Sosrokartono lahir di Mayong, Jepara 27 Rabiul Awal 1297 H/10 April 1877 M dari keluarga bangsawan. Saat ia dilahirkan Ayahnya menjabat sebagai wedana di Mayong yang kala itu masih berstatus sebagai ibukota Kawedanan. Sekarang Mayong menjadi kecamatan di Jepara (Salam: 1979).

Jepara berasal dari “Ujungpara”, yang kemudian berubah menjadi “Ujung Mara”, “Jumpara” dan akhirnya menjadi “Jepara”. Dalam bahasa Jawa, kata “Ujung” berarti daratan yang menjorok ke laut sedangkan kata “para” berarti sebuah arah.

Dengan demikian Ujung Para merupakan sebuah arah atau daerah yang terletak di sebuah daratan yang menjorok ke laut. Ini bisa dilihat secara geografis bahwa Jepara memang terletak di ujung utara pulau Jawa.

Jepara yang terletak di sudut utara pulau Jawa sesungguhnya menyimpan sejarah panjang perjuangan bangsa Indoneisa. Semenjak kepemimpinan seorang Ratu legendaris bernama Ratu Shima yang beragama Hindu, dilanjutkan oleh Ratu Kalinyamat yang beragama Islam hingga menjadi kota kelahiran ikon perjuangan perempuan, R.A. Kartini, Jepara menampilkan perannya mencetak karakter perempuan yang kuat.

Ayah Sosrokartono bernama R.M. Adipati Ario Sosroningrat, putra R.M.A.A. Tjondronegoro IV, bupati Demak yang berpikiran progresif dan terbuka. Sementara Ibunya bernama Nyai Ngasirah, putri KH. Mudirono dan Nyai Siti Aminah, seorang ulama dan pengasuh pesantren di Telukawur, Tegalsambi, Jepara.

Sosrokartono merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Kedua kakaknya adalah Slamet Sosroningrat dan Sosroboesono. Sedangkan adik-adiknya adalah R.A. Kartini, pahlawan emansipasi, R.A. Kardinah, R.M. Sosromoeljono, R.A Sosrohadikusumo dan R.M. Sosrorawito (Muhibbuddin: 2019).

Dari kedua orang tuanya, Sosrokartono tampak memiliki dua garis nasab yang istimewa. Selain seorang bangsawan, ia juga memiliki darah ulama. Menggunakan istilah sekarang, Sosrokartono merupakan seorang “Gus”, yakni seorang keturunan kiai atau pengasuh pesantren.  Darah bangsawan dan ulama ini pula yang melatarbelakangi dirinya menjadi seorang yang haus pada ilmu pengetahuan.

Akan tetapi setelah beberapa waktu, ayah Sosrokartono, Ario Sosroningrat menikah lagi dengan RA Moeryan, seorang putri dari bangsawan Madura yang pernah menjabat sebagai bupati Jepara. Hal ini dilakukan karena Ario Sosroningrat akan diangkat sebagai bupati di mana pada masa itu tradisi feodal memberlakukan aturan bahwa syarat menjadi Bupati adalah memiliki istri sesama bangsawan sehingga pada akhirnya Nyai Ngasirah hanya menjadi Garwa Ampil (istri selir) sementara RA Moeryan menjadi permaisuri (Muhibbuddin: 2019).

Kiprah Sosrokartono di dunia internasional tidak terlepas dari latar belakang pendidikannya. Ia –selain belajar di dalam negeri- juga belajar di Eropa, tepatnya di Universitas Leiden di Belanda. Di Belanda ia berhasil meraih gelar doktorandus di bidang Bahasa dan Sastra Timur dengan predikat Summa Cum Laude. Gelar itu berhasil ia raih setelah ia diuji oleh para guru besar Universitas Leiden.

