Tidak lama ini dunia entertainment Indonesia kehilangan salah satu artis senior, yakni Dorce Gamalama. Ia adalah sosok waria yang cukup dikenal dan malang melintang mewarnai berbagai acara di layar televisi kita.
Sebagai seorang public figure, Dorce dikenal sebagai pribadi yang sangat dermawan. Di antara kebiasaan baik yang sering dilakukan olehnya yaitu mendatangi daerah-daerah yang terkena bencana untuk memberikan bantuan secara langsung. Hal inilah yang tidak banyak diekspos oleh media massa.
Selain itu, Dorce juga memiliki banyak anak asuh yang dirawat dan diasuh hingga dewasa. Tindakan tersebut yang menjadikannya dipanggil sebagai “ibu” meski mereka tidak lahir dari rahimnya.
Sebelum meninggal dunia, sempat muncul kontroversi terkait pernyataan Dorce Gamalama yang berwasiat untuk dimakamkan sebagai perempuan. Beberapa ulama seperti Ketua MUI KH Cholil Nafis, Buya Yahya, Gus Miftah, menyatakan bahwa Dorce tidak boleh dimakamkan sebagai perempuan, karena hal itu menyalahi kodratnya yang lahir dengan jenis kelamin laki-laki dan dinilai melanggar syariat.
Berbeda dengan para pemuka agama di atas, Ustadzah Lulung Mumtaza menyatakan bahwa wasiat seseorang tidak dapat diubah, apalagi perubahan kelamin Dorce sudah melalui konsultasi dengan para ahli medis dan psikolog.
Keputusan Dorce untuk mengganti alat kelaminnya memang melalui proses yang cukup panjang. Dia harus mendapatkan rekomendasi dari berbagai dokter lintas disiplin. Memang secara fisik dia berkelamin laki-laki, tetapi tidak semua ciri-ciri fisik laki-laki dimilikinya, seperti jakun atau bulu pada yang biasa tumbuh pada seseorang laki-laki. Sedangkan secara kejiwaan, Dorce sejak kecil merasakan dirinya lebih nyaman sebagai seorang perempuan.
Apa yang dialami oleh Dorce Gamalama juga dialami oleh semua yang terlahir sebagai waria. Pergolakan batin karena merasa terjebak di dalam tubuh yang salah dan ketidaksesuaian antara fisik dan jiwanya, berimplikasi pada ketidakjelasan status mereka.
Sebagai manusia yang memiliki ketidakjelasan identitas, seorang waria tentu juga berhadapan dengan hukum-hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis yang menempatkan seorang waria pada hak dan kewajibannya sebagai makhluk sosial, individu serta makhluk religius.
Keputusan Dorce tersebut menjadi salah satu cara untuk memperjelas identitasnya. Sebagai individu, Dorce merasa lebih tenang dengan identitasnya sebagai perempuan. Hal itu karena sesuai dengan hati nurani dan jiwanya yang merasa dirinya perempuan.
Sedangkan sebagai makhluk sosial, kejelasan identitas Dorce sebagai seorang perempuan mempermudahnya untuk berinteraksi dan berhadapan dengan berbagai aturan serta hukum normatif negara. Sebagai seorang muslim, Dorce merasakan kemudahan dalam beribadah ketika identitasnya jelas. Menggunakan mukena dan bisa menunaikan ibadah haji dengan tenang. Tentu saja perjalanan spiritual itu bersifat personal yang hanya bisa dirasakan oleh masing-masing orang.
Kehadiran seorang waria sebagai manusia memang tidak bisa ditolak. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari seorang waria seringkali merasa ditolak keberadaannya dan mengalami berbagai diskriminasi, serta mendapatkan sederet stigma negatif yang melekat pada diri mereka sebagai seorang waria. Hal ini tentu membuat kehidupan mereka tidak bisa dilalui dengan mudah.
Selama ini fenomena waria dianggap sebagai fenomena yang tunggal. Padahal faktanya waria merupakan fenomena yang beragam. Sehingga seharusnya mereka juga dihukumi secara berbeda.
Lebih parah lagi, penyebutan LGBT seringkali hanya ditujukan pada sosok waria. Karena dibandingkan dengan kelompok gay dan lesbian, secara kasat mata tentu waria lebih mudah untuk dikenali.
Setidaknya ada tiga istilah yang merujuk pada fenomena waria, yakni hermaphrodit, transvetisme dan transeksualisme. Hermaphrodit berasal dari kata “Hermaphroditos,” nama dewa dalam legenda Yunani yang berkelamin ganda, anak dari perkawinan Hermes dan Aphrodide.
Hermaphrodit adalah keadaan seseorang yang sulit ditentukan jenis kelaminnya karena memiliki dua alat kelamin, ataupun memiliki alat kelamin yang tidak jelas. Sedangkan Tranvetisme adalah sebuah nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya.
Di sini, ia akan mendapatkan kepuasan seks dengan memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Berbeda dengan hermaphrodit dan transvetisme, transeksual merupakan keadaan seseorang yang merasa terjebak di dalam tubuh yang salah, alat kelaminnya tidak sesuai dengan kejiwaannya.
Waria dan Fikih
Fenomena waria juga dibahas di dalam teks agama, di antaranya dalam fikih yang dikenal dengan Khuntsa. Istilah “khuntsa” di sini merujuk pada ambiguitas alat kelamin, karena memiliki dua alat kelamin atau tidak memiliki keduanya. Dari definisi ini khuntsa sebenarnya merujuk pada fenomena hermaphrodit, karena yang menjadi persoalan utamanya adalah alat kelamin secara fisik yang tidak jelas.
