Abdurrahman Wahid atau sering disapa Gus Dur merupakan sosok yang tidak bisa di kesampingkan dalam jajaran kehidupan bangsa Indonesia. Kiprahnya dalam menyebarkan tentang pentingnya sebuah perbedaan menjadi alasan tersendiri bagi seseorang yang ingin belajar kemanusiaan dalam bersosial.
Pesan kemanusiaan yang Gus Dur sampaikan tidak hanya sekedar tutur kata, melainkan dibarengi dengan fakta tulisan yang ada dalam Al-Qur’an. Pendeknya, Gus Dur seringkali memberikan sebuah gambaran dalam tulisannya. Seperti misalnya Tidak ada paksaan dalam agama terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat 256 dan untukmu agamamu, dan untukku agamaku Al-Kafirun ayat 109.
Potongan ayat-ayat tersebut seringkali Gus Dur gunakan dalam tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan toleransi. Gus Dur ingin menunjukkan, sejatinya sikap toleransi dan plural berakar dari penghayatan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Dalam dimensi ini Gus Dur mengajak muslim mengerti betapa pentingnya memahami dengan benar bagaimana berislam yang menyenangkan. Sesuai dengan prinsip utamanya, yaitu Islam yang Rahmatal Lil Alamin, rahmat bagi semua orang.
Secara konteksnya seorang muslim diajak untuk menghormati dan menghargai sejak dari pikiran dan hati. Sebagaimana Gus Dur sebelum akhir hayatnya memberikan sebuah terobosan baru dalam mengenalkan Islam yang menyenangkan, yaitu melalui syair atau syi’ir.
Melalui syi’ir Tanpo Waton, seakan-akan Gus Dur menjelaskan sangat detail bagaimana menjadi Islam. Sebagai sebuah pengenalan bahwa selain beragama, manusia juga dibekali akal untuk berpikir. Salah satu fungsinya, yakni untuk mengetahui mana yang baik dan buruk, mana yang sebaiknya dilakukan maupun mana yang mestinya ditinggalkan.
Dalam syi’ir Tanpo Waton Gus Dur ini terasa sangat gamblang bagaimana berislam yang menyenangkan dan romantis. Kiai kelahiran Jombang itu mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang benar-benar mengabdi kepada Tuhannya.
Seperti salah satu bait syairnya yang berbunyi:
Duh bolo konco priyo wanito
Ojo mung ngaji syariat bloko
Gur pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sengsoro.
Akeh kang apal Quran Haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke
Yen iseh kotor ati akale.
Dalam bait ini Gus Dur mengutarakan bahwa banyak yang perlu diperbarui dalam tata cara berislam kita. Realitasnya banyak yang sudah hafal Al-Qur’an, tapi masih suka menyalahkan orang lain.
Flashback jauh dalam penyebaran agama Islam kita mengenal Nabi Muhammad Saw. Dalam catatan sejarah ini, Nabi Muhammad Saw. selalu memberikan perlindungan pada setiap orang, tanpa memandang status. Hal ini tercermin dari kehidupannya di Madinah yang berhasil menyatukan peradaban masyarakat Madinah yang terdiri dari berbagai suku dan beberapa agama yang ada di dalamnya.
Kan aran sholeh bagus atine
Kerono mapan seri ngelmune
Laku thoriqot lan ma’rifate
ugo haqiqot manjing rasane
Al-Qur’an Qadim wahyu minulyo
Tanpo tinulis biso diwoco
Iku wejangan guru waskita
Den tanjepake ing jero dodo
Kumantil ati lan pikiran
Mrasuk ing badan kebeh jeroan
Mukjizat Rosul dadi pedoman
Minongko dalan manjinge Iman
Di bait yang lain kemudian Gus Dur memberikan sebuah penegasan manusia yang disebut baik atau sholeh. Mereka yang bagus hatinya karena bisa menjalani terikat dan makrifat. Sebab, Al-Qur’an merupakan wahyu mulia yang menempel di hati dan pikiran serta merasuk dalam badan. Dalam hal ini Al-Qur’an yang menjadi pedoman jalan masuknya Iman.
Secara garis besarnya, ada makna mendalam yang bisa kita petik dari kandungan syair yang dilantunkan oleh Gus Dur. Bahwa apabila kita masih memaksa dalam berislam atau pun bertingkah laku, maka mengaji kita kurang paham dan kurang meresap dalam diri.
Pada kenyataannya Al-Qur’an sebagai petunjuk dalam beragama mengajarkan pentingnya sebuah kebaikan dan saling tolong-menolong. Tentu saja bukan saling menghina, menjatuhkan apalagi sampai saling berperang menumpahkan darah.
Ukuran keimanan seseorang juga tidak bisa diukur berapa kali ia khatam maupun menghafalkan Al-Qur’an. Namun, bagaimana ia menyebarkan kebaikan yang diajarkan oleh Al-Qur’an.
Berkaca dalam hal ini, secara sadar syi’ir Tanpo Waton yang diwariskan mendiang Gus Dur seharusnya menjadi bahan pijakan dalam mengenal Islam yang menyenangkan dan Islam yang romantis.
Menyenangkan dan romantis dalam konteks Indonesia adalah berdamai dengan keragaman dan perbedaan, tanpa harus ada sekat-sekat dalam hidup berdampingan. Tentu prinsip utamanya ialah menghormati dan siap mengedepankan sikap tolong-menolong sesuai dengan syair kemanusiaan Gus Dur.