Syekh Astari adalah pendiri pondok pesantren di Cakung pada tahun 1920. Beliau bernama lengkap Syekh Astari bin Maulana Ishaq bin Muhammad Rafiuddin bin Nyi Hadisah binti Ki Alim bin Ki Bulus (Abdul Gani) bin Syekh Hasan Bashri bin Ki Mahmud bin Raden Saleh bin Sulthan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir bin Sultan Maulana Muhammad Nashruddin (Kanjeng Ratu Banten Surosowan) bin Maulana Yusuf bin Maulana Hasanuddin.
Syekh Astari merupakan cucu dari Syekh Ciliwulung, ulama besar Banten melalui ibu dari Syekh Hasan Bashri yaitu Nyi Fatimah binti Syekh Ciliwulung.
Ayahnya, Maulana Ishaq dan ibunya, Nyi Ratu Nasiah adalah pedagang dan guru mengaji anak-anak di kampungnya. Syekh Astari dilahirkan di Kampung Cakung Kedung, Desa Kandawati, Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten Tangerang, Banten. Tidak ada yang mengetahui tahun berapa Syekh Astari dilahirkan. Tetapi ketika wafat pada tahun 1987, ia disebut-sebut berusia 99 tahun.
Syekh Astari belajar ilmu agama dari ayahnya dan pamannya, Ki Muhammad Zen yang juga seorang ulama. Ketika beranjak remaja, Syekh Astari diserahkan orang tuanya untuk belajar kepada Syekh Jaliman di Bunar, Pematang.
Saat menuntut ilmu di Pesantren Bunar, Syekh Astari satu kamar dengan delapan orang sahabat yang kemudian sembilan orang ini menjadi ulama besar. Mereka adalah Syekh Nawawi Mandaya, Syekh Umar Rancalang, Syekh Ardani Dangdeur, Syekh Balqi Paridan, Syekh Hamid Banten Girang, Syekh Sadeli Bogeg, Syekh Jamhari, Syekh Mustaya Binuang, Ki Kharis Cisimut, dan Syekh Astari sendiri.
Selama nyantri di Pesantren Bunar, Syekh Astari sering terlihat memasuki Goa Umbul di Pematang. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, dahulu ketika sedang berkelana, Maulana Hasanuddin, Sultan Banten yang pertama, pernah bertafakur di goa tersebut.
Syekh Jamhari teman sesama nyantri di Bunar, menyaksikan Syekh Astari memasuki goa dan bertafakur di dalam goa dengan khusyu tanpa berucap sepatah kata pun. Setiap kali Syekh Jamhari ke dalam goa membawakan makanan untuk Syekh Astari, makanan tersebut tidak pernah disentuh oleh Syekh Astari yang ternyata sedang berpuasa.
Setiap hari Jumat, Syekh Jamhari masuk ke dalam goa menengok Syekh Astari dan memastikan bahwa temannya dalam keadaan baik-baik saja. Syekh Jamhari selalu menghitung hari pertapaan Syekh Astari dalam Goa Umbul dan mengatakan bahwa Syekh Astari seringkali bertapa di dalam goa selama empat puluh hari empat puluh malam.
Setelah beberapa tahun Syekh Astari berguru dengan Syekh Jaliman di Pesantren Bunar, Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk pulang ke Mandaya dan mendirikan pesantren. Syekh Jaliman juga memerintahkan delapan muridnya termasuk Syekh Astari untuk mengikuti Syekh Nawawi dan mengaji kepadanya.
Walaupun kemudian ia berguru kepada teman sekamarnya di Bunar, namun ketaatan dan pengabdian Syekh Astari kepada Syaikh Nawawi tetap tercurahkan. Usia Syekh Nawawi paling dewasa di antara tujuh sahabatnya, demikian juga dengan ilmunya. Syekh Nawawi sejak kecil telah mendapat bimbingan dari ayahnya, Syekh Muhammad Ali, seorang ulama dan pejuang pada Perang Geger Cilegon.
Bersama ketujuh orang sahabatnya, Syekh Astari membangun pendopo tempat belajar dan mengaji para santri. Di sana, Syekh Astari dan kawan-kawannya yang mengajar sambil belajar. Selain itu mereka juga berdakwah kepada masyarakat melalui ceramah, penyuluhan, dan bimbingan cara hidup menurut tuntunan Islam.
Setelah Pesantren Mandaya ramai dengan kegiatan dakwah dan syiar Islam, Syekh Astari bersama tujuh sahabatnya dipersilakan pulang ke kampungnya masing-masing. Tercatat Syaikh Astari pernah nyantri kepada Syaikh Piyan di Laes, Syaikh Misbah dan Syaikh Toyib di Koper, termasuk Ki Romli di Cideng, Kresek.
Sekitar tahun 1920 Syekh Astari mendirikan pesantren di Cakung dan berdatanganlah para murid dari berbagai daerah. Syekh Astari mengurusi pesantren sampai kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945.
Di masa perang, Syekh Astari berperan sebagai motivator para pejuang. Ki Busyro mengisahkan bila tiba saatnya para tentara berperang, maka Syekh Astari mempersiapkan gentong yang berisi air kemudian para tentara itu satu per satu diberi minum dan dimandikan agar hatinya bersih dan khlas dalam berperang, dan untuk menambah keberanian tentara.
