Pada abad 19 lalu banyak ulama Jawa yang berkiprah di Makkah. Mereka membuka pengajian di rumahnya di “Kampung Jawah”, menjadi guru di majelis-majelis ilmu di Masjidil Haram, dan berkhutbah di sana.
Murid-murid mereka tidak hanya berasal dari Jawa, melainkan dari pelbagai negara seperti India, Mesir, dan Yaman. Salah satu ulama Jawa yang berkiprah di Makkah (Al-Jawi tsumma Al-Makky) adalah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Apa yang dikenal dengan “Jawa” dalam historiografi Islam Nusantara abad 19 ke belakang bukanlah Jawa sebagaimana kita pahami saat ini. Seperti dikatakan C. Snouck Hurgronje dalam Mekka in the Latter Part of the 19th Century (1931: 215), termasuk yang disebut Jawa adalah bangsa melayu yang batas geografisnya boleh jadi dari Siam dan Malaka sampai ke New Guinea. Selain Indonesia, Jawa dalam konteks ini juga meliputi wilayah Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.
Sebagaimana terlihat dalam penisbatan nama, Syekh Khatib Al-Minangkabawi berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Ia lahir di Kota Gadang, Bukitinggi pada 6 Dzulhijah 1276/25 Juni 1860.
Ayahnya adalah Jaksa Kepala di Padang dan ibunya adalah anak dari Tuanku nan Renceh, ulama terkemuka dari golongan Paderi (Karel Steenbrink, 1984: 139). Syekh Khatib mempunyai paman bernama Muhammad Salim yang darinya lahir Haji Agus Salim yang dikenal sebagai salah satu perintis kemerdekaan Indonesia.
Sejak kecil Syekh Khatib mendapatkan pendidikan agama dengan baik dari ayahnya. Sedangkan pendidikan umum dari sekolah yang didirikan Belanda. Pada 1870, ketika menginjak usia 11 tahun, sang ayah mengajaknya untuk menunaikan ibadah haji. Selepas haji, mereka tidak langsung kembali tapi mukim selama 5 tahun.
Di Makkah ia diajak menghadiri majelis-majelis ilmu di Masjidil Haram serta berkesempatan untuk mengenal ulama yang ada di Kampung Jawah. Ia belajar kepada Sayyid Umar Syatha, Sayyid Abu Bakar Syatha, dan Sayyid Utsman Syata (Alu Syatha) dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan.
Tahun 1975 Syekh Khatib pulang ke tanah kelahirannya dan tinggal selama 2 tahun. Ia sebenarnya masih ingin melajutkan studinya di Makkah, namun keluarganya belum mengizinkan.
Ketika Sayyid Utsman Syatha mengunjungi Nusantara, rombongannya menginap di kediaman Syekh Khatib. Dalam kesempatan itu Sayyid Utsman meminta keluarganya untuk mengizinkan muridnya itu untuk kembali belajar di Makkah. Maka berangkatlah Syekh Khatib untuk belajar di Makkah.
Kecerdasan Syekh Khatib membuat Syekh Soleh Kurdi terpukau. Nama yang terakhir adalah orang kaya, terpandang, dan dekat dengan Syarif Makkah, Syekh Aunur Rafiq. Syekh Soleh Kurdi kemudian menikahkan putrinya yang bernama Khadijah dengan Syekh Khatib.
Posisinya sebagai menantu Syekh Soleh Kurdi sontak membuat karir akademiknya meroket. Terlebih ayah mertuanya itu sangat mendukung kegiatan akademik Syekh Khatib.
Meski demikian, menjadi menantu seorang terpandang bukanlah tanpa beban, apalagi Syekh Khatib adalah orang Jawa. Sudah jamak diketahui bahwa dahulu orang-orang Makkah memiliki penilaian yang kurang baik terhadap orang Islam Jawa. Menurut mereka orang Islam Jawa adalah seorang pemakan ular.
Apa yang mereka anggap “ular” pada dasarnya adalah “belut”. Mereka tidak bisa membedakan ular dengan belut sehingga Syekh Mukhtar Atharid Al-Bughuri (Bogor) menulis kitab berjudul “Al-Shawa’iq Al-Muhriqah fi Bayan Hill Al-Belut wa Al-Radd Ala Man Harramahu” (Halilintar yang Membakar Prasangka Dusta; Kitab yang Menerangkan Kehalalan Belut dan Bantahan terhadap Pihak yang Mengharamkannya).
Suatu ketika Syekh Soleh Kurdi mengajak menantunya itu mengikuti sebuah jamuan berbuka puasa di istana kerajaan Syarif Aunur Rafiq. Ketika tiba saatnya dikumandangkan shalat magrib, Syekh Anunur Rafiq mengajak para tamu untuk berjamaah dengan ia sendiri sebagai imam.
Di tengah shalat, sang imam keliru membaca Alquran namun tidak ada yang berani mengingatkannya kecuali Syekh Khatib Minangkabau. Syekh Aunur Rafiq memuji kealiman dan keberanian Syekh Khatib dan sejak itu ia tidak dianggap remeh lagi.
Menurut Syekh Umar Abdul Jabbar, penulis buku “Siyar wa Al-Tarajim”, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menulis kurang lebih 45 karya tulis yang terdiri dari pelbagai disiplin keilmuan.
Dua dari beberapa karya Syekh Khatib yang membahas ilmu yang jarang dibahas ulama pada umumnya adalah kitab “Raudhah Al-Hussab Fi Amal Al-Hisab” dan “Al-Jawahir Al-Naqiyyah fil A’mal Al-Jaibiyyah”. Kitab pertama memuat kajian ilmu hitung atau matematika (A Ginanjar Sya’ban, 2017: 281), sedangkan kitab kedua adalah buku pedoman untuk pengetahuan tentang tanggal dan kronologi.
Syekh Khatib juga sering kali terlibat polemik dengan sejumlah ulama. Ia pernah berpolemik dengan Sayyid Utsman Batawi terkait pendirian masjid baru di Palembang yang sebelumnya sudah ada masjid. Ia juga pernah berpolemik mengenai suatu permasalahan dengan Kiai Asnawi Kudus, yang tak lain adalah muridnya.
Syekh Khatib juga berdebat dengan Kiai Hasyim Asyari perihal organisasi Sarekat Islam (SI) yang didirikan oleh Hadji Samanhoedi dan HOS Tjokroaminoto. Dalam menyanggah ketidaksetujuan Kiai Hasyim atas SI, Syekh Khatib menulis “Tanbih Al-Anam”.
Terdapat pula karya Syekh Khatib Al-Minangkabawi yang membahas ketidaksetujuannya atas tarekat. Dilihat dari corak pemikirannya, Syekh Khatib memang cenderung lebih bersimpati kepada Islam modern sehingga tidak aneh apabila murid-muridnya seperti Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Karim Amrullah (ayah Hamka) memiliki corak pemikiran yang tidak berbeda dengan gurunya.
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi wafat pada 19 Jumadil Awal 1334/13 Maret 1916 di Makkah. Wafatnya Syekh Khatib meninggalkan duka mendalam bagi Muslim Nusantara. Kelompok Islam modernis seolah-olah kehilangan benteng yang begitu kuatnya karena Syekh Khatib sangat berwibawa di kalangan kelompok Islam modernis dan tradisionalis (Amirul Ulum, 2017: 83). Wallahu A’lam bis shawab.