Selain dalam kitab fikih, di dalam hadis juga terdapat istilah mukhannats, yang berarti laki-laki berperilaku sebagai perempuan, dan istilah mutarajilat yang berarti perempuan berperilaku sebagai laki-laki.
Dalam konteks ini, paling tidak ada lima (5) versi hadis yang berbicara tentang mukhannats:
Hadis pertama tentang larangan membunuh seorang waria ini diceritakan oleh Abu Hurairah ketika suatu hari Nabi Saw. bertemu dengan seseorang yang mencelupkan kedua tangan dan kaki seorang mukhannats karena dia berperilaku menyerupai seorang perempuan dan kemudian ia meminta izin kepada Nabi untuk membunuhnya, kemudian Nabi menyatakan bahwa dilarang untuk membunuh orang-orang yang masih melaksanakan shalat.
Sedangkan hadis kedua yang terkait dengan larangan bagi seorang mukhannats untuk memasuki rumah Nabi Saw. ini diceritakan di hampir semua kitab hadis. Bahkan, hadis ini dituliskan secara berulang di setiap kitab hadis tersebut dan dimasukkan di dalam bab-bab yang berbeda-beda dengan pernyataan yang saling melengkapi. Di dalam hadis tersebut diceritakan seorang mukhannas yang masuk ke rumah istri Nabi Saw, ‘Aisyah dan dalam versi yang lain masuk ke rumah Ummu Salamah. Kemudian mukhannats tersebut bercerita tentang kemolekan seorang perempuan yakni putri Ghailan. Mendengar hal tersebut, Nabi Saw. kemudian melarangnya untuk masuk ke rumah istri beliau.
Larangan ini terkait dengan mukhannats yang menceritakan kemolekan tubuh seorang perempuan. Karena di dalam hadis yang lain juga diceritakan bagaimana seorang mukhannats yang selalu datang untuk meminta makan dan kemudian Nabi Saw. memberikan izin masuk rumah setiap hari jumat dan setelah makan mukhannats itupun pulang. Dalam konteks ini, terlihat bagaimana Nabi bersikap manusiawi dalam memperlakukan seorang mukhannats.
Ketiga adalah hadis yang melaknat seorang mukhannats dan mutarajilat. Hadis ini juga terdapat di hampir semua kitab hadis. Namun demikian, di dalam kitab Syarh Muslim, Imam Al-Nawawi menyatakan bahwa mukhannats yang dilaknat di sini tipe yang berperilaku menyerupai lawan jenisnya karena sengaja dan bukan karena kodratnya.
Demikian juga di dalam kitab Syarh Bukhari juga dijelaskan bahwa mukhannats itu dibagi menjadi dua, yakni (1) mukhannats yang memang diciptakan Allah sebagai seorang mukhannats dan tidak memiliki hasrat kepada perempuan, dan (2) mukhannas yang berperilaku sebagai perempuan karena kesengajaan.
Keempat adalah hadis tentang larangan seseorang untuk menyebut orang lain dengan sebutan mukhannats. Hadis ini jelas terkait dengan larangan seseorang memperolok-olokkan orang lain dengan sebutan yang tidak sesuai dengan kenyataannya.
Adapun hadis kelima terkait hak waris bagi orang yang tidak memiliki alat kelamin yang jelas, sehingga hak waris tersebut didasarkan pada alat kelamin yang berfungsi. Hadis ini menjadi dasar hukum waris bagi khuntsa dalam kitab fikih yang mendasarkan pada ciri fisiknya.
Dari sini kemudian, kita bisa mengambil contoh bagaimana perilaku Nabi Saw. terhadap waria. Nabi melindungi seorang waria yang akan dibunuh, Nabi juga membiarkan waria masuk ke dalam rumah lalu memberinya makan.
Sedangkan terkait dengan larangan untuk masuk ke rumah beliau dan laknat yang ditimpakan kepada waria, telah dijelaskan bahwa hal tersebut ditujukan bagi seseorang yang sengaja berperilaku sebagai lawan jenisnya dan memiliki hasrat kepada perempuan, yang dalam hal ini bisa disebut dengan gejala “transvestisme”.
Kemudian, bagi seorang mukhannats atau waria yang sejati dan tidak memiliki hasrat kepada perempuan, mereka bukanlah termasuk golongan yang dilaknat. Dalam hal ini, mereka termasuk kelompok yang disebut “transeksual”. Adapun untuk waria dalam kategori khuntsa dalam konteks saat ini disebut dengan “hermaphrodit”.
Lalu bagaimana dengan konteks waria seperti Dorce Gamalama, apakah dia termasuk golongan orang yang terlaknat karena termasuk laki-laki yang berperilaku perempuan dengan sengaja, ataukah bukan termasuk golongan tersebut.
Melihat fenomena gejala kewariaan yang beragam, menurut penulis, seorang agamawan tidak bisa serta merta memutuskan sebuah hukum hanya melihat pada sisi fisik dan membaca teks agama secara tekstual. Tetapi, seharusnya melibatkan berbagai ahli dari berbagai macam disiplin, terutama kedokteran, kejiwaan, dan psikologi.
Melalui pertimbangan demikian, ijtihad hukum pada kasus tersebut bisa betul-betul menyelesaikan persoalan secara obyektif. Hal ini karena pada dasarnya seorang waria secara normatif harus ditentukan apakah dia sebagai laki-laki dan mengikuti segala aturan sebagai laki-laki ataukah sebaliknya.
Gambar ilustrasi: Konde.co