Nabi Muhammad dikaruniai empat orang putri yang tiga di antaranya meninggal di depan beliau, yakni Zainab, Ruqoyyah, dan Ummu Kultsum. Sementara Fatimah al-Zahra’ meninggal setelah Nabi Muhammad tiada terlebih dahulu.

Di antara empat putri Nabi ini, terdapat kisah menarik, sedih, dan mengharukan dari Zainab binti Muhammad. Zainab binti Muhammad adalah perempuan yang setia dalam cinta. Kisah ini terangkum apik dalam kitab Fi Bayt al-Rasul karya Nizar Abazhah, guru besar Sirah Nabawiyyah di Akademi al-Fath al-Islami Syria. Berikut kisah lengkapnya.

Dikisahkan bahwa Zainab merupakan istri dari Abul Ash bin Rabi’ yang merupakan menantu kesayangan Nabi Muhammad saw. Abul Ash juga memiliki nasab dan status sosial yang mulia. Pasca turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad, Zainab menyatakan keimanannya kepada agama Islam, sedangkan hati suaminya belum tergugah untuk berpindah agama.

Namun, Abul Ash tidak menunjukkan permusuhan kepada Nabi Muhammad. Keyakinan Abul Ash tentang keimanan berbanding terbalik dengan cintanya kepada Zainab. Abul Ash memang tidak sepaham dengan keyakinan istrinya, tetapi cintanya kepada sang istri tidak berkurang sedikit pun. Hal ini juga berlaku pada Zainab yang tetap mencintai Abul Ash dan tidak bosan berdoa kepada Sang Pemilik semesta agar membuka pintu hati suaminya.

Suatu waktu, Nabi Muhammad memutuskan hijrah ke Madinah, namun Zainab tidak bisa mengikuti sang Ayah. Zainab memilih tetap stay di Makkah agar tetap bisa menjaga dan berbakti kepada sang suami. Begitu pula Abul Ash yang setia menyayangi Zainab. Benar-benar pasangan yang serasi dan romantis.

Sayangnya, Allah memiliki rencana sendiri ihwal hubungan Zainab dan Abul Ash. Ketika Kafir Quraisy Makkah siap berperang dengan Kelompok Muslim dalam medan Perang Badar, Abul Ash turut serta dalam rombongan. Bersama kelompoknya, Abul Ash terlalu jumawa akan menumbangkan Kaum Muslim.

Di sisi lain, Zainab sedang berada dalam dilema dengan hati yang terbagi dua. Bagian pertama Zainab mengkhawatirkan nasib Sang Ayah dan orang-orang Muslim yang akan berperang, sementara di bagian lainnya Zainab juga takut sesuatu yang naas akan menimpa suaminya.

Setelah Perang Badar usai, barulah semua kegelisan, kekhawatiran, dan pertanyaan terjawab. Kaum Muslim yang merasa hina-karena Yang Mulia hanya Allah-diberi limpahan kekuatan tak terduga. Umat Islam mendapatkan kemenangan dramatis dan Abul Ash menjadi tawanan. Zainab merasa lega, sebab setidaknya suaminya tidak gugur dalam medan pertempuran. Zainab memang lega, tetapi dilema baru mulai terlihat.

Jika suaminya menjadi tawanan, maka dengan apa Zainab akan menebusnya? Zainab tidak memiliki harta sedikit pun, kecuali kalung emas hadiah dari Sang Ibu-Khadijah-sebagai hadiah pernikahannya dengan Abul Ash. Zainab sangat paham bahwa kalung tersebut sangat berharga, tapi rasa cinta dan patuh kepada suami membuatnya rela melepas kenangan indah kalung tersebut.

Zainab meminta tolong kepada kerabat Abul Ash untuk menebus suaminya dengan kalung tersebut. Meskipun yang menebus bukan Zainab, Nabi Muhammad tetap mengenali kalung tersebut. Kalung yang mengingatkan Nabi pada kenangan-kenangan indah dengan Khadijah. Nabi benar-benar tak sampai hati melihat kalung dengan harga tak ternilai itu akan berpindah kepemilikan ke orang lain.

