Pada 1169 M., Ibnu Rusyd (43 tahun) dibawa oleh guru filsafat dan teologinya, Ibnu Tufail, ke hadapan seorang sultan bernama Abu Ya’kub Yusuf untuk menyeleksi dan mengoreksi berbagai komentar atau syarah karya-karya Aristoteles. Dari situ lahirlah kitab anggitan Ibnu Rusyd berupa komentar-komentar atas karya Aristoteles. Ibnu Rusyd selain terkenal sebagai dokter, ia ilmuwan Islam pen-syarah Aristoteles.
Membaca buku Menjadi Manusia Rohani, mengingatkan saya pada Ibnu Rusyd. Di mana Kiai Ulil meracik bukunya dengan bentuk serupa komentar atas aforisma-aforisma Hikam Ibnu ‘Athaillah. Menuliskan teks asli aforisma Hikam, lantas diurai dengan bahasa Kiai Ulil sendiri. Ini seperti apa yang dilakukan Ibnu Rusyd atas karya Aristoteles yang melahirkan di antaranya tiga macam kitab syarah; al-Syarh al-Akbar, al-Syarh al-Awsath, dan al-Syarh al-Talkhis.
Pada tiap aforisma, Kiai Ulil menerangkan urainnya dengan entri bahasan “Pengertian Secara Umum” dan “Pengertian Secara Khusus”. Dalam khazanah pesantren; istilahnya ‘awaam dan khaash.Gaya tutur tersebut membuat potensi keterbacaan buku Kiai Ulil lebih meluas segmentasinya. Menjadi Manusia Rohani bisa dinikmati oleh mereka yang bersahabat dengan tasawuf, pun oleh mereka yang masih awam dunia sufisme.
Kiai Ulil memilih diksi Tuhan sebagaimana umumnya Allah dalam transliterasi teks-teks Islam. Entah apa motifnya, tapi ini membuat Menjadi Manusia Rohani semakin unik. Buku bercorak tasawuf itu bisa pula dinikmati oleh non muslim. Lema kata Allah identik bahasa Islam, maka kosa kata Tuhan lebih terasa universal. Apalagi diksi Buddha jadi salah satu sub judul seperti tertera pada halaman 189; Jadilah Seperti Buddha; Tenang di Tengah Keramaian. Hal itu membuat jam terbang Menjadi Manusia Rohani makin moncer. Ia buku tasawuf Islam, tapi lintas iman.
Kehadiran buku ini di era modern menjadi tetes-tetes hujan di kemarau panjang aktivisme kita yang serba duniawi. Judulnya saja sangat pekeling, bahwa kita manusia adalah makhluk dualis. Jauh di kedalaman jasad terdapat ruh, jiwa yang kerap terlupa. Menjadi Manusia Rohani mengajak kita sedikit berjeda dari hiruk-pikuk jasadi. Menziarahi alam ruhani untuk kembali eling dan sadar, bahwa terlalu lama kita mengisolasi ruhani.
Dalam sub judul Dari Manusia Jasad Menuju Manusia Rohani, Kiai Ulil mengingatkan kita betapa pentingnya satu kesadaran atas kedirian kita dari sisi ruhaniah. “[] … manusia harus bisa melepaskan pelan-pelan dari sifat-sifat basyariyyah itu, dan menghiasi diri dengan sifat-sifat insaniyyah (kemanusiaan). … dengan sungguh-sungguh merefleksikannya, kita akan bisa terbebas dari kondisi basyariyyah, menuju kondisi insaniyyah; dari level tubuh dan jasad belaka, menjadi roh yang memancarkan kebenaran Tuhan.” (hlm. 248)
Syahdan, membaca satu karya tak afdal kiranya jika tak melongok konteks yang menyertainya. Mengintip pergumulan penganggit dengan topik relevan amat penting agar pembacaan kita atas karya anggitan lebih holistik. Kiai Ulil kita mafhum merupakan menantu dari KH. Mustofa Bisri “Gus Mus”. Dalam pengantarnya, redaksi menurutkan bahwa tradisi syarah-mensyarahi dan alih bahasa al-Hikam lekat dengan istilah tuan redaksi, “Keluarga Rembang”. Sebelum Kiai Ulil, tercatat nama pendahulunya dari “Keluarga Rembang”; KH. Misbah Mustofa, KH. Adib Bisri, dan KH. Cholil Bisri.
Pungkasnya, menikmati Menjadi Manusia Rohani tak bisa diurai dengan kata apa pun. Kenikmatan menjejakkan pada deret kata dan makna terkandung hanya bisa Anda peroleh dengan membacanya sendiri. Mengkonsumsinya dengan jiwa penuh rasa gelap. Menepikan hasrat kedirian yang telah bersinar. Sebab bagi saya pribadi menyelam di buku ini tak perlu membawa bekal apa-apa, cukup telanjang jiwa. Setelah itu, bakal terasa magnet tak terbahasakan menggelombang dalam dada.
Siapa pun, sungguh buku ini tasawuf teoretis lintas iman.
“Dalam tiap Agama ada cinta, dan cinta tak mengenal Agama” – Jalaluddin Rumi.
Identitas Buku
Judul: Menjadi Manusia Rohani
Penulis: Ulil Abshar Abdalla
Penerbit: Alifbook & el-Bukhori Institute
Cetakan: II, April 2019
Tebal: 317 Halaman