Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa emosi manusia sejatinya dapat dikendalikan dengan dua metode, yakni metode pengetahuan dan metode perbuatan.
Metode pengetahuan yang beliau tawarkan ialah dengan memanfaatkan akal budi yang telah diberikan Allah kepada manusia. Sedangkan metode perbuatan yang dimaksud dapat mengendalikan emosi–sebagaimana tertera dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, subbab bayan ‘ilaj al-ghadhab ba’da haijanihi (penjelasan tentang penyembuhan amarah setelah berkobar).
Setidaknya terdapat tiga tahapan untuk meredam amarah yang bisa dilakukan. Tahapan yang dimaksud ialah, sebagai berikut:
Pertama, mengucapkan taawuz (a’udzu billahi minasy syaithonirrojim). Terkait cara ini, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa kemarahan itu berasal dari setan, maka sudah selayaknya apabila kita memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan. Karena ditinjau dari segi makna, sudah sangat jelas bahwa dalam lafal taawuz terkandung sebuah permohonan kepada Allah supaya dilindungi dari segala godaan setan.
Hal ini juga selaras dengan yang diajarkan oleh Rasullullah Saw., bahwa ketika seseorang merasakan ada gejolak amarah dalam dirinya, maka hendaknya ia mengucapkan taawuz.
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَد، قَالَ: كُنْتُ جَالِساً مَعَ النَّبِيِّ وَرَجُلَانِ يَسْتَبَّانِ، وَأَحَدُهُمَا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ.
Dari Sulaiman bin Shurad, ia berkata: “Saya duduk bersama Nabi dan terdapat dua orang yang saling mengumpat. Salah satu dari keduanya telah memerah wajahnya dan menegang urat lehernya, kemudian Rasulullah berkata: (Sungguh aku telah mengetahui satu kalimat yang apabila ia mengucapkannya, maka hilanglah apa yang ada pada dirinya. Yakni apabila ia mengucapkan: {a’udzu billahi minasy syaithanirajim}, maka hilanglah apa yang ada pada dirinya.)” (H.R. Bukhari)
Kedua, mengubah badan ke posisi yang lebih rendah dari posisinya ketika marah. Yakni duduk tenang apabila marahnya dalam keadaan berdiri, atau membaringkan badan apabila marahnya dalam keadaan duduk.
Untuk mendukung argumen tersebut, Imam al-Ghazali mengutip sebuah hadis yang diceritakan oleh Abu Hurairah. Bahwasanya ketika Nabi Muhammad Saw. marah dalam keadaan berdiri, maka beliau memdudukkan tubuhnya. Ketika beliau marah dalam keadaan duduk, maka beliau membaringkan tubuhnya. Lantas hilanglah kemarahan yang dirasa itu.
Adapun tujuan dari perilaku ini ialah untuk memperoleh ketenangan dan kenyamanan. Karena sebagaimana dimengerti bahwasanya kemarahan bermuara pada jiwa yang panas. Sedangkan jiwa yang panas berasal dari adanya gerakan. Sehingga untuk dapat meredam kemarahan, maka perlu membuat tenang badan terlebih dahulu.
Uraian di atas merujuk pada hadis Nabi yang menjelaskan bahwa, kemarahan itu layaknya bara api yang dihidupkan di dalam hati.
إِنَّ الغَضَبَ جَمْرَةٌ تُوْقَدُ فِي القَلْبِ
“Sesungguhnya kemarahan merupakan bara api yang dihidupkan di dalam hati.” (H.R. Tirmizi)
Selain itu, Imam al-Ghazali menuturkan bahwasanya mendudukkan diri dengan tenang maupun membaringkan badan juga bermanfaat untuk mendekatkan seluruh tubuh ke tanah yang merupakan asal penciptaannya. Kemudian manfaat yang diharapkan ialah supaya dapat menyadari akan rendah dan hinanya diri sendiri.
أَلَا وَإِنَّ الغَضَبَ جَمْرَةٌ فِي قَلْبِ ابْنِ آدَمَ. أَلَا تَرَوْنَ إِلَى حُمْرَةِ عَيْنَيْهِ وَانْتِفَاخِ أَوْدَاجِهِ، فَمَنْ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ شَيْأً فَلْيُلْصِقْ خَدَّهُ بِالأَرْضِ
“Ingatlah, sesungguhnya kemarahan ialah bara api yang bersemayam di dalam hati keturunan Adam. Tidakkah kalian melihat memerahnya kedua matanya dan menegangnya urat lehernya? Barang siapa menjumpai hal tersebut, maka hendaknya ia mempertemukan pipinya pada bumi” (H.R. Tirmizi)
Ketiga, berwudhu atau mandi untuk menyegarkan badan dan menjernihkan pikiran. Merujuk penjelasan Imam al-Ghazali di atas, bahwa kemarahan itu berasal dari setan dan sesungguhnya setan diciptakan dari api.
Sehingga ketika diri kita merasakan gejolak amarah, maka hendaknya berwudhu atau mandi. Karena api yang menjadi asal penciptaan setan itu hanya bisa dipadamkan dengan air yang digunakan untuk wudhu atau mandi.
Cara menghilangkan amarah yang ketiga ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw. yang berisi imbauan untuk berwudhu ketika seseorang merasakan gejolak amarah dalam dirinya.
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ بِالـمَاءِ البَارِدِ فَإِنَّمَا الغَضَبُ مِنَ النَّارِ
“Ketika salah seorang di antara kalian marah, maka berwudhulah dengan air dingin. Karena kemarahan itu berasal dari api.” (H.R. Abu Dawud)
Bisa juga dengan meniru ajaran Sayyidina Umar yang menghisap dan menyemprotkan air dengan hidung untuk menghilangkan kemarahan. Diceritakan bahwa ketika Umar bin Khattab marah, beliau mengangkat air, dan dengan hidungnya beliau menghisap dan menyemprotkan kembali air itu. Lantas beliau berkata, “Sesungguhnya kemarahan berasal dari setan, dan inilah cara mengusir kemarahan.”
Itulah perbuatan yang diresepkan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin dan bisa dilakukan oleh seseorang yang hendak memadamkan amarah dalam dirinya. Wallahu a’lam bish shawab.