Konon, orang-orang merindukan mutu pendidikan (tinggi) bercap Islam di Indonesia maju alias bertambah mutu. Orang-orang pun ingin memiliki cerita-cerita memikat mengenai masjid, tempat ibadah dan ruang pendidikan-pengajaran.
Kita sengaja mulai memberi perhatian ke universitas dan masjid. Universitas itu institusi pendidikan memberi gelar kesarjanaan, mengesankan orang kuliah atau lulus berarti “berpendidikan”. Ingatan kita ke masjid pun mendambakan ruang ibadah dan belajar pelbagai hal untuk membuat orang semakin beriman dan beradab. Kita memastikan universitas dan masjid mungkin memiliki kaitan erat di misi agama dan ilmu-pengetahuan.
Kini, universitas-universitas di Indonesia mulai keranjingan raihan atau pemecahan rekor. Di Solo, ada universitas besar sudah sering mengoleksi piagam rekor. Sekian rekor aneh-aneh. Ukuran mendapat rekor adalah “ter” atau paling. Di mata warga universitas, rekor-rekor itu membanggakan.
Pada suatu hari, penulis berkunjung ke kantor jurusan di universitas kondang di Solo. Di dinding, ada sekian piagam dengan bingkai dipajang. Piagam itu mungkin memberitahukan ke tamu agar memuji atau penasaran atas capaian-capaian pihak universitas. Duh, dinding-dinding akademik berhiaskan piagam rekor! Konon, rektor, dekan, mahasiswa, dan siapa saja di kampus memiliki kehormatan jika selalu meraih rekor dan menambahi koleksi rekor, dari bulan ke bulan.
Penulis belum berkunjung ke kantor-kantor di pelbagai universitas seantero Indonesia. Penulis mulai “ketakutan” menjadi tamu dan melihat dinding-dinding kantor untuk para pejabat universitas. “Takut” melihat ada piagam di dinding. Lho! “Ketakutan” bertambah setelah membaca berita di Republika edisi DIY-Jateng, 2 September 2019.
Berita kecil tapi sempat membikin resah, melebihi resah perindu kekasih. Kita simak kutipan-kutipan di berita: “Fakultas Teknik Muhammadiyah Yogyakarta (FT UMY) berhasil mencatatkan nama di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Raihan ini setelah menghasilkan rancangan masjid modern terbanyak. Ada 48 desain gambar masjid dan 591 esai yang dihasilkan.” Penulisan di berita adalah “essay”, bukan “esai”. Penulis sengaja mengganti tanpa minta izin. Kita diminta tepuk tangan gara-gara “berhasil” dan “terbanyak”. Kaidah-kaidah rekor terpenuhi?
Kita menunduk sejenak. Tugas terbaru institusi perguruan tinggi adalah meraih rekor? Oh, apa ada pamrih meningkatkan mutu dengan nalar dan kerja sederhana demi keimanan, keilmuan, dan kebangsaan? Ingat, rekor itu penting. Penting! Universitas tanpa rekor pasti malu dan sulit jadi berita di koran, majalah, televisi, atau terpamerkan di media sosial.
Anjuran terpenting masa sekarang: universitas wajib meraih dan mengoleksi rekor untuk apa saja. Di situ, kita membaca peraih rekor adalah institusi dengan orang-orang bermaksud belajar atau kuliah. Urusan awal justru rekor. Eh, rekor itu berkaitan masjid.
Kita lanjutkan mengutip isi berita: “Sementara itu, Wakil Rektor UMY Bidang Akademik UMY, Sukamta menjelaskan, penghargaan ini merupakan rekor kesepuluh yang didapatkan UMY. Semua rekor yang telah dihasilkan tersebut, katanya, bukan hanya untuk mencari pengakuan belaka.”
Kita mengerti dengan penjelasan jumlah raihan rekor dan argumentasi. Kita menduga saja ada orang mau mencari informasi dan mencatat album rekor puluhan universitas di Jogjakarta. UMY sudah memiliki 10. Sekian universitas lain tentu bisa pamer telah meraih dan memecahkan rekor. Kita kumpulkan semua rekor dan memberi tepuk tangan, tiga hari tiga malam.
