Keris, bagi masyarakat Jawa adalah benda yang tidak asing lagi, mengakar dan mendarah daging dalam jiwa mereka, bahkan dalam budaya Jawa klasik, selain sebagai senjata, keris juga sebagai parameter kelengkapan dan kesempurnaan hidup seorang (pria) Jawa. Maka tidak mengherankan jika dulu setiap orang Jawa, kaya atau miskin, mempunyai keris, maupun sepucuk tombak dan sebuah perisai di rumahnya.

Akan tetapi budaya yang sudah mengakar apik itu sekarang seakan berbalik 180 derajat, keris bagi sebagian masyarakat selalu diidentikkan menjadi sesuatu yang bersifat negatif, seperti; dukun, klenik bahkan lebih parah lagi yaitu kemusyrikan. Sehingga ketika ada dari sebagian orang melakukan tradisi merawat keris, sekadar dalam rangka merawat peninggalan leluhur mereka, sudah dianggap keluar dari ruh agama.

Memang aneh, tapi nyata ketika UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) yang merupakan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung warisan kemanusiaan milik seluruh bangsa di dunia dan harus dilestarikan, sebagian masyarakat kita malah memperlakukan sebaliknya, lebih percaya kepada mereka yang ingin merusak budayanya dengan dalih agama sebagai penghancurnya.

Keris merupakan barang pusaka yang penuh dengan makna simbolik. Kandungan makna simbolik keris bukan saja karena nilai dari sisi sejarah (historical value) di dalam tahap pemakaian, tetapi aspek-aspek simbolik telah muncul sejak dalam tahap pembuatan, sebagaimana dapat dirunut di dalam tradisi kerisologi (ilmu perkerisan klasik) di dalam masyarakat tradisional.

Dalam dunia “perkerisan”, seorang empu (pembuat) keris sebenarnya ibarat seorang pujangga yang mengguratkan pesan-pesan idealisme pribadi atau orang yang memesannya dalam proses pembuatan keris. Untaian harapan melalui doa yang dituangkan sang empu dapat dibaca dari “teks” keris yang bersifat eksoteris (lahir) seperti pamor (guratan terang pada bilah logam) keris.

Pamor memiliki makna filosofis dan simbolis, seperti yang dituturkan dalam buku berjudul Keris Jawa antara Mistik dan Nalar (2006) garapan Haryono Guritno, Semisal, pamor udan mas, dan Satria Pinayungan secara filosofis pamor udan mas melambangkan harapan akan kekayaan duniawi sedangkan pamor Satria Pinayungan melambangkan harapan akan perlindungan terhadap perjalanan karier.

Selain itu ada juga pamor Putri Kinurung, lambang harapan perlindungan bagi insan yang lemah, Pamor Wos Wutah, pola pamor ini melambangkan harapan kemakmuran duniawi; kelimpahan rezeki, bagaikan beras yang berlebihan dan masih banyak lagi bahkan mungkin sampai lebih dari 100 jenis pola pamor yang semua mempunyai makna filosofis dan simbolis tertentu.

Tidak mengherankan jika sekelas Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan, Mbah Ahmad  Basyir Kudus, Gus Mus Rembang, Guru Sekumpul Martapura, yang tidak diragukan ilmu agamanya, kita pernah melihat di media sosial beliau berpose membawa keris, ini menunjukan bahwa beliau memberikan perhatian khusus terhadap budaya keris dan sekaligus memberikan makna simbolis bahwa kebolehan secara dalil agama untuk sekadar memiliki keris.

Maka dari itu, menjadi Jawa sudah sepantasnya melestarikan keris dengan merawat warisan dari leluhur kita, dan minimal meyakini bahwa dengan memiliki keris tidak menjadikan kita keluar dari ruh agama yang kita yakini.

Wallahu a’lam

 

Leave a Response