Zaman dahulu, munculnya perselisihan, konflik, bahkan perang dapat bersumber dari fitnah-fitnah yang disebarkan dari mulut ke mulut. Sehingga tidak jarang apabila hubungan pertemanan atau persaudaraan suatu keluarga, organisasi, suku, bahkan hingga bangsa dan negara sekalipun dapat mengalami kehancuran akibat hasutan, gunjingan maupun provokasi yang ditimbulkan dari fitnah tersebut.
Menghadapi perkembangan dunia digital, produksi fitnah semakin meledak, di antaranya melalui konten di media massa dan media sosial yang seringkali berbentuk teks, gambar, dan video. Konten tersebut tidak jarang dikemas secara informatif, tendensius, aktual, provokatif, sehingga tidak sedikit masyarakat yang kesulitan untuk membedakan apakah konten itu benar, salah, fakta, atau hanya opini semata. Belakangan fenomena sejenis fitnah di era dunia digital itu dikenal dengan istilah hoaks (hoax).
Kecanggihan teknologi digital, pada satu sisi, memang memudahkan orang untuk melakukan transaksi, komunikasi dan mengakses informasi. Namun, pada sisi lainnya, ada sebagian masyarakat yang kurang dibekali “literasi” (kemampuan dan keterampilan dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung). Alhasil, mereka bukannya mendapatkan seabrek manfaat, justru malah menjadi budak dan korban dari kecanggihan teknologi itu sendiri.
Dosa-Dosa Digital
Belakangan ini ledakan hoaks telah berimbas cukup “serius” di tengah masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat begitu mudah menelan mentah-mentah informasi yang diperoleh dari media massa dan media sosial, terlebih konten bernuasa politik maupun SARA yang disebarkan melalui media chatting seperti WhatsApp, Telegram, Line.
Pola hoaks model demikian ibarat “pistol” yang dapat menembakkan peluru langsung ke sasaran, dan dapat pula seperti “bom waktu” yang bisa meledak kapan saja, tergantung pada momen dan isu yang menyertai.
Pada umumnya, mayoritas “manusia normal” pasti tidak menginginkan dirinya sebagai korban hoaks. Hal ini lantaran hoaks dibuat lalu disebarkan secara sengaja oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Atau, bisa saja dibuat (posting) oleh orang akibat tanpa dibekali sifat kehati-hatian, tanpa sebelumnya melakukan kroscek, klarifikasi, verifikasi, dan lain sebagainya.
Sebagaimana fitnah, segunung dosa-dosa sudah menumpuk akibat hoaks. Tidak sedikit orang yang memproduksi hoaks demi mencari sesuap nasi, memviralkan hoaks demi merebut kekuasaan, membagikan hoaks karena iseng lalu ditangkap oleh aparat karena melanggar pasal tertentu, menyebarkan hoaks agar terjadi kekisruhan dan kerusuhan (chaos). Inilah yang bisa kita sebut sebagai “dosa-dosa digital”.
Tabayun, Yes!
Fenomena hoaks di Indonesia kini sudah ditangani (cukup) serius oleh pihak-pihak yang berwenang. Selain itu, masyarakat juga mulai membangun kesadaran belajar tentang literasi media dan bahaya hoaks. Di beberapa daerah juga telah diadakan berbagai deklarasi dan gerakan anti hoaks.
Jauh sebelum sebelum itu, Alquran telah mengingatkan kepada kita tentang bahaya informasi menyesatkan yang bisa menimbulkan musibah sebagaimana hoaks.
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنْ جاءَكُمْ فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصيبُوا قَوْماً بِجَهالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلى ما فَعَلْتُمْ نادِمينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. al-Hujurat [49]: 6)
Dalam ayat ini Alquran merekomendasikan kita untuk melakukan tabayun yang dalam bahasa sekarang mengandung makna ‘klarifikasi’ dan ‘verifikasi’, yakni mencari penjelasan untuk memperoleh kebenaran informasi melalui pemeriksaan informasi yang akurat dan terpercecaya dari berbagai sumber.
Maka, bagi para pengguna media digital dan internet, siapapun itu, entah ia orang yang tidak memakan bangku sekolah, lulusan sekolah dasar atau yang orang bergelar doktor maupun profesor, sebaiknya selalu memegang erat himbauan kitab suci Alquran tentang bahaya fitnah, ….Fitnah lebih kejam dari pembunuhan (Al-Baqarah, [2]: 191).
Cara menerapkan potongan ayat tersebut bisa dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, jadikan berita bukan sebagai kebenaran dan keyakinan, tapi hanya sebatas wawasan (insight) sementara, sebab yang namanya berita dapat mengandung kebenaran dan kebohongan.
Kedua, memeriksa (check) konten informasi dari berbagai sumber lainnya, jangan sampai hanya menerima informasi dari satu sumber saja. Ketiga, tidak mudah membagikan (share) informasi yang kontroversi, apalagi isu-isu sensitif yang berbau SARA. Keempat, menanyakan langsung (clarification) ke pihak terkait apabila dirasa membutuhkan fakta yang lebih valid dan akurat.
Demi Integritas Bangsa
Hoaks bukan sebatas informasi bohong yang dapat disepelekan begitu saja. Hoaks nyata-nyata sangat berpotensi mengajak orang untuk saling menuduh, melontarkan kata-kata kotor dan kebencian. Berangkat dari situ hoaks sering berujung pada polarisasi kelompok, permusuhan, perpecahan, dan tentu hal-hal yang kita sebagai yang identitasnya majemuk.
Makanya, jika ada orang yang memproduksi dan menyebarkan informasi hoaks, berarti sama saja ia ingin merusak tatanan keharmonisan dan kesatuan bangsa Indonesia. Hal itu berarti, orang-orang yang hendak melawan integritas bangsa tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Oleh karena itu, sebagai bangsa yang plural dalam menghadapi era digital, selain adanya sanksi tegas, juga harus diimbangi pula dengan penanaman “moral bermedia” dan kemampuan “literasi digital”.
Kedua hal ini sangat penting agar perkembangan teknologi menjadi pendorong kemajuan bangsa, bukan malah menjadi alat perusak bangsa. Maka mari katakan secara tegas, Tabayun Yes, Hoax No!