Makna mutakhir tentang universitas adalah rekor. Ingat, universitas itu rekor! Kita jangan tergesa ribut berpolemik peringkat universitas-universitas di Indonesia di Asia atau kebijakan mendatangkan rektor asing. Urusan darurat adalah rekor. Kita maklum Mohamad Nasir mungkin belum terlalu memikirkan rekor dalam menunaikan kerja-kerja besar di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Kita usulkan beliau membuat surat edaran agar universitas-universitas tak perlu tergoda mengoleksi rekor. Surat edaran jangan melarang pemecahan rekor. Pelarangan bisa mengakibatkan ngambek dan demonstrasi seribu hari. Konon, rekor itu hak segala universitas.
Kita masih mengutip di berita: “Sukamta juga mengatakan, pemilihan perancangan masjid ini dilakukan karena tempat ibadah umat Muslim merupakan fondasi peradaban Islam. Untuk itu, UMY memiliki tujuan menjadi perguruan tinggi yang maju mulai dari masjid.”
Kita selesaikan mengutip berita. Kita sengaja menjadikan berita itu ingatan bersama mumpung sedang ada pemikiran-pemikiran ruwet: pemajuan mutu perguruan tinggi di seantero Indonesia. Berita tentang UMY cuma contoh kecil. Hal serupa bisa terjadi pula di pelbagai perguruan tinggi umum atau Islam. Kebetulan saja ada berita mengenai universitas, rekor, dan masjid. Berita itu membuat penulis minum air putih hangat segelas, sebelum berceloteh sendiri: “Universitas dan masjid (tak) perlu rekor.”
Senin dengan matahari terang-panas menjadi dalih bagi penulis memilih membaca berkeringat tiga buku lawas garapan H Aboebakar, Mahmud Junus, dan Sidi Galzaba. Tiga buku mengenai pendidikan dan masjid. Penulis menduga tiga buku itu sudah sepi dari pembaca, tak lagi menghuni rak-rak di perpustakaan milik universitas.
Konon, buku lawas sering dituduh kalangan akademik abad XXI kehilangan khasiat. Anjuran teringat dari para dosen bagi mahasiswa menulis makalah atau skripsi: “Gunakanlah buku-buku referensi sepuluh tahun terakhir.” Pesan jangan dilawan: “Harus ada buku-buku berbahasa Inggris untuk referensi.” Duh, dua buku lawas pasti terkapar, bernasib sial bagi kaum intelektual di kampus.
Mahmud Junus dalam buku berjudul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (1979) menjelaskan: “Pendidikan Islam adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan bertujuan akhlak yang mulia dengan tidak melupakan kemajuan dunia dan ilmu pengetahuan yang berguna untuk perseorangan dan kemasyarakatan.”
Kita tak pernah menemukan ada diksi “rekor”. Pendidikan Islam, dari PAUD sampai perguruan tinggi, memiliki tujuan-tujuan mulia, bukan meraih dan mengoleksi puluhan atau ratusan rekor. Latar pendidikan Islam di Indonesia malah gamblang mengingatkan kita dengan Pancasila.
Nah, kita bermufakat saja bahwa “rekor” sangat tak diperlukan dalam pemenuhan misi pendidikan Islam di Indonesia. Kita menafsir itu bisa diterapkan pula di pelbagai perguruan tinggi bercap Islam (negeri atau partikelir) agar mendingan berhenti membuat “prestasi” dengan pamer rekor-rekor.
Penulis bertambah resah saat membuka buku berjudul Sedjarah Mesdjid dan Amal Ibadah Didalamnja (1955) susunan penulis kondang di masa lalu, H Aboebakar. Buku dokumentatif, mengajak kita mengingat dan mengenali masjid. Ajakan tanpa menggoda nalar-imajinasi kita mengenai rekor berkaitan masjid. Aboebakar belum hidup di “zaman rekor”. Ia pasti berpikiran bahwa masjid tak perlu piagam rekor dan memajang rekor itu dinding masjid.
