Pada penghujung bulan Oktober 2019 ini kita memperingati hari yang sangat bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Hari Sumpah Pemuda. Kita memperingatinya setiap tahun pada tanggal 28 Oktober. Inilah sumpah yang ketiga bagi bangsa yang berdiam di negeri kepulauan yang diapit oleh dua benua Asia dan Australia, juga diapit oleh dua samudera Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Sumpah yang pertama diucapkan oleh Raja Sriwijaya, yang hendak mengusai lautan yang membentang di Nusantara. Sumpah kedua diucapkan oleh Mahapatih Majapahit, Gajah Mada. Sumpahnya yang terkenal adalah Amukti Palapa. “Saya tak akan makan buah palapa sebelum negeri-negeri di Nusantara ini bersatu di bawah bendera Majapahit!”
Dua sumpah tersebut terikrar sebelum negeri ini kedatangan bangsa kulit putih dari Eropa. Setelah Belanda, Portugis, dan Inggris masuk dengan muslihat dan kemudian menjajah dengan bendera imperialismenya, perjuangan anak bangsa di negeri ini tak lagi sporadis dan fragmentaris.
Banyak perkumpulan atau organisasi yang berusaha mendobrak kemapanan penjajajah dengan cara-cara yang ilmiah, elegan, dan sistematis. Meskipun senantiasa di bawah tekanan, Sumpah Pemuda terikrar pada kurun waktu ini.
Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskkan cita-cita berdirinya negara Indonesia.
Sumpah Pemuda merupakan keputusan Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada “tanah air Indonesia”, “bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia”. Keputusan ini juga diharapkan menjadi asas bagi setiap “perkumpulan kebangsaan Indonesia” dan agar “disiarkan dalam segala surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan”.
Istilah “Sumpah Pemuda” sendiri tidak muncul dalam putusan kongres tersebut, melainkan diberikan setelahnya. Berikut ini adalah bunyi tiga keputusan kongres tersebut sebagaimana tercantum pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda. Penulisannya menggunakan ejaan van Ophuysen.
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Bayangkan, apa jadinya negeri ini tanpa bahasa Indonesia. Mungkin tak akan ada negeri dan negara yang disebut Indonesia. Sebab di negeri ini terdapat ratusan bahasa daerah atau bahasa ibu yang digunakan oleh berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara.
Betapa sangat digdayanya Bahasa Indonesia, saya gambarkan dalam puisi “Tuah Bahasa Indonesia”. Inilah pusi selengkapnya yang saya tulis lima tahun lalu.
Tuah Bahasa Indonesia
Tuah Bahasa Indonesia bagi insan di persada Nusantara
menjelma perekat baja tak sekadar mencusuar di menara.
Ia milik ratusan suku dengan cerlang budaya tiada terkira
dengan menjunjungnya senantiasa setinggi bintang kejora.
Ia warisan sejarah tapi tak tersimpan dalam kotak pandora.
Meski di tanah air kami berserak Bahasa Jawa, Mandar,
Sunda, Batak, Minang, Lampung, Aceh, Melayu, Banjar,
Dayak, Bali, Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Makassar,
Bugis, dan ratusan bahasa ibu yang membuat kami bersinar
tuah Bahasa Indonesia makin mengurat dan kian berakar.
Meski di tanah air kami berlaga Bahasa Belanda, Inggris,
Mandarin, Korea, Jepang, India, Arab, Spanyol, Prancis,
Jerman, Rusia, Italia, dan Amerika Latin, juga Portugis,
tak jua membuat kami jadi miris teriris apalagi menangis,
malah kami membuatnya bersenyawa bahagia bersinergis.
Bahasa Indonesia adalah tangan perkasa yang merangkul
manusia yang mengembara di Nusantara lalu bergumul
dalam aneka suara dan sengat keringat tanpa rasa masygul.
Tuah Bahasa Indonesia adalah mesiu dan senjata tak tumpul,
yang berkobar dan berkibar hingga zaman susul-menyusul.
Jakarta, 20 Oktober 2014
Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam suku dapat dipersatukan oleh Bahasa Indonesia. Sulit dibayangkan seandainya para pendahulu kita tidak memiliki visi ke depan yang futuristik. Barangkali sekarang ini kita tidak mengenal negeri dan negara Indonesia. Mungkin yang ada negara Jawa, negara Sunda, negara Minnangkabau, negara Batak, negara Toraja, negara Madura, dan lain-lain.
Bahasa Indonesia yang sekarang menjadi bahasa kebangsaan pada dasarnya bukan bahasa milik siapa pun. Sebab tidak ada suku bangsa di Indonesia yang secara mutlak dapat menganggap dirinya berbahasa ibu Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi umumnya orang Indonesia. Walaupun memang harus diakui bahwa ada bahasa ibu yang cukup dekat hubungannya dengan Bahasa Indonesia. Ada pula bahasa ibu yang hubungannya sangat jauh dengan Bahasa Indonesia.
Kenyataan bahwa Bahasa Indonesia bukan milik siapa pun menyebabkan bahasa itu dapat diterima sebagai bahasa kebangsaan tanpa menimbulkan tantangan dan konflik yang berarti.
Karena itulah Bahasa Indonesia tergolong bahasa yang unik di antara jajaran bahasa-bahasa di dunia. Bahasa Jawa adalah bahasa yang memiliki jumlah penutur yang terbesar. Itu sebabnya, adalah wajar jika pada Kongres Pemuda II sebagian terbesar pemuda yang berasal dari suku Jawa merupakan kelompok yang paling gigih menolak bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Akan tetapi, setelah melalui berbagai pendekatan dan musyawarah, akhirnya kelompok penentang itu pun dengan tulus ikhlas menerima juga keputusan kongres.
Berkaitan dengan inilah maka Joshua Fishman (1978) – seorang sosiolinguis – mengatakan bahwa keikhlasan suku Jawa yang menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tampak ketika dengan senang hati dan tanpa ragu-ragu mengorbankan bahasa ibunya ke altar integrasi nasional Indonesia.
Tidak seperti negeri dan negara di benua hitam Afrika yang menggunakan bahasa negara penjajah, Prancis dan Inggris, sebagai bahasa nasionalnya. Tidak seperti negeri jiran yang menggunakan bahasa Inggris, bahasa penjajah sebagai bahasa nasionalnya. Tidak seperti negara-negara di Amerika Latin yang menggunakan bahasa penjajah, Spanyol dan Portugis, sebagai bahasa nasionalnya.
Meskipun dijajah oleh Belanda, bangsa Indonesia tak sudi menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia memang benar-benar bertuah!