Setelah ia lulus dari Universitas Leiden, ia bekerja sebagai wartawan perang dalam Perang Dunia I (1914-1918). Pada saat itu ia mendaftarkan diri menjadi wartawan di surat kabar The New York Herald yang beredar dari 1835-1924. Ketika Perang Dunia I meletus, koran yang bermarkas di Amerika ini terbit daam edisi Eropa dan kelak kemudian berkongsi dengan The New York Tribune dan selanjutnya menjadi The New York Herald Tribune (Djojonegoro: 2016).

Dapat diterima sebagai wartawan bereputasi internasional bukanlah hal yang mudah. Perlu kecerdasan dan tingkat intelektual yang tinggi. Terlebih saat itu Sosrokartono harus bersaing dengan berbagai pelamar dari seluruh dunia. Ujian yang diajukan adalah meringkas artikel panjang menjadi 30 kata.

Dia diterima karena mampu meringkas artikel panjang menjadi 27 kata ke dalam bahasa Perancis, Inggiris, Spanyol dan Rusia. Sedangkan yang lainnya rata-rata hanya mampu meringkas lebih dari 30 kata (Suprana: 2020).

Kiprah internasional Sosrokartono sebetulnya sudah ia mulai waktu masih menjadi mahasiswa di Belanda. Pada 1899 ia menyampaikan sebuah pidato pada konferensI Bahasa dan Sastra Belanda ke 25 (Frijhoff & Spies: 2004).

Tentu saja pidatonya menggunakan bahasa Belanda dengan fasih hingga audiens yang hadir pada konferensi tersebut terkagum dan takjub atas kecerdasan pangeran Jawa tersebut. Pidatonya yang berjudul “Het Nederlandsch Indie” (Bahasa Belanda di Hindia) berisi pembelaan atas hak-hak bumi putera di Hindia Belanda yang tidak diperhatikan oleh pemerintah kolonial Belanda (Muhibbuddin: 2019).

Selain itu, Sosrokartono juga diketahui pernah menjadi penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations), organisasi yang dibentuk setelah Perang Dunia I yang bertugas menjaga kedamaian dunia. Namun sebelum menjadi penerjemah di LBB, ia lebih dulu menjadi penerjemah tunggal untuk sekutu.

Karir sebagai penerjemah ini sebetulnya tidak terlepas dari kemampuannya menguasai berbagai bahasa internasional. Diketahui, Sosrokartono menguasai 26 bahasa asing sehingga untuk menjadi penerjemah internasional ia tidak akan kesulitan (Susetya: 2019).

Akan tetapi karir sebagai penerjemah tunggal sekutu tidak berjalan lama. Ia kemudian memutuskan untuk meinggalkan pekerjannya tersebut karena ia menemukan banyak terjadi intrik yang tidak sesuai dengan nuraninya. Tidak lama setelah itu ia diangkat oleh kedutaan Perancis di Den Haag sebagai ahli bahasa. Dan kemudian setelah LBB berdiri di Genewa, Swiss ia pun hijrah ke kota itu sebagai penerjemah (Muhibbuddin: 2019).

Karir intelektual Sosrokartono yang cemerlang hingga menembus dunia internasional menunjukkan bahwa kapasitas intelektual bangsa Indonesia tidak kalah dengan bangsa lain. Sosrokartono membuktikan bahwa ia mampu menguasi 26 bahasa internasional yang tidak semua orang, bahkan bangsa lain menguasainya.

Ia juga berhasil mengalahkan pelamar-pelamar harian The New York Herald Tribune. Dengan demikian seharusnya bangsa Indonesia bangga dan percaya diri di hadapan bangsa lain. Bukan justru merasa rendah dan membanggakan bangsa lain.

 

Salam, Solichin, Mengenal Drs. R.M.P. Sosrokartono, Gunung Muria. 1979.

Muhibbuddin, Muhammad, R.M.P. Sosrokartono: Kisah Hidup dan Ajaran-Ajarannya, Yogyakarta: Araska, 2019.

Suprana, Jaya, Rigth or Wrong My Country, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2020.

Frijhoff, Willem and Marijke Spies, Dutch Culture in European Perspective, Netherland: Uitgecerij Van Gorcum, 2004.

Susetya, Wawan, Dharmaning Satriya, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2019.

Leave a Response