Buku memuat lembaran sambutan dari Presiden Republik Indonesia Soekarno. Tulisan tangan. Soekarno berharapan: “Kapan Indonesia mempunjai mesdjid-mesdjid jang hebat, jang sedikitnja sama dengan mesdjid-medjid jang terlukis dalam kitab ini, bila mungkin malahan lebih hebat? Kapan mesdjid Istiqlal terlaksana? Moga-moga Tuhan mengabulkan tjita-tjita ini!” Kita wajib perhatikan tanggal penulisan sambutan: 5 Juli 1955.
Puluhan tahun lalu, Soekarno mendambakan Indonesia memiliki masjid “hebat” tapi tak mengumumkan harus memecahkan rekor. “Ter” mungkin jadi pikiran untuk “terbesar” “terluas”, “terindah”, atau “termegah” tapi belum perlu masjid itu harus meraih rekor, mengoleksi puluhan piagam rekor tingkat Asia dan dunia.
Kita lanjutkan membaca penjelasan Aboebakar: “Ditanah air kita Indonesia bangunan-bangunan mesdjid sedikit benar jang mempunjai bentuk jang dapat menarik perhatian dan pemandangan. Kebanjakan mesdjid-medjid itu diperbuat dari pada konstruksi kaju atau bambu sebagai bahan-bahan jang mudah dan banjak terdapat didaerah kita….” Penjelasan itu panjang, mengajak pembaca ke pengembaraan masa lalu. Aboebakar “salah waktu”.
Beliau jika masih hidup mungkin melongo melihat masjid-masjid megah dan indah mulai dibangun di pelbagai kota dan kabupaten demi raihan “ter”. Sekian masjid sengaja memilih artsitektur Timur Tengah, belum merasa perlu berpijak ke arsitektur Nusantara. Konon, sekian masjid itu tempat terindah bagi orang-orang berpotret, selain beribadah dan ikut pengajian.
Matahari semakin panas. Keringat sudah mengalir di wajah. Di tangan, buku terbuka berjudul Mesdjid: Pusat Ibadat dan Kebudajaan Islam (1962) susunan Sidi Gazalba. Buku laris, sering cetak ulang. Dulu, buku itu pernah dianjurkan menjadi bacaan di universitas berdasarkan Surat Lembaga Pendidikan Agama Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuans No 031/ Leppa/64, 8 Mei 1964.
Pesan lama: “Rentjana jang paling tepat hasil untuk menormalkan kembali tugas-tugas dan makna mesdjid, serempak dengan itu menormalkan kembali kehidupan Islam dan masyarakat Muslim ialah pendidikan. Tetapi pendidikan pula jang paling ruwet melaksanakannja, meminta waktu pandjang sekali, kesungguhan dan ketekunan.”
Di buku agak tebal dan bermutu, Sidi Gazalba tak peduli dengan rekor untuk urusan masjid dan pendidikan. Rekor tentu diksi masih aneh di masa lalu bagi para pemikir rajin menulis bertema pendidikan Islam dan masjid. Beliau pasti bingung mengetahui ada rekor-rekor di abad XXI berkaitan (lembaga) pendidikan Islam dan masjid.
Tiga buku lawas itu pasti dianggap tak aktual dibaca demi mengerti berita-berita mulai sering berasal dari univeritas-universitas untuk pemecahan rekor. Buku sudah lusuh jarang memikat orang untuk mau memegang dan membaca. Konon, kaum intelektual sekarang tak perlu mengotori tangan dengan membuka buku lawas berdebu atau capek membuka halaman demi halaman. Mereka dianjurkan membaca buku-digital di gawai.
Ah, hari sudah siang. Kita akhiri bualan atau gosip picisan dengan mengutip puisi dari buku berjudul Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba (1990) gubahan Emha Ainun Nadjib. Di puisi berjudul “Aku Masjid”, terbaca: Aku masjid/ Tak berpintu/ Dindingku ruang/ Lantaiku waktu… Aku ini masjid, tataplah baik-baik/ Seluruh aliran darahmu adalah detak jantungku/ Seluruh deritamu termuat di kandungan cintaku/ Bersujudlah, bermenung, ber-iktikaf. Puisi tentang masjid itu tak pernah meminta rekor. Emha Ainun Nadjib bukan manusia mendamba rekor atau mengoleksi puluhan piagam rekor untuk berdakwah. Begitu.