Pengetahuan masyarakat tentang disabilitas masih tergolong rendah. Hal itu berdampak pada sebagian masyarakat yang masih memandang sebelah mata bahkan diskriminasi terhadap orang-orang penyandang disabilitas. Oleh sebab itu, untuk menghindari perlakuan yang tidak mengenakkan, maka masyarakat perlu lebih dekat lagi mengenal ragam dan karakteristik disabilitas.
Berdasarkan buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas (2018: 21-27) yang diterbitkan oleh LBM PBNU, secara umum Disabilitas dibagi ke dalam tiga kategori;
Para penyandang disabilitas pada kategori ini adalah individu yang didalam melakukan kegiatan sehari-hari tergantung pada bantuan orang lain. Para penyandang disabilitas berat dikategorikan sebagai Mampu Rawat, mereka biasanya mengalami Cerebral Palsy (CP) berat atau mengalami disabilitas ganda baik intelectual disability dan CP.
Jika mereka mengalami disabilitas intelektual, maka IQ mereka kurang dari 30. Sehingga mereka hanya dapat berbaring di atas tempat tidur atau hanya duduk di kursi roda. Sementara untuk aktivitas sehari-hari seperti mandi, buang air, berpakaian, makan, dan berpindah tempat mereka sangat tergantung pada bantuan orang lain.
Para penyandang disabilitas yang masih mampu melakukan kegiatan sehari-hati termasuk merawat diri sendiri seperti membersihkan diri, makan, berganti pakaian, dan berpindah tempat. Sebagian dari mereka mengalami disabilitas intelektual dengan IQ antara 30 – 50.
Beberapa dari mereka juga masih dapat dilatih untuk aktivitas-aktivitas ketrampilan motoric, misalkan; kerajinan tangan, membersihkan lingkungan, mencuci piring. Sehingga mereka juga dikategorikan sebagai penyandang disabilitas Mampu Latih.
Para penyandang disabilitas yang masuk dalam kategori ini adalah mereka yang sudah dapat hidup mandiri, mampu melakukan aktivitas keseharian dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya. Para penyandang disabilitas pada kategori ini juga disebut sebagai penyandang disabilitas Mampu Didik.
Mereka dengan menggunakan alat bantu yang sesuai dengan jenis disabilitasnya mereka mampu mendapatkan pendidikan yang baik atau bersekolah. Beberapa dari mereka mengalami disabilitas intelektual dengan IQ lebih dari 70.
Ragam disabilitas sangat luas dan ketiga kategori tersebut berada dalam semua ragam disabilitas. Mengacu pada Pasal 4 Undang – Undang No.8 Tahun 2018 tentang Penyandang Disabilitas, maka ragam disabilitas dibagi ke dalam empat; a) Penyandang Disabilitas Fisik; b) Penyandang Disabilitas Intelektual; c) Penyandang Disabilitas Mental dan/atau d) Penyandang Disabilitas Sensorik.
Sementara variasi atau spektrum pada setiap tipe atau jenis disabilitas sangat luas sehingga karakteristik masing-masing tipe disabilitas pun menjadi berbeda. Berikut adalah penjelasan empat ragam disabilitas beserta karakteristik dan penjelasan bagaimana kita berinteraksi dengan masing-masing ragam disabilitas.
Di masyarakat biasa disebut sebagai Penyandang Disabilitas Daksa atau Orang dengan Gangguan Mobilitas. Mereka adalah individu yang mengalami ketidakmampuan untuk menggunakan kaki, lengan, atau batang tubuh secara efektif karena kelumpuhan, kekakuan, nyeri, atau gangguan lainnya.
Kondisi ini mungkin diakibatkan kondisi ketika lahir, penyakit, usia, atau kecelakaan. Meski demikian, kondisi ini dapat berubah dari hari ke hari dan kondisi ini juga dapat berkontribusi pada disabilitas lain seperti gangguan bicara, kehilangan ingatan, tubuh pendek, dan gangguan pendengaran.
Orang dengan gangguan mobilitas dan gangguan gerak seringkali terhambat secara sosial dan fisik untuk berpartisipasi di dalam masyarakat. Hambatan sosial berupa stigma negatif di masyarakat sementara hambatan fisik adalah lingkungan yang tidak aksesibel. Oleh karena itu penerimaan masyarakat dan lingkungan yang aksesibel sangat dibutuhkan untuk memastikan para penyandang disabilitas fisik ini dapat berpartisipasi dan berkontribusi di dalam masyarakat.
Terkait dengan kondisi penyandang disabilitas fisik, maka ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatian, di antaranya;
Dahulu orang menyebutnya Cacat Mental dan sekarang juga banyak yang menyebut sebagai Disabilitas Mental. Disabilitas intelektual adalah mereka yang mengalami fungsi intelektual secara signifikan serta gangguan prilaku adaptif.
