Ketika iblis enggan taat perintah Allah untuk bersujud (memberi penghormatan) kepada Nabi Adam, maka Allah kemudian mengeluarkan iblis dari surga-Nya. Hal ini lantaran iblis memiliki sifat sombong, merasa lebih mulia dibanding Adam yang diciptakan dari tanah liat.
Kemudian iblis berjanji akan menggoda dan menjerumuskan umat manusia ke lembah dosa. Hal ini sudah terekam dalam firman Allah surah al-A’raf ayat 16-17 sebagai beikut :
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ، ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Artinya: (Iblis) menjawab,” karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan diri kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Q.S. al-A’raf: 16-17)
Pada dasarnya ada dua macam pembagian dosa, yakni dosa kecil dan dosa besar. Dalam konteks ini, ternyata terdapat lima penyebab dosa kecil menjadi dosa besar. Keterangan ini dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Ibrahim Ibnu Nuhas ad-Dimasqi (w.814 H) dalam kitab Tanbih al-Ghafilin an A’mal al-Jahilin. Ia menuturkannya sebagai berikut:
Orang yang melakukan dosa kecil, namun melakukannya secara terus menerus, maka akan menjadi dosa besar. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Manshur ad-Dilami dalam kitab Musnad Firdaus dari sahabat Anas bin Malik Ra.:
لَا صَغِيْرَةَ مَعَ الْإِصْرَارِ
“Tidak ada dosa kecil ketika dilakukan secara terus menerus.”
Juga riwayat Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab at-Taubah dari sahabat Ibnu Abbas Ra. :
كُلُّ ذَنْبٍ أَصَرَّ عَلَيْهِ الْعَبْدُ كَبِيْرَةً
“Tiap-tiap dosa yang dilakukan secara terus menerus oleh seorang hamba maka adalah dosa besar.”
Ada orang yang melakukan dosa kecil namun ia meremehkannya. Hal ini dikarenakan semakin besar anggapan hamba terhadap dosa (tidak meremehkan), maka semakin besar pula Allah mengampuninya.
Dasar dari poin kedua di atas yakni hadis dalam kitab Shahih Bukhari yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud secara mauquf atau marfu’:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya orang mukmin melihat dosa-dosa mereka seolah-olah ia duduk di bawah gunung dimana dikhawatirkan gunung tersebut menimpa kepadanya, sementara orang yang suka melakukan dosa mereka melihat dosa-dosanya seperti lalat yang lewat di depan hidungnya.” (H.R. Bukhari, juz 8, hal. 67)
Misalnya, ada seseorang yang berkata, “Si Fulan melamar Fulanah dan keluarganya telah menerimanya. Namun, ketika aku melamar Fulanah juga setelahnya, keluarga Fulanah malah berpaling dan memilih menginginkan aku”.
Hal ini didasarkan dari hadis dalam kitab Shahih Bukhari & Muslim yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah Ra.:
وعنه رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ” كل أمتي معافى إلا المهاجرين ، وإن من المهاجرة أن يعمل الرجل بالليل عملا ثم يصبح وقد ستره الله عليه فيقول : يا فلان عملت البارحة كذا وكذا وقد بات يستره ربه ويصبح يكشف ستر الله عليه ” متفق عليه
Dari sahabat Abu Hurairah Ra. Berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Setiap umatku pasti dimaafkan (diampuni) kecuali mereka yang terang-terangan melakukan maksiat. Termasuk yang terang-terangan bermaksiat adalah seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari. Kemudian di pagi harinya ia berkata bahwa telah melakukan dosa ini dan itu padahal Allah telah menutupi dosanya. Pada malam hari Allah menutup aib dosanya namun di pagi harinya ia membuka sendiri aib yang telah Allah tutupi.” (Yahya bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasqi, jus 1 hal 172)
Sesungguhnya ia mendapat dosa sendiri sekaligus dosa orang yang telah mengikutinya kelak sampai hari kiamat, na’udzu billah.
Dasar dari poin kelima ini adalah hadis riwayat imam Muslim :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah (perbuatan baik) dalam Islam maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah sayyi’ah (perbuatan buruk) dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR. Muslim).
Demikian penjelasan Imam Ahmad bin Ibrahim Ibnu Nuhas ad-Dimasqi tentang lima penyebab dosa kecil menjadi dosa besar dalam kitab Tanbih al-Ghafilin an A’mal al-Jahilin. Wallahu A’lam.