Abu Bakar ash-Shiddiq, satu di antara sekian sahabat yang mendapat posisi istimewa di hati Rasulullah SAW. Keistimewaan Abu Bakar juga tercatat dalam Alquran maupun risalah Nabi. Keunggulan saudagar bakran ini tidak lantaran karena ia termasuk as-sabiqun al-awwalun, atau orang pertama yang memberikan kesaksian atas kebenaran peristiwa Isra dan Mi`raj.
Peran Abu Bakar dalam penyebaran Islam tak hanya sebatas menemani dan melindungi Rasulullah. Lebih dari itu, keseluruhan yang melekat dalam dirinya diserahkan untuk mendukung dan menyebarkan risalah dakwah.
Gus Baha’ menyebut kelebihan Abu Bakar sebagai orang yang mampu melihat sesuatu dengan realitas. Abu Bakar dinilai sebagai orang pertama yang meletakkan tradisi realitas, dan menyelesaikan setiap persoalan sesuai dengan konteksnya.
Wujud dari realitas Abu Bakar bisa disimak melalui kisah Bilal, dan sejarah perang yang melibatkan Nabi Muhammad. Dalam sebuah cerita dikisahkan, ketika Umaiyah mengetahui Bilal memeluk Islam, ia langsung mendapat siksaan dari tuannya. Di padang pasir yang diterpa gemerlap sinar matahari itu, secara bertubi-tubi tubuh Bilal dihujani lecutan cemeti. Tubuh telanjangnya ditindih batu besar. Bilal tak bergeming, dan terus membalas siksaan itu dengan menyeru, ‘Ahad….Ahad…Ahad’.
Abu Bakar yang mengetahui kejadian lantas mendatangi tempat kejadian. Di depan Umaiyah dan pembesar Quraish lainnya, Abu Bakar bertanya, “Apakah engkau mau membunuhnya karena ia mengatakan bahwa Tuhannya adalah Allah? Atau karena ia tidak taat kepadamu, hingga engkau menyiksanya? Jika demikian aku akan menebus dia”.
Dengan uang yang ada di tangannya, Ayah Sayyidah Aisyah ini lalu menyerahkan uang kepada Umaiyah. Tanpa ditawar, justru harga yang diberikan melebihi dari harga pasaran. Selanjutnya, Abu Bakar melepas status kebudakan Bilal menjadi manusia merdeka. Itulah bentuk realitas, kepedihan Bilal tidak mampu diselesaikan hanya dengan doa atau membaca hizb.
Bentuk realitas berikutnya ditunjukkan Abu Bakar setiap kali mempersiapkan peperangan. Ia sadar untuk menyebarkan agama membutuhkan biaya tak sedikit. Sebagai pedagang dengan tingkat jelejah tinggi, dari Syam hingga Yaman, Abu Bakar sudah tentu memiliki kekayaan melimpah. Laba yang diperoleh disimpan untuk biaya perjuangan bersama Rasulullah, termasuk; memerdekaan budak, melawan embargo kaum Quraish terhadap Nabi hingga mempersiapkan perang-perang besar yang membutuhkan biaya tinggi. Sebagian besar kebutuhan itu berasal dari kantong pribadinya.
Salah satu pertempuran yang menyebabkan Abu Bakar mengorbankan seluruh hartanya terjadi saat perang Tabuk. Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi dalam buku Himpunan Fadhilah Amal, menyebut perang Tabuk sebagai peristiwa peperangan yang sangat masyhur. Pertempuran terakhir yang diikuti oleh Rasulullah SAW ini bermula ketika Raja Romawi akan melakukan ekspansi ke Tabuk melalui jalur Syam. Perang yang terjadi pada hari Kamis, tanggal 5 bulan Rajab tahun 9 Hijriyah, bertepatan dengan masa panen raya. Ketika itu, cuaca jazirah Arab sangat ekstrem, belum lagi musuh yang akan dihadapi adalah imperium besar.
Nabi Muhammad sendiri cukup gentar ketika mendengar berita itu. Ia sadar meskipun jumlah pasukan Islam cukup besar, namun minim perlengkapan perang. Bekal makanan dan kendaraan yang ada masih sangat sedikit dibanding dengan jumlah pasukan. Nabi Muhammad pun segera mempersiapkan pasukan sebaik mungkin.
Sebelumnya, ia telah menganjurkan setiap muslim, tanpa terkecuali untuk pengumpulan sedekah. Sayyidina Utsman, dalam berbagai literatur disebutkan, sebagai orang yang memberikan sumbangan paling besar yakni 1.000 dinar plus 100 ekor unta. Namun jika dilihat secara keseluruhan, justru Abu Bakar lah yang paling besar pengorbannya. Ia berani mempertaruhkan seluruh kekayaannya.
Imam Al-Turmudzi meriwayatkan dari sahabat Umar Ibn Khattab, ketika Rasulullah memerintahkan untuk bersedekah, saat itu Umar berkata, “Pada hari ini aku akan mengungguli (sedekahnya) Abu Bakar, semoga aku mengunggulinya pada pada hari ini”.
Umar mengambil hartanya dan menyerahkan langsung kepada Rasulullah. “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu, wahai Umar?” Umar lalu menimpali, “Sejumlah yang aku sedekahkan, ya Rasulullah”.
Sahabat berikutnya, Abu Bakar datang dengan membawa hartanya. Rasulullah pun menanyakan hal yang sama, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Dia menjawab, “Aku meninggalkan Allah dan Rasul-Nya”.
Umar menunduk sembari berucap, “Demi Allah, selamanya aku tidak akan bisa mengungguli kebaikannya”.
Abu Bakar ash-Shiddiq wafat di usia 63 tahun, bertepatan pada Jumadil Akhir tahun 13 Hijriyah. Sebelum wafat, di saat menanti kehadiran malaikat, Abu Bakar meminta putrinya untuk menyiapkan kain kafan berupa baju yang biasa dikenakan saat menjadi makmum shalat Rasulullah.
“Abah, baju itu sudah usang. Apa tidak sebaiknya saya belikan kain kafan yang baru?” tanya Aisyah.
“Orang hidup lebih berhak atas sesuatu yang baru ketimbang orang mati,” jawab khalifah pertama, penganti Rasulullah ini.
Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English