Spektrum atau variasi penyandang disabilitas intelektual sangat luas, mulai dari mereka mengalami Down Syndrom, Autisme, Kesulitan Konsentrasi, dan gangguan berfikir lainnya termasuk mereka yang disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa. Bagi mereka yang mengalami Disabilitas Intelektual rata-rata memiliki tingkat IQ antara 35 hingga 70.
Terdapat tiga faktor penyebab disabilitas intelektual;
Dapat juga disebabkan oleh gangguan metabolisme pertumbuhan, kekurangan gizi yang berat dan lama pada masa anak- anak umur di bawah 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak, keadaan ini dapat diperbaiki sebelum anak berusia 6 tahun. Gangguan jiwa berat yang diderita dalam masa anak-anak dan depresi yang timbul karena kurangnya komunikasi verbal menyebabkan orang mengalami disabilitas intelektual, di samping faktor-faktor sosial budaya (yang berhubungan dengan penyesuaian diri).
Penyandang disabilitas rungu adalah mereka yang mengalami hambatan untuk mendengar, sementara disabilitas wicara adalah mereka yang mengalami gangguan atau hambatan melakukan komunikasi verbal. Beberapa komunitas penyandang disabilitas rungu atau tuna rungu lebih suka menyebut dirinya sebagai komunitas tuli. Bagi mereka istilah Tuli mengacu pada komunitas yang cara berkomunikasi sendiri berbeda dengan komunitas orang dengar. Jadi istilah Tuli bagi mereka bukan istilah yang berkonotasi negatif.
Sementara orang yang memiliki gangguan pendengaran adalah mereka yang memiliki persoalan mendengar yang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain bertambahnya usia, penyakit, dan faktor lain misalnya benturan yang menyebabkan gendang telinga rusak. Sehingga orang yang mengalami gangguan pendengaran biasanya masih dapat menggunakan alat bantu dengar untuk berkomunikasi.
Sementara pada mereka yang tuna wicara seringkali disebabkan oleh rusaknya pita suara. Hal yang perlu diketahui adalah mereka yang sejak kecil mengalami Tuli, maka ada potensi dia juga mengalami tuna wicara. Namun sebaliknya jika seseorang mengalami tuna wicara belum tentu mereka mengalami tuna rungu. Dikarenakan bisa jadi mereka hanya mengalami gangguan pada pita suara atau organ verbal mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang mengalami disabilitas rungu/wicara dapat dikenali dengan melihat karakteristik sebagai berikut; merekatidak menyadari adanya bunyi jika tidak melihat ke sumber bunyi atau tidak ada getaran.
Biasa disebut sebagai tuna netra adalah mereka yang memiliki hambatan atau gangguan penglihatan. Secara umum tuna netra terbagi ke dalam dua kelompok yaitu buta total (Totally Blind) dan disabilitas netra ringan (Low Vision).
Buta Total adalah sebuah kondisi dimana seseorang tidak dapat melihat obyek sama sekali kecuali hanya bayang cahaya sehingga mereka dapat membedakan situasi gelap dan terang. Kondisi demikian dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran (pre-natal) karena faktor genetic (keturunan) atau adanya virus yang menyerang janin pada masa kehamilan. Para penyandang disabilitas netra total (buta total) mengandalkan komunikasi audio atau verbal. Tulisan Braille merupakan salah satu metode yang digunakan oleh mereka untuk berkomunikasi.
Penyandang Disabilitas Netra Ringan (Low Vision) hanya kehilangan sebagian penglihatannya dan masih memiliki sisa penglihatan yang dapat digunakan untuk beraktivitas dan kondisi ini tidak dapat dibantu dengan menggunakan kacamata. Jarak pandang maksimal untuk penyandang low vision adalah 6 meter dengan luas pandangan maksimal 20° (derajat). Alat bantu yang digunakan adalah komputer yang mampu menampilkan karakter huruf lebih besar sehingga mereka dapat membaca teks dengan baik (LBM PBNU, 2018: 27).
Mengenali ragam dan karakteristik disabilitas adalah momen bagi siapa saja untuk membangun empati dan simpati. Empati bisa ditumbuhkan dengan cara penyadaran diri bahwa orang penyandang disabilitas adalah sama seperti diri sendiri, yakni sama-sama sebagai makhluk Tuhan, sebagai umat beragama, sebagai warga negara, dan tentunya sebagai orang yang mempunyai kehormatan, martabat, hak dan kewajiban.
Sedangkan simpati yang dapat dibangun adalah ikut menaruh tali kasih kepada penyandang disabilitas. Jika itu teman atau saudara, maka harus tetap dirangkul dan memperlakukannya sebaik mungkin sebagaimana mestinya. Sedangkan jika itu orang tak dikenal, maka alangkah baiknya kita sadar memberikan hak-haknya serta menjalankan kewajiban kita pada saat mereka membutuhkan pertolongan.