Sebelum kemerdekaan, Soekarno mendatangi Syekh Astari untuk bersilaturahmi dan bermusyawarah mengenai bagaimana cara Indonesia cepat merdeka. Syekh Astari menyatakan Indonesia bisa merebut kemerdekaan dengan perjuangan dan doa. Syekh Astari menyarankan kepada orang-orang yang mampu, untuk berhaji ke Makkah dan berdoa di hadapan Ka’bah untuk kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, Syekh Astari memasuki dunia tasawuf. Syaikh Astari juga mewaqafkan hidupnya hanya untuk kebahagiaan sesama. Ia berkeliling membangun masjid-masjid dan majelis taklim. Ia membuka jalan-jalan baru untuk dapat dilalui masyarakat. Ia membuat irigasi untuk pertanian dan pemandian umum. Ia juga membuat danau-danau kecil di depan masjid dan di tengah perkampungan.
Semasa hidupnya, setiap hari Kampung Cakung ramai oleh para peziarah yang ingin memohon doa dan keberkahan dalam kehidupan mereka. Mulai dari petani, pedagang, nelayan, pejabat tinggi sampai rendahan, anak-anak semuanya ingin bertemu dengan Syekh Astari dan memohon petunjuk akan masalah yang mereka hadapi. Tak jarang, mereka mendapatkan hal-hal gaib dan aneh yang berada di luar akal. Syaikh Astari disebut Wali yang Allah dzahirkan keramatnya kepada manusia.
Keramat dan kemuliaan Syekh Astari diceritakan oleh Ustaz Karman dari Talok yang menyebutkan ada seorang pedagang minyak wangi dari Balaraja mengaku dagangannya selalu sepi dan rugi. Suatu ketika, minyak wanginya ini diambil tanpa permisi oleh Syekh Astari. Sang pedagang ini membiarkan saja.
Lalu Syekh Astari menyemprotkan minyak wangi itu kepada orang-orang yang ditemuinya. Setelah kejadian itu, dagangannya menjadi laris.
Dalam cerita yang lain, ia juga meriwayatkan pertemuan pertamanya dengan Syekh Astari. Setelah sampai di hadapan Syekh Astari, beliau berkata, “Alhamdulillah, saya kedatangan tamu dari Petir, Rembang dan Cianjur.”
Ustaz Karman kaget, nama-nama daerah yang disebutkan Syekh Astari itu adalah nama-nama tempat ia menyantren. Padahal ia belum pernah bercerita di mana ia pernah menyantren.
Ia juga meriwayatkan, ada dua orang dari Bekasi meminta Ki Karsam (mertuanya) untuk mengantar mereka ke Syekh Astari. Setelah sampai di rumah beliau, beliau berkata sambil menghadap kiblat “Ada orang yang ditunggu kuburan tiga hari lagi!”.
Singkat cerita, dua orang dari Bekasi ini pulang. Kebetulan tujuan ke rumah mereka melewati kali, dan harus naik perahu bila mau sampai. Ternyata perahu ini terbalik dan salah seorang di antara mereka meninggal tepat di hari yang ketiga seperti yang dikatakan Syekh Astari.
Ia juga mengisahkan tentang rencana kondangan H. Abdul Ghani dan rombongan ke Petir. Karena mobil sudah penuh akhirnya Syekh Astari yang berencana ikut, akhirnya ditinggal karena tempat yang kosong hanya di belakang.
Menurut H. Abdul Gani tidak pantas Syekh Astari duduk di belakang. Sedangkan di depan juga sudah ada kiai lain yang sudah duduk. Kebetulan Syekh Astari belum datang. Akhirnya mobil ini berangkat tanpa Syekh Astari. Sampai di Renged, tepatnya di Ki Buyut Ketul, mobil ini mogok.
Para mekanik berusaha memperbaiki mobil agar jalan, tetap saja mobil ini mogok. Akhirnya dalam waktu yang lumayan lama, barulah H. Abdul Ghani ingat bahwa ia telah meninggalkan Syekh Astari. Akhirnya Syekh Astari disusul. Setelah Syekh Astari duduk, mobil ini langsung menyala setelah di-engkol.
Karomah lainnya dikisahkan oleh Mang Bunag. Di Pesantren Syekh Astari ada sebuah pohon kelapa tumbang. Para santri berusaha mengangkatnya. Karena kelapa ini besar, mereka tidak kuat. Pada malam harinya, Syekh Astari ke luar dari rumah. Mang buang memerhatikan ke mana Syekh Astari pergi.
Ternyata Syekh Astari mendekati pohon kelapa yang tumbang itu. Kemudian ia mendekatkan jempol kakinya ke pohon kelapa, kemudian menjungkitkan jempol kakinya. Subhanallah hanya dengan menjungkitkan jempol kakinya, akhirnya pohon kelapa ini terangkat sampai ke tempat pembuangan.
Masih banyak karomah-karomah Seykh Astari yang dirasakan baik oleh santri, kiai, dan masyarakat sekitar pesantren. Syaikh Astari wafat pada hari Jumat tanggal 28 Dzulqadah bertepatan dengan 24 juli tahun 1987.
Sumber:
Utsman, Imaduddin dan Maujud Astari. Sejarah Waliyullah Syaikh Astari Cakung. Banten: Hudan Linnas Press, 2011.
Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantara, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI, 2016