dar Ifta’, الصيام في الأماكن التي يقصر فيها الليل, http://dar-alifta.org/ar/ViewResearch.aspx?ID=35.