“Bagaimana kalau ternyata uangnya jadi haram?”
Komentar tersebut kerap saya dengar dari seorang kawan, ketika saya menyodorkan gawai untuk melakukan pembayaran. Tinggal satu klik, struk belanja pun keluar. Kawan saya itu memang masih memegang teguh prinsip ketradisionalan uang, berasaskan kehati-hatian.
Sama seperti agama, uang tak pernah kehilangan maknanya. Masih menjadi alat tukar yang digiurkan orang sedunia. Mengiringkannya dengan kata “haram” membuat uang jadi terkesan mengerikan. Memang, tergerus arus revolusi 4.0, uang pada hari ini tak lagi berupa lembaran yang diperebutkan. Kini bentuknya mengarah kepada sesuatu yang lebih praktis, bahkan tidak memiliki wujud sama sekali alias berupa kode digital yang hanya perlu diklik untuk diaktifkan.
Lahirnya fasilitas e-banking dan m-banking pada 2008 menjadi cikal bakal meluasnya istilah financial technology atau Uang Elektronik. Fenomena pergeseran makna uang ini disambut baik oleh dunia perbankan dan bisnis-bisnis start up.
Masyarakat Indonesia yang notabenenya selalu ‘maju’ bila dikaitkan dengan hal-hal berbau globalisasi, telak menjadi sasaran. Perusahaan start up luar negeri dengan haus menjajah pasar uang elektronik, bersaing ketat dengan start up lokal. Berbagai jenis pembayaran dengan diskon melimpah terus hadir tiap harinya. Kredit online sudah merebak ramai, tidak lagi sekedar kredit iseng yang disebar melalui SMS.
Namun, belum ke mana mana perkembangan uang elektronik ini, nasib berkata lain. Tantangan dari beberapa pihak bagai duri-duri di jalan. Memang, tak bisa terelakkan sesuatu yang berbau ‘baru’ bakal mengundang banyak tanda tanya.
Belum lagi, mengingat uang elektronik ini baru hadir sekitar 2 dekade terakhir, dibandingkan konsep uang karta yang telah mendarah daging berabad-abad.
“Emang beneran boleh ya pakai **pay?” Tanya kawan saya lagi.
Sebenarnya, Islam memandang uang elektronik sebagai produk dari gejala sosial yang baru, yang merupakan sebuah kewajaran dan bukan hal yang terlarang. Jual-beli sedari dahulu sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Rasulullah saw. sendiri merupakan seorang pedagang.
Uang elektronik hanyalah sebatas wujud baru dari uang yang kita kenal selama ini. Pada dasarnya, Islam memandangnya sebagai muamalah yang mubah. Namun, perlu diterapkan beberapa hal agar uang elektronik tidak menyerong dari kaidah Islam.
Kredit online, misalkan. Hukumnya sama dengan kredit biasa, yaitu harus terhindar dari riba dan gharar. Dalam hal jual-beli secara online, ulama masih mendebatkan terhindarnya hal tersebut dari gharar. Gharar adalah prinsip keragu-raguan apakah barang tersebut sama dengan yang ditampilkan di gambar. Mengenai hal ini, tanggung jawab ditanggungkan kepada penjual agar memakai gambar yang real, dan kepada pembeli agar lebih teliti dalam memilih barang.
Uang elektronik yang di-scan di gawai dan menawarkan diskon menggiurkan, bagaimana hukumnya? Mengenai ini, bila akad awalnya dimaknai sebagai utang-piutang, bonus serta diskon tersebut bisa diartikan sebagai riba.
Namun, apabila akad wadi’ah yang diterapkan, maka imbalan berupa potongan harga itu diterima dari diskon harga jual produk yang jelas. Sehingga hukumnya dibolehkan.
Menurut Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri Pulau Bawean Ustadz Muhammad Syamsudin dikutip oleh Nu Online, “Hal ini sama seperti seorang pedagang baju dititipi uang oleh rekannya. Kebetulan rekannya itu ingin belanja baju di tempatnya dan saat itu sedang ada diskon untuk semua pelanggan. Jadi, rekan pedagang ini membeli baju dengan harga diskon.”
Bagi yang menganggap akad Gopay serta OVO sebagai ijarah, maka pada prinsipnya, yang ditawarkan gojek/grab adalah jual beli jasa transportasi. Hanya saja dikemas dengan memaksimalkan pemanfaatan IT, dan kebutuhan pelanggan. Tidak berbeda dengan media transportasi lainnya.
Sebagai gelombang baru, keuangan berbasis elektronik membutuhkan kajian khusus dari ulama kontemporer. Pasalnya, masih banyak umat yang kebingungan akan keabsahan uang elektronik. Padahal kecerdasan finansial merupakan hal yang krusial. Kecerdasan ini merupakan karateristik dalam menghadapi uang dan bagaimana perlakuan kita terhadap fenomena yang berlaku.
Dengan hadirnya revolusi 4.0. dan ekspansi internet, ketergantungan generasi milenial dan gen z pada uang elektronik akan semakin tinggi.
Kemajuan teknologi harus dibarengi dengan kemajuan fatwa serta ilmu agama. Memang, makin banyak pe er bagi ulama kita tercinta. Namun, bukankah itu harapan kita sebagai umat yang menjadikan mereka panutan utama?