Membincang tentang kebebasan perempuan, merujuk pada pendapat Dr. Nahid Ramzi di dalam al-Marah Wa al-I’lâm Fi ‘Âlam Mutaghayyir bahwa kebebasan itu merupakan bentuk fitrah manusia dan tidak bisa dibagi-bagi serta. Karena perempuan adalah bagian dari masyarakat, maka perempuan sudah selayaknya mendapatkan hak-hak mereka sebagai bagian dari masyarakat.
Perempuan yang dalam kajian-kajian Islam tradisional masih sangat dibatasi ruang geraknya. Seakan tak diberikan kesempatan untuk ikut mengembangkan potensinya serta memberikan kontribusi untuk di masyarakatnya. Bahkan jika problem ini dibenturkan dengan realitas masyarakat Indonesia yang masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan dan menuntut perempuan untuk ikut andil dalam menghidupi keluarga, maka teks Alquran seakan bisu menjawab semua problematika tersebut.
Teks Alquran yang lazim digunakan untuk membatasi perempuan di ruang publik adalah seperti yang tertulis di dalam QS. Al-Ahzab ayat 33:
وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Tetaplah kalian berada di dalam rumah. Jangan meninggalkan rumah kecuali kalau ada kewajiban yang dibenarkan oleh Allah yang mengharuskan kalian keluar dari rumah. Jangan memperlihatkan keindahan dan perhiasan kalian kepada kaum lelaki, jika kalian berada di luar rumah, seperti yang dilakukan oleh kaum jahiliyah dahulu. Laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dengan sempurna, laksanakan segala perintah Allah dan larangan itu, Allah bermaksud memberikan kehormatan dan kemuliaan kepada kalian”.
Dalam menanggapi ayat tersebut Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menuliskan banyak riwayat tentang pelarangan perempuan keluar rumah.
“Dari Anas ra. beliau berkata: aku datang bersama para wanita kepada Rasulullah. Kemudian para wanita itu bertanya: Wahai Rasulullah, para lelaki dengan superioritasnya pergi untuk berjihad. Apakah kita mempunyai amalan yang pahalanya setara dengan apa yang didapatkan oleh para mujahidin? Kemudian Rasulullah menjawab: Apabila seorang dari kalian berdiam diri di rumah, maka kalian mendapatkan pahala yang setara dengan pahala para mujahidin (HR. Rauh Bin Musayyib)”
“Dari Abdullah, Rasulullah saw. berkata: Sesungguhnya perempuan adalah aurat, Jika mereka keluar maka setan akan memuliakannya. (HR. Tirmidzi)
Ibnu Katsir berpendapat bahwa pelarangan keluar rumah terhadap perempuan tersebut secara kolektif mencakup para istri Nabi secara khusus dan perempuan-perempuan muslimah secara umum. Hal ini merupakan sopan santun yang diajarkan Allah kepada perempuan.
Ibnu Katsir tergolong berani memberikan penafsiran semacam itu. Apalagi beliau menggunakan hadits dhaif untuk memperkuat pendapatnya. Al-Zamahsyari dalam Al-Kasyâf masih terkesan diam dalam menafsirkan “wa qarna fî buyûtikun”. Beliau hanya mengupas kata “qarna” secara lafdziyyah tanpa memberi interpretasi yang lebih luas terhadap maknanya.
Hal senada juga dilakukan al-Thabari. Dalam tafsirnya, beliau hanya menginterpretasikan perbedaan ulama Kufah, Basrah dan Madinah dalam pembacaan kata “qarna” disambung dengan perbedaan fi’il madhi dari kata tersebut secara sharfiyah. Beliau lebih banyak menuliskan riwayat tentang interpretasi kata “tabarruj”.
Ini menunjukkan bahwa kedua ulama tersebut memberikan interpretasi, pelarangan perempuan untuk keluar rumah hanya ditujukan kepada istri Nabi saw. karena ayat ini memiliki hubungan dengan ayat-ayat sebelumnya.
Abbas Mahmud al-Aqqad lebih tegas memberikan interpretasi tentang ayat ini. Beliau berkata, maksud dari ayat tersebut bukanlah pelarangan keluar rumah dan mengurung perempuan-perempuan di dalam rumah. Mana mungkin keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan yang dibenarkan itu dilarang?
Permasalahan ini pun akhirnya terjawab dengan sendirinya. Dalam kehidupan nabi Muhammad saw., ada perempuan-perempuan yang keluar rumah untuk ikut berperang bersama para lelaki. Para perempuan juga banyak yang keluar rumah untuk menunaikan salat jamaah.
Lebih lanjut, Abbas Mahmud berpendapat bahwa pelarangan keluar rumah itu hanya ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. Hal ini dikarenakan istri-istri Nabi mempunyai keistimewaan yang tidak dipunyai perempuan lain. Oleh karenanya ayat tersebut dimulai dengan “yâ nisâa al-nabiyyi lastunna kaakhadin min al-nisâ”.
Kemudian ayat ini juga mempunyai keterkaitan dengan perihal lainnya. Ketika beberapa pemuda ingin berkunjung ke kediaman nabi Muhammad saw., mereka masuk ke rumah Nabi tanpa izin terlebih dahulu dan di dalam rumah terdapat beberapa istri Nabi.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah”.
Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah perintah untuk beretika, tidak menampakkan kesombongan ketika keluar rumah dan bisa menjaga kehormatan. Apalagi jika seorang perempuan keluar rumah dengan tujuan yang dibenarkan seperti bekerja untuk menutupi kekurangan keluarga. Jelas ini adalah kebutuhan primer yang tak dapat terhindarkan lagi. Selama kehormatan dan keamanan seorang perempuan terjamin, maka pekerjaan perempuan di luar dunianya dapat dibenarkan. Wallahu A’lam.