Penolakan terhadap upacara Piodalan oleh warga Dusun Magir Lor, desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul, Selasa (12/11/2019), sangat disayangkan oleh Ketua PC GP Ansor Kabupaten Buleleng, Abdul Karim Abraham.

Sebagai warga minoritas di Bali, Karim memahami apa yang dirasakan masyarakat Hindu di sana. Menurutnya, tindakan tersebut merupakan bentuk arogansi mayoritas kepada kelompok minoritas.

Di Bali, tuturnya, umat Islam sebagai minoritas terlindungi. Hal itu terlihat, jika akan mengadakan kegiatan, nyaris tidak pernah dipersulit oleh umat Hindu sebagai Mayoritas. “Bahkan Pecalang yang merupakan representasi Hindu, turut membantu memperlancar acara, mereka tidak pernah mempersulit kami.”

Untuk mempererat persaudaraan, Karim menambahkan, Banser seringkali terlibat membantu Pecalang dalam upacara adat Hindu Bali. “Baik sebagai minoritas atau mayoritas kami semua ingin damai dalam beragama,” tandasnya.

Sebabnya, kejadian penolakan di Bantul membuat Karim prihatin karena konflik agama antara mayoritas dan minoritas terus terjadi. “Kalau ini terus terjadi, bisa memicu percikan konflik bagi minoritas di tempat lain.” Untuk itu, Karim menghimbau semua pihak untuk bertindak bijak terhadap siapa pun, termasuk kepada kelompok minoritas.

“Kami di Bali sangat rukun. Hidup berdampingan. Tetangga depan dan samping saya Hindu. Bahkan dalam keseharian kami saling menghormati,” ungkap Karim. Ia mencontohkan saat ada hajatan. Biasanya shohibul hajah yang muslim dipersihlahkan duluan, keesokan harinya baru untuk umat Hindu. Karena ada perbedaan jenis makanan yang boleh dan tidak boleh bagi umat Islam dan Hindu. “dan kami saling memahami.”

Sebagai ketua Anshor, Karim, akan terus meningkatkan komunikasi untuk mempererat huhungan harmonis antara pemeluk agama. Salah satu programnya melalui pergelaran budaya yang setiap tahunnya dilaksanakan. Hadrah dan bleganjur pentas bareng sebagai simbol kerukunan antara umat Hindu mayoritas dan Muslim minoritas. “Semoga semua pihak saling mendukung,” harapnya.

Leave a Response