Wahdatul wujud adalah ajaran dalam tasawuf yang meyakini bahwa Allah dan alam semesta pada hakikatnya satu kesatuan. Wahdat sendiri berarti kesatuan, dan wujud berarti ada. Para pengikut wahdatul wujud meyakini bahwa alam semesta: manusia; bumi; air; dan selainnya; pada dasarnya merupakan manifestasi dari wujud Allah.
Oleh karena itu, dengan kaca mata wahdatul wujud, apa yang kita lihat sebagai air, batu, pohon, matahari, manusia, dan semua yang ada di alam semesta, pada hakikatnya adalah Allah. Mereka semua adalah perwujudan dari Allah. Allah ingin wujudnya diketahui oleh makhluk, dan cara Allah menunjukkan Dzat-Nya kepada makhluk adalah dengan menciptakan sesuatu.
Tokoh yang diasosiasikan dalam ajaran ini adalah Ibnu Arabi (w. 1240). Ia memiliki banyak karya, dua di antaranya adalah Fushus al-Hikam dan Futuhat al-Makiyyah.
Di Nusantara sendiri, ajaran wahdatul wujud pernah eksis dan dinilai berjaya pada masa Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang ulama yang diyakini menjadi Syaikhul Islam di Kesultanan Aceh pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah (berkuasa 1589-1602). Hamzah adalah seorang ulama prolifik. Ia bahkan dianggap sebagai perintis tradisi kesusastraan melayu.
Tokoh lain selain Hamzah Fansuri adalah Syamsuddin Sumatrani (w. 1630). Tokoh yang terakhir disebut tidak lain adalah murid Hamzah sendiri. Ia menjadi Syaikhul Islam di kesultanan yang sama pada masa Sultan Iskandar Muda. Tokoh ini dipercaya sebagai orang yang membawa kitab at-Tuhfah al-Mursalah ila Ruhy an-Nabi karya Muhammad ibn Fadhlullah Burhanpuri.
Kitab karya ulama India itu mengajarkan konsep “martabat tujuh”, sebuah ajaran mengenai tahapan-tahapan bagaimana Allah mewujud ke alam semesta. Seperti kitab wahdatul wujud lainnya, kitab ini juga sangat rumit. Akan tetapi kitab ini wa qila pernah menjadi trending topik di Nusantara dan menjadi kitab pegangan pengikut tasawuf wujudiyah.
Dari dulu sampai sekarang, orang Islam, terutama para ulamanya, terbagi ke dalam dua kelompok besar dalam menyikapi paham wahdatul wujud. Sebagian menerima dan mengajarkannya. Sebagian lain menolak dan bahkan berupaya memberangusnya. Sejarah di Kesultanan Aceh menunjukkan hal tersebut.
Salah satu poin kritik terhadap ajaran ini adalah kerumitannya. Karena rumit, paham ini sering kali dinilai justru menyesatkan pengikutnya, khususnya masyarakat yang awam.
Di Aceh, pada era Nuruddin Ar-Raniri (w. 1658), syaikhul Islam masa Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiyatuddin, paham wahdatul wujud warisan Hamzah dan Sumatrani masih diyakini oleh masyarakat. Mereka yang menganut ajaran itu dinilai mengabaikan aspek- aspek syariat.
Padahal, syariat, bagaimanapun, adalah aspek terpenting dari Islam. Sebanyak apapun pengetahuan seseorang tentang Islam, bila ia tidak menjalankan syariat, maka ia tidak dianggap sebagai Muslim yang baik. Ia tidak bisa diikuti.
Paham keagamaan sebagian masyarakat Aceh pada waktu itu, yang oleh Ar-Raniri dinilai mengabaikan aspek syariat, harus diluruskan. Ia kemudian menentang paham wahdatul wujud dan bahkan memberangus pengikut-pengikutnya serta membakar karya-karya yang berkaitan dengannya.
Ar-Raniri menulis kitab fikih dalam bahasa Melayu berjudul “al-Shirat al-Mustaqim” sebagai upaya “syariatisasi”. Ia juga menulis sejumlah kitab yang menentang paham wahdatul wujud.
“Tindakan radikal” Ar-Raniri itu kemudian ditentang oleh Abdur Rauf Singkel (w. 1693). Tokoh yang kita singgung ini adalah Syaikhul Islam setelah Ar-Raniri. Ia yang merupakan murid Ibrahim al-Kurani, ulama masyhur dari suku Kurdi, kemudian mengadukan apa yang telah Ar-Raniri lakukan terhadap pengikut wujudiyah.
Al-Kurani kemudian menulis kitab sebagai respons atas apa yang dilakukan Ar-Raniri, yaitu kitab “Ithaf ad-Dzaky”. Kitab itu juga ditulis Al-Kurani dalam rangka memberi syarah atas kitab at-Tufah al-Mursalah karya Burhanpuri.
Al-Kurani menyatakan pendapatnya dengan jernih dan netral. Di satu sisi ia mengatakan bahwa tindakan radikal sebagaimana Ar-Raniri lakukan hendaknya tidak dilakukan oleh seorang Muslim. Seorang Muslim harus mengedepankan sikap tabayun, klarifikasi.
Namun di sisi lain ia juga berpendapat bahwa ajaran yang justru disalahpahami oleh masyarakat, sebagaimana wahdatul wujud, membuktikan bahwa pengajar tidak bisa menjelaskan ajaran dimaksud dengan lisan yang “baligh”, dengan bahasa yang mudah dipahami.
Walhasil, ajaran wahdatul wujud sampai sekarang masih menyisakan pro dan kontra. Dominasi tasawuf sunni kemudian meminggirkan ajaran ini. Akan tetapi, lepas dari itu, wahdatul wujud memicu perdebatan yang memantik para ulama produktif menulis.
Kalau kita melihatnya dari kaca mata “Dialektika Karl Marx”, di mana produksi pengetahuan mengikuti pola tesis, antitesis, dan sintesis, laa raiba fiih, keberadaan wahdatul wujud sangat menguntungkan alam akademis Nusantara. Khususnya di ranah tasawuf. Wallahu a’lam bis shawab.