Alkisah, suatu ketika ada seorang ulama –tidak disebutkan namanya, berkunjung ke suatu negeri. Tanpa basa-basi sang ulama tiba-tiba berkata kepada penduduk negeri tersebut, “Wahai penduduk negeri, aku siap dengan segala macam pertanyaan sulit yang akan kalian lontarkan padaku.”
Sang ulama tersebut tidak mengetahui bahwa dalam gerombolan penduduk negeri tersebut ada Abu Hanifah ra. Mendengar kesombongan ulama tadi, lantas Abu Hanifah ra. berujar, “Wahai ulama, aku ingin bertanya kepadamu.”
Sang ulama dengan nada sombong membalas keinginan Abu Hanifah ra., “Silakan tuan, pasti akan kudapati jawabannya.”
Abu Hanifah ra. lantas melontarkan pertanyaannya, “Wahai ulama, tahukah engkau apa jenis kelamin semut yang bicara pada kawanannya saat Nabi Sulaiman as. melewati daerah mereka, pejantan atau betina?”
Sang ulama pun terdiam tanpa kata mendengar pertanyaan Abu Hanifah ra., lalu dengan sedikit lama berpikir sang ulama pun menjawab, “Allah lah yang Mahatahu ihwal perkara itu.”
Mendengar jawaban sang ulama, lantas Abu Hanifah ra. berdiri dan berargumen, “Ketahuilah wahai ulama, bahwa semut yang bicara pada kawanannya saat Nabi Sulaiman as. melewati daerah mereka adalah berkelamin betina.”
Sang ulama yang penasaran dengan pernyataan Abu Hanifah ra. lalu bertanya, “Lalu apa dalilnya kalau semut itu berkelamin betina?”
Dengan santainya Abu Hanifah ra. mengutip ayat Alquran,
” قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ”
“Berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”(an-Naml: 18).
Dalam ayat tersebut Allah memakai diksi ” قَالَتْ نَمْلَةٌ ” dengan menggunakan huruf ta’ ta’nits, yang menunjukkan bahwa sang semut adalah berkelamin betina.
Mendengar penjelasan Abu Hanifah ra., sang ulama diam seribu bahasa, sepertinya ia malu karena tak mampu menjawab pertanyaan Abu Hanifah ra. Wallahu A’lam.
(Disarikan dari kitab Anisul Mu’minin, karya Syaikh Shafwak Sa’dallah al-Mukhtar)