Sejarