Sejak tahun 2020, terjadi perubahan besar-besaran dan hal-hal yang sifatnya baru mulai muncul di permukaan. Dari kejadian inilah yang melatarbelakangi banyak kalangan menyebutnya dengan era disrupsi. Secara makna, disrupsi diartikan sebagai sebuah masa di mana terjadi perubahan secara signifikan dan inovasi beragam, yang secara fundamental berdampak pada berubahnya semua sistem di berbagai lini, bahkan cara-cara baru dalam menunjang segala hal.
Terlebih hadirnya Covid-19 waktu itu, menjadi titik mula perubahan besar terjadi. Semua serba digital, dan memaksa semua kegiatan di berbagai sektor beroperasi dari rumah saja. Demikian menjadi pemicu mengapa 2020 disebut era perubahan, yaitu digitalisasi secara massal. Pesatnya perkembangan teknologi digital merupakan poin utama penyebutan istilah disrupsi.
Memang alasan pertama dari munculnya istilah ini bermula hanya pada mode ekonomi, dari yang sebelumnya konvensional menuju pemasaran digital dengan memanfaatkan platform internet. Namun, pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Termasuk pula penyebaran paham ekstremis dan terorisme yang kini memanfaatkan ruang digital dalam mendoktrin, propaganda, bahkan pendanaan dalam menunjang aktivitasnya.
Internet Sebagai Kendaraan
Efektivitas media daring, menjadi ladang basah dan kendaraan utama di era disrupsi dalam menyebarkan ideologi takfiri. Begitu pula upaya merekrut anggota yang kemudian diiming-imingi imbalan surga hingga kemudian turut menjadi bagian dari kegiatan penyerangan. Sebagaimana Komjen Pol. Dr. Boy Rafl Amar, M.H (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mengungkapkan bahwa kita memiliki tantangan besar dalam menanggulangi isu terorisme sejak era pandemi hingga sekarang.
Sebagaimana karakteristik ideologi Islam Ekstrem (ghuluw), jargon jihad dengan dali-dalil agama, menjadi senjata ampuh dalam meluluhkan umat muslim yang minim pemahaman moderat dalam beragama. Khususnya kaum milenial, mereka yang terhimpit masalah ekonomi, dan kaum perempuan, adalah sasaran utama dalam menggencarkan aksi terorisme.
Salah satu contoh beberapa tahun terakhir, keterlibatan perempuan dalam aksi penyerangan aparatur kepolisian menjadi sorotan publik, bahwa yang dinilai Islami secara pakaian tidak menjamin bagusnya pemikiran dan tindakan. Sesuai pengamatan penyidik, mereka terpapar ideologi terorisme The Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) melalui internet. Mereka juga mendoktrin paham anti demokrasi dan semangat keyakinan syahid, surga, bahkan dinilai mulia ketika melancarkan aksi melawan pemerintah yang dianggap kafir, thagut, dan tidak Islami.
Begitu hasil riset BNPT yang menyatakan bahwa, pengoptimalan menggunakan media internet sangatlah berpengaruh besar dan dinilai efektif dalam menggencarkan pendanaan dalam rangka mendukung aksi terorisme di berbagai penjuru dunia. Terlebih jargon/isu negara khilafah menjadi salah satu misi besar mereka. Terbukti jelas dari pergantian wadah teroris terbesar di dunia bernama ISIS diubah menjadi Islamic State (IS). Demikian mencerminkan tujuan utama mereka adalah mendirikan negara Islam.
Tidak terbatas pada teks-teks bacaan dan dalil pemanis yang ditulis di website, namun juga disajikan dalam bentuk audio visual maupun gambar-gambar menarik yang tersebar di Twitter, Instagram, WhatsApp, Facebook dan media lainnya sebagai umpan empuk mengelabuhi target.
Terkadang pula tidak dengan menggunakan tampilan yang memperlihatkan aksi kekerasan dan ideologi takfiri yang harus ditegakkan, namun justru dengan rayuan-rayuan halus dengan membungkus perlawanan terhadap negara dan melakukan penyerangan dengan label atas nama agama (Islam).
Tentu seperti ini sangat bahaya jika terus dibiarkan berkembang dan menjamuri generasi muda muslim Indonesia. Tidak sedikit warga negara Indonesia pun bertekad meninggalkan keluarganya dan menjual seluruh harta bendanya untuk berangkat ke Timur Tengah (Suriah) dengan alasan untuk berjihad.
Bahkan menyatakan baiat yang bersedia menjadi anggota Islamic State (IS), WNI yang turut andil dalam aksi teror di kancah global acap kali disebut dengan teroris asing atau Foreign Terorist Fighters (FTF). Semua bermula dari internet, sebagai simbolis majunya teknologi, dan dimanfaatkan oleh mereka untuk lebih menggenjot perekrutan anggota di wilayah regional maupun global.
Upaya Menghadapi Ideologi Takfiri
Jika terus dibiarkan, maka sangat memungkinkan banyak generasi muslim kita yang terpapar paham teroris. Tidak sedikit pula nantinya akan banyak terjadi penyerangan di berbagai titik di seluruh penjuru bangsa. Baik itu melakukan penyerangan atas dasar memerangi pemerintah, menyakiti yang tidak seagama atau pun mereka yang tidak sependapat meski sesama muslim.
Sebagaimana bahayanya digitalisasi paham takfiri-ekstremis bagi negara, maka perlu adanya upaya dalam menghadapi penyebaran ideologi terorisme khususnya di internet. Terdapat beberapa strategi yang perlu disiapkan dalam menangkal terorisme,
Pertama, pemerataan dan penyebarluasan paham moderasi beragama di seluruh wilayah Indonesia ditingkatkan. Baik dari institusi pendidikan formal (sekolah, kampus), non-formal (pesantren, komunitas, lembaga) maupun masyarakat umum, penting kiranya mempelajari dan memperdalam kajian-kajian Islam moderat (al-tawassuth). Mengingat pendidikan menduduki posisi sentral dalam menentukan masa depan bangsa, maka pemahaman agama yang luwes, dinamis, inklusif, moderat, dan toleran, menjadi kunci keberhasilan menangkal paham terorisme di negara ini.
Kedua, mengenalkan nilai nasionalisme (cinta tanah air) kepada seluruh lapisan masyarakat, baik yang tengah mengenyam pendidikan maupun kalangan umum. Konsep cinta negara dan tanah air sejatinya dalam Islam hukumnya wajib, sebab di atas negaralah kita bisa menjalankan aktivitas amaliah-amaliah kehidupan, baik sifatnya ibadah maupun menjalin hubungan sosial. Dengan begitu, nantinya akan lebih menguatkan karakter bangsa yang berlandas Pancasila, di mana nilai-nilai agama juga termuat dan berjalan selaras.
Ketiga, menjalin kerja sama antara pemerintah maupun lembaga dengan masyarakat sipil. Di Indonesia tersedia Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai badan yang fokus pada penanganan isu-isu terorisme. Sangat penting kiranya jika kedua badan tersebut mengajak, mengenalkan/sosialisasi, dan memberikan edukasi tentang bahaya tindak terorisme yang dapat mengancam agama dan negara.
Jauh lebih bagus jika BNPT dan MUI bisa berjalan selaras dalam menangani kasus terorisme dengan menggandeng Ulama atau Kiai moderat yang memiliki pengaruh besar bagi muslim di Indonesia. Nantinya diharapkan bisa menjadi salah satu upaya menjaring terorisme tidak hanya diperbincangkan di kalangan elite semata, namun juga warga sipil turut andil dalam menjaring bibit-bibit terorisme di wilayah lokal.
Keempat, yaitu pentingnya pemerataan publikasi, sosialisasi, dan edukasi tentang Islam yang ramah, moderat, toleran, dan penuh kedamaian di media sosial digencarkan. Begitu pula pendampingan penggunaan internet dan menggunakan sumber terpercaya dalam mencari referensi keilmuan Islam. Poin utama strategi untuk memerangi penyebaran paham ekstremis adalah juga turut melayangkan publikasi wajah Islam yang ramah, bukan marah.
Dalam dunia pendidikan, lembaga, badan nasional, publikasi ilmiah menjadi sebuah tuntutan. Dari sosialisasi ideologi Islam moderat, semangat nasionalisme, dan pengenalan bahaya ekstremisme di berbagai lapisan masyarakat, nantinya diharapkan mampu menangkal paham terorisme di dunia digital dan menanamkan paham moderat pada generasi muda muslim masa depan.