Kesadaran pentingnya menjaga lingkungan masih menjadi PR besar bagi bangsa Indonesia hingga saat ini. Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002-2020.
Indonesia juga termasuk salah satu dari lima negara teratas dunia yang kehilangan banyak area hutan selama dua dekade terakhir. Penebangan liar, pencemaran sungai dan udara, pembuangan limbah sembarangan dan sebagainya, masih menjadi topik yang menarik untuk menghiasi dinding-dinding surat kabar sepanjang tahunnya.
Untuk mengatasi hal ini, berbagai elemen masyarakat mulai dari pemerintahan, ormas, ataupun invidual seseorang seperti ilmuwan atau akademisi dari berbagai disiplin ilmu mengerahkan seluruh kemampuannya. Tak terkecuali para ulama, ahli agama Islam.
Memang mereka mengakui, bahwa menjaga lingkungan atau melestarikan alam belum mendapat porsi yang cukup di dalam kitab-kitab turats atau materi-materi pengajaran keagamaan. Sampai muncullah Yusuf al-Qaradhawi melalui kitabnya ri’ayah al-bi’ah fi syari’ah al-Islam (menjaga lingkungan dalam syariat Islam), yang kemudian telah dialihbahasakan ke bahasa Indonesia menjadi “Islam Agama Ramah Lingkungan”.
Sejak saat itu, khususnya di Indonesia, perbincangan mengenai etika dan kesadaran menjaga lingkungan berbasis agama yang diambil dari nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah, menjadi primadona. Salah satunya di bidang tafsir.
Para mufasir kontemporer mulai memikirkan bagaimana membumikan makna ayat-ayat ekologis al-Qur’an, sehingga memberi pengaruh pada pembacanya untuk ramah dan beretika terhadap lingkungan. Belakangan model penafsiran yang seperti ini dikenal dengan tafsir ekologis, sebuah kecenderungan penafsiran yang berpihak pada kepentingan ekologis.
Salah satu dari sekian banyak mufasir kontemporer yang cukup gencar mengampanyekan untuk peduli terhadap lingkungan dengan berlandaskan al-Qur’an ialah Abdul Mustaqim. Guru besar, pakar tafsir maqashidi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dalam karyanya al-tafsir al-maqashidi, al-qadaya al-mu’ashirah fi dhaui al-Qur’an wa al-Sunnah, Mustaqim berusaha melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat yang bersifat ekologis melalui pendekatan tafsir maqashidi. Ia mengatakan bahwa kita dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak untuk menambahkan prinsip hifdz al-bi’ah (menjaga lingkungan) sebagai prinsip keenam dari lima prinsip tujuan universal di balik syariat (kulliyyat al-khams) yang sudah dikenal sebelumnya, yaitu hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-‘aql, hifdz al-mal dan hifdz al-nasl.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tidak ada solusi bagi problematika ekologis ini kecuali umat menemukan sebuah “agama baru” (al-din al-jadid), ay al-mauqif al-dini al-mujaddid al-anis tijah al-bi’ah (maksudnya adalah sebuah pandangan keagamaan baru yang ramah terhadap lingkungan).
Pandangan ini dapat diperoleh apabila para ulama atau mufasir melandaskan penafsirannya pada pentingnya menjaga lingkungan, yang akhirnya bisa diketahui ideal moral -meminjam istilah Fazlur Rahman- di balik ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
Dalam kitabnya tafsir maqashidi tersebut, Mustaqim mengumpulkan setidaknya sepuluh ayat yang dianggap menggambarkan bagaimana pola interaksi yang baik antara manusia dengan lingkungannya. Yaitu: Al-Fatihah: 2, Al-Baqarah: 22, 30, 35, Al-Ra’d: 3, Al-An’am: 38, Al-Rum: 41, Al-A’raf: 56, Al-Rahman: 7, Al-Isra: 7.
Setelah memahami secara mendalam ayat-ayat itu, ia menarik dua kesimpulan. Pertama, bahwa berinteraksi secara baik kepada lingkungan merupakan bagian dari agama. Jika pandangannya baik terhadap lingkungan, maka akan baik pula interaksi terhadapnya.
Bagi Mustaqim, lingkungan memiliki tiga sifat; simah wadzifiyyah (sifat fungsional) yaitu manusia membutuhkan fungsi lingkungan untuk menopang keberlangsungan hidup mereka. Simah tafa’uliyyah (sifat interaktif) yakni adanya interaksi atau dialog positif antara manusia dan lingkungan. Apabila manusia berbuat baik kepadanya, maka demikian pula lingkungan, ia akan lebih baik lagi kepada mereka.
Terakhir, Simah Jamaliyyah (sifat estetis) bermakna, bahwa lingkungan yang indah, terawat dengan baik, maka akan meningkatkan keindahan alam semesta dan kehidupan manusia.
Kedua, ada nilai-nilai moral di balik ayat-ayat tersebut yang harus dipegang teguh oleh manusia dalam hubungan mereka dengan lingkungan, yaitu: larangan untuk merusak lingkungan, berbuat baik dan adil kepadanya dan keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Sebenarnya Mustaqim bukanlah orang pertama yang mengampanyekan untuk menambahkan hifdz al-bi’ah sebagai maqshad dharuri dalam lima prinsip dharuri dalam maqashid syari’ah yang sudah dikenal. Sebelumnya ada ‘Abd al-Majid al-Najjar, pakar maqashid syari’ah asal Tunisia, yang juga cukup gencar mengampanyekan hal itu.
Dalam kitabnya, maqashid al-syari’ah bi ab’adin jadidah ia menegaskan innahu min al-haq an yandarija maqshadu hifdz al-bi’ah maqshadan dharuriyyan min maqashid al-syari’ah (bahwa sebuah keniscayaan untuk menempatkan “tujuan menjaga lingkungan” sebagai tujuan dharuri dalam term maqashid syariah).
Tidak jauh berbeda dengan Mustaqim, ia berargumen bahwa dengan menjaga lingkunganlah seluruh aspek kehidupan bisa berlangsung, bahkan salah satu tujuan manusia dicipatakan adalah untuk hal itu.
Terlepas dari perdebatan apakah maqshad hifdz al-bi’ah layak ditambahkan sebagai salah satu prinsip dharuri dalam maqashid syariah ataukah tidak, faktanya mereka semua bersepakat bahwa menjaga alam sekitar adalah hal yang sangat penting dan urgen.
Hanya penempatannya saja yang diperdebatkan, apakah ia sebagai term keenam yang independen sejajar dengan lima lainnya, atau hanya sebagai wasail (perantara) atau mukammilat (penyempurna) dari yang lima saja.
Akhirnya, usaha Abdul Mustaqim dalam merevitalisasi makna ayat-ayat yang bersifat ekologis dengan pendekatan maqashidi adalah sebuah hal yang patut diapresiasi. Sebab tidak banyak mufasir yang menaruh perhatian lebih terhadap isu-isu lingkungan dalam penafsirannya.
Dengan ideal moral al-Qur’an yang didapatkan dari penafsiran tersebut, diharapkan orang-orang akan sadar bahwa al-Qur’an juga memerintahkan untuk merawat dan menjaga lingkungan. Jika diperintahkan al-Qur’an, berarti hal itu bagian dari agama. Hasilnya, menjaga lingkungan adalah bagian dari Agama.
Wallahu a’lam.