Ada banyak hal yang bisa menjadi faktor kesuksesan murid atau pencari ilmu dalam belajar. Indikator sukses di antaranya mendapat ilmu yang bermanfaat. Dalam karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari (bab 2: 25-30) yang berjudul Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim (اداب العالم والمتعلم), ada 10 kunci sukses belajar sebagai etika yang harus ditanamkan oleh para pencari ilmu terhadap dirinya sendiri:

Pertama, harus mensucikan hatinya dari setiap sesuatu yang mempunyai unsur menipu, kotor, penuh rasa dendam, hasud, keyakinan yang tidak baik, dan budi pekerti yang tidak baik. Hal itu dilakukan supaya ia pantas untuk menerima ilmu, menghafalkannya, meninjau kedalaman maknanya dan memahami makna yang tersirat.

Kedua, harus memperbaiki niat dalam mencari ilmu, dengan tujuan untuk mencari ridha Allah, serta mampu mengamalkannya, menghidupkan syari’at. Selain itu, diniati juga untuk menerangi hati, menghiasi batin dan mendekatkan diri kepada Allah. Tidak bertujuan untuk memperoleh tujuan-tujuan duniawi, misalnya menjadi pimpinan, jabatan, harta benda, mengalahkan teman saingan, biar dihormati masyarakat dan sebagainya.

Ketiga, harus berusaha sesegera mungkin memperoleh ilmu diwaktu masih muda dan memanfaatkan sisa umurnya. Jangan sampai tertipu dengan menunda-nunda belajar dan terlalu banyak berangan-angan. Hal ini karena setiap jam akan melewati umurnya yang tidak mungkin diganti ataupun ditukar.

Keempat, harus menerima apa adanya (qana’ah) berupa segala sesuatu yang mudah ia dapat, baik itu berupa makanan atau pakaian. Di samping itu harus sabar atas kehidupan yang berada di bawah garis kemiskinan ketika dalam tahap proses mencari ilmu.

Kelima, harus bisa membagi seluruh waktu dan menggunakannya setiap kesempatan dari umurnya, sebab umur yang tersisa itu tidak ada nilainya.

Keenam, harus mempersedikit makan dan minum, karena apabila perut dalam keadaan kenyang maka akan menghalangi semangat ibadah dan badan menjadi berat. Salah satu faedah mempersedikit makan menyebabkan badan menjadi sehat dan mencegah penyakit tubuh. Hal itu karena penyebab hinggapnya penyakit adalah terlalu banyak makan dan minum.

Ketujuh, harus mengambil tindakan diri secara wira’i (menjaga diri dari perbuatan yang bisa merusak harga diri). Lalu berhati-hati dalam setiap keadaan, memperhatikan kehalalan makanannya, baik itu berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan setiap sesuatu yang ia butuhkan. Wira’i bertujuan agar hatinya terang dan pantas untuk menerima ilmu, cahaya ilmu dan mengambil kemanfaatan ilmu.

Kedelapan, harus mempersedikit makan yang menjadi salah satu sebab tumpulnya otak, lemahnya panca indra, seperti buah apel yang masam, kacang sayur, minum cuka’. Begitu juga makanan yang menimbulkan banyak dahak, yang dapat mempertumpul akal fikiran dan memperberat badan, seperti terlalu banyak minum susu, makan ikan dan yang lain sebagainya.

Seyogianya juga pencari ilmu menjauhkan diri dari hal-hal yang menyebabkan lupa secara khusus seperti memakan makanan yang telah dimakan tikus, membaca tulisan di batu nisan (kuburan), masuk di antara dua ekor unta yang ditarik, dan menjatuhkan kutu dalam keadaan hidup.

Kesembilan, harus berusaha untuk mengurangi tidur selama tidak menimbulkan bahaya pada tubuh dan akal pikirannya. Jam tidur tidak boleh melebihi dari delapan jam dalam sehari semalam. Dan itu sepertiga dari waktu satu hari (24 jam).

Jika keadaannya memungkinkan untuk beristirahat kurang dari sepertiganya waktu dalam sehari semalam, maka pencari ilmu dipersilahkan untuk melakukannya. Apabila ia merasa terlalu lelah, maka tidak ada masalah untuk memberikan kesempatan beristirahat terhadap dirinya, hatinya dan penglihatannya dengan cara mencari hiburan, bersantai ke tempat-tempat hiburan sekiranya pulih kembali dan tidak menyia-nyiakan waktu.

Kesepuluh, harus meninggalkan pergaulan, karena meninggalkannya itu lebih penting dilakukan bagi pencari ilmu. Apalagi bergaul dengan lawan jenis khususnya. Terlalu banyak bermain dan sedikit menggunakan akal pikiran, karena watak dari manusia adalah banyak mencuri kesempatan.

Jika ia membutuhkan orang yang bisa menemaninya, maka orang itu harus shaleh, kuat agamanya, takut kepada Allah, wira’i, bersih hatinya, banyak berbuat kebaikan, sedikit berbuat kejelekan, memilki harga diri yang baik, sedikit perselisihannya (tidak ngeyelan). Jika ia lupa, maka temannya mengingatkan, dan bila ia ingat, maka berarti temannya telah menolongnya.

Leave a Response