Namun, di sisi lain Nabi Muhammad juga tak ingin menghalangi hak prajurit untuk mendapatkan harta ghanimah tersebut. Akhirnya, dengan nada yang lemah lembut Nabi Muhammad memohon dengan berkata, “Jika kalian tidak keberatan, tolong serahkan tawanan itu (Abul Ash) beserta kalungnya juga kepada Zainab.”

Mana bisa para sahabat (prajurit) menolak permintaan seseorang yang siap mengorbankan segalanya miliknya hanya demi mereka. Akhirnya Abul Ash kembali ke Zainab bersama membawa kalung berharga dan dengan rasa cinta dan hormat yang semakin bertambah kepada istrinya.

Gelombang derita cinta siap menerpa kembali. Setelah beberapa saat tinggal bersama di Makkah, Zainab diperintah Nabi Muhammad untuk bercerai dengan Abul Ash. Hal ini disebabkan oleh turunnya wahyu yang mengharamkan orang muslim menikah dengan orang non-muslim. Berita ini benar-benar membuat Zainab sedih tak terkira, tetapi tetap ia terima dengan lapang dada.

Setelah mereka berdua resmi bercerai, Abul Ash berjanji akan mengantar Zainab kepada Nabi Muhammad. Terpisahlah mereka yang saling mencinta dan berusaha untuk saling merasa rela. Di Kota Mekkah, Abul Ash tak pernah mampu mengusir bayangan wajah Zainab. Rindu terus berpilin setiap saat, meskipun hanya sekadar ingin. Abul Ash tetap berharap masalah ini segera menemui solusi.

Kali ini, Abul Ash menjalani hari-harinya sebagai seorang pedagang. Orang-orang Quraisy sangat mempercayainya, sebab Abul Ash selalu pulang membawa keuntungan dengan nominal yang berlipat ganda.

Suatu saat ketika berdagang di Pasar Bashrah, Abul Ash kepergok prajurit muslim. Barang dagangannya dirampas dan hendak ditangkap jika tidak segera pergi. Dalam kesedihan di tengah gurun pasir, Abul Ash kebingungan tentang bagaimana nasibnya jika kembali ke kaumnya karena semua dagangan tak bersisa?

Setelah lama berpikir, akhirnya Abul Ash memutuskan untuk meminta perlindungan kepada mantan istrinya, Zainab. Tentu saja Zainab tidak akan bisa menolak, karena Zainab sungguh masih mencintai Abul Ash. Nabi Muhammad merasa iba dengan keadaan putrinya sekaligus sedih melihat hati Abul Ash yang belum kunjung terbuka untuk beriman kepada Allah.

Kaum muslimin pun mulai memahami atas keadaan yang terjadi. Mereka semua sangat menghormati Nabi Muhammad dan keluarganya, sehingga mereka memutuskan untuk mengembalikan semua dagangan Abul Ash dan menjamin keamanan Abul Ash membawa dagangannya sampai ke Makkah.

Dalam perjalanan pulang, Abul Ash merenungi sikap orang-orang muslim. Kaum muslim sama sekali tidak menunjukkan rasa benci kepadanya. Mereka justru mengembalikan semua hartanya tanpa kurang sedikit pun. Begitu pula mereka dulu saat berhijrah ke Madinah, harta di Makkah mereka tinggalkan begitu saja. Mereka benar-benar rela susah di jalan Allah.

Semua kenangan tentang Nabi Muhammad dan Zainab kembali meluncur dengan indah dalam bayangannya. Akhirnya Abul Ash membuat keputusan penting dalam hidupnya. Sesampai di Makkah, di hadapan kaum Quraisy Abul Ash bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Kenyataan ini membuat seluruh orang Quraisy kebingungan, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa kepada Abul Ash. Pasca ikrarnya, Abul Ash segera menunaikan segala kewajibannya di Makkah dan segera berangkat ke Madinah untuk rujuk dengan Zainab dengan mengakui keimanannya di hadapan Rasulullah.

Tuntas sudah kisah cinta Abul Ash dan Zainab yang diuji dengan banyak gelombang, tetapi berhasil ditutup dengan manis lewat keimanannya. Happy Ending.

Wallahu A’lam.

Leave a Response