Kehadiran perempuan sebagai ulama bukanlah sesuatu yang baru. Aisyah ra adalah salah satu perempuan yang bisa diperhitungkan keilmuannya. Selain meriwayatkan hadis, beliau juga merupakan guru para shahabat Nabi. Dalam satu riwayat, Rasulullah bahkan mengatakan “Ambillah setengah dari agamamu pada perempuan bermuka segar kemerahan ini.” Hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ra., perempuan yang memiliki derajat yang tinggi hingga bisa mengajarkan agama (Musdah Mulia: 2014, 63).

Walaupun demikian, peran perempuan dalam tradisi keilmuan agama masih banyak yang kurang diperhitungkan hanya karena ia perempuan. Betapa pun tinggi ilmu dan mulianya akhlak, laki-laki masih dianggap memiliki otoritas yang lebih tinggi hanya karena dia laki-laki.

Musdah Mulia dalam Ensiklopedia Muslimah Reformis, mengenalkan sosok Muslimah Reformis. Ini merupakan salah satu upayanya dalam mendefinisikan kembali konsep perempuan shalihah yang kerap disalahpahami sebagai sosok perempuan yang pasif, tidak memiliki banyak peran dalam kehidupan masyarakat dan juga sangat bergantung pada laki-laki.

Menurut pendiri Yayasan Mulia Raya ini, sebagaimana yang disampaikannya dalam diskusi Bedah Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis, muslimah adalah perempuan yang aktif merajut damai. Sesuai dengan padanan katanya salima, salam, yang bisa diartikan dengan damai.

Sedangkan kata reformis memiliki makna yang sama dengan shalihah,  yakni perempuan yang senantiasa membawa kebaikan. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain, lingkungan dan juga untuk alam semesta.

Muslimah reformis dapat kita pahami sebagai sosok perempuan yang meyakini dan berpegang teguh pada prinsip tauhid. Muslimah meyakini bahwa hanya Tuhanlah yang patut disembah dan diagungkan. Selain Tuhan, semua adalah makhluk yang memiliki kedudukan setara, baik itu laki-laki maupun perempuan. Tidak ada manusia nomor satu dan nomor dua (Musdah Mulia: 2020, 38).

Melalui ajaran tauhid seorang Muslimah reformis berperan aktif dan dinamis dalam kehidupan masyarakat. Dengan prinsip ini pula ia berjuang melawan segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, kekerasan, dan sederet bentuk kezaliman lainnya.

Menjadi Muslimah reformis tidak menutup kemungkinan untuk juga menjadi perempuan ulama. Hal ini karena keduanya memiliki prinsip-prinsip yang sama. Bahwa perempuan, memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Ia bisa memiliki kedalaman ilmu, kemuliaan akhlak dan juga turut berperan aktif membangun perdamaian dan peradaban di muka bumi.

Dalam perkembangan peradaban dunia, perempuan telah banyak yang hadir dan berkiprah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, tidak terkecuali dalam bidang agama. Dari yang meriwayatkan hadis, menjadi sufi hingga yang memimpin pondok pesantren. Sayangnya, peran dan kehadiran mereka jarang sekali ditonjolkan. Tidak heran jika penafsiran agama pun sangat didominasi laki-laki sehingga menyingkirkan sudut pandang dan pengalaman perempuan.

Musdah Mulia, menjadi salah satu representasi dari sosok Muslimah Reformis dan juga perempuan ulama Indonesia. Ia tidak hanya memiliki keilmuan yang mumpuni dalam bidang agama, tetapi juga turut aktif merajut perdamaian, berjuang menghapus kekerasan dan ketidakadilan serta tidak pernah berhenti melakukan kerja-kerja kemanusiaan.

Sosok lain yang bisa kita akui sebagai seorang perempuan ulama dan Muslimah reformis adalah Masriyah Amva. Ia merupakan pimpinan Pondok Pesantren Kebon Jambu, Cirebon. Penulis buku Menggapai Impian ini juga mampu mematahkan anggapan bahwa pimpinan pesantren harus laki-laki, harus kiai.

Kedua sosok di atas telah menunjukkan bahwa perempuan bisa berperan dalam berbagai bidang. Perempuan bisa menjadi aktivis, penulis, politisi, atau juga ulama yang senantiasa menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin. Sosok Muslimah reformis dan perempuan ulama sudah saatnya untuk diterima dan diakui keberadaannya.

Kehadiran perempuan dalam bidang agama bisa berdampak sangat luar biasa. Melalui Ensiklopedia Muslimah Reformis, Musdah Mulia telah membuktikannya. Penafsiran atas teks-teks agama yang sebelumnya bisa sangat misoginis, dapat berubah atau ditafsirkan kembali dengan sudut pandang yang lebih humanis-feminis. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada kehidupan perempuan, tetapi juga bisa membawa maslahat bagi semua manusia dan seluruh makhluk Tuhan tanpa terkecuali.

Leave a Response