Beredar Taushiyah (Nasehat) yang menyatakan bahwa Virus Corona belum bisa disebut wabah (tha’un), karena korbannya belum mencapai ribuan, tetapi baru mencapai ratusan. Atas dasar ini, tidak ada alasan untuk menjadikan Corona sebagai alasan syar’i (udzur syar’i) untuk meninggalkan shalat Jum’at, jama’ah apalagi menutup Umroh dan Haji. Maka fatwa al Azhar, fatwa MUI dan juga LBM NU yg menyatakan boleh meninggalkan, bahkan wajib meninggalkan Jum’at karena pandemi Corona adalah keliru.
Kesimpulan ini tidak salah, karena ia dirumuskan dari logika (mantiq) yang secara formil benar:
Jum’at gugur karena udzur syar’i
Corona bukan udzur syar’i
Maka corona tidak mengugurkan Jum’at.
Inilah logika mantiqi. Namun, logika ini bisa salah dalam perumusan kesimpulan, jika premis premisnya tidak di-tashawwur (pengetahuan terhadap sesuatu) dan di-tashdiq (pembenaran/persetujuan) secara benar. Misalnya premis yang menyatakan bahwa “Corona bukan udzur syar’i”.
Pertanyaan, atas dasar apa corona di-tashdiq bukan udzur syar’i? Menurutnya, karena bukan wabah. Mengapa bukan wabah? Karena korbannya sedikit. Berarti untuk menyebut corona sebagai wabah harus menelan korban ribuan atau puluan korban dulu. Setelah menelan korban ribuan atau puluhan ribu, baru disebut wabah dan baru bisa sebagai alasan syar’i menggugurkan kewajiban tertentu.
Nah, ditingkat premis inilah, seseorang bisa meleset karena tashawwur dan tashdiqnya meleset. Pertanyaannya, apakah untuk menyebut Corona sebagai wabah harus membunuh ribuan orang dulu? Apa tidak cukup dengan “adanya potensi membunuh” puluhan ribu orang sudah bisa disebut mewabah?
Perdebatan ini dalam tradisi fiqih sesungguhnya sudah jamak terjadi. Misalnya dalam kasus minuman keras (khamr) yg memabukkan. Khamr adalah haram karena memabukkan (definisi mabuk apa? Ini bahasan tersendiri). Apakah untuk membuktikan memabukkan harus minum khamr dulu? Setelah benar benar mabuk (bil fi’li) baru haram? Apakah cukup “dengan adanya potensi memabukkan (bil quwwah) ” berdasar tajribah (pengalaman) dan kajian ilmiah bahwa khamr memabukkan?
Menurut kitab kitab Fiqih, untuk menyatakan bahwa khamr memabukkan dan karenanya haram tidak perlu di buktikan dengan meminum dulu, terus mabuk, terus haram. Tetapi, cukup “dengan adanya potensi memabukkan” berdasar pengalaman dan kajian ilmiah oleh ahlinya, khamr Haram.
Kalau didekatkan dengan Virus Corona, untuk menyatakan bahwa virus yang dinamakan Covid-19 itu adalah wabah, pandemi di Indonesia tidak perlu menunggu corona membunuh puluhan ribu orang. Melainkan, cukup dengan “adanya potensi membunuh” berdasar pengalaman di berbagai negara dan kajian ilmiah dari ahlinya, jika tidak dicegah dan diantisipsi sejak awal.
Jadi, putusan MUI (Majelis Ulama Indonesia), LBM (Lembaga Bahtsul Masail) NU, dan juga kebijakan Pemerintah sudah tepat secara Fiqih. Kita bisa mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran ijtihad. Dua pahala ini jika diterima, cukup sebagai bekal masuk Surga.
Hanya saja, penulis menyarankan tidak perlu ada gerakan mengawal fatwa, apalagi dengan demo segala. Yang terahir ini tidak perlu.
Pemahaman agama tidak cukup hanya berpijak pada teks Qur’aniyah Tanziliyyah melainkan perlu juga pendekatan teks Kauniyah Ilmiyah. Wallahu A’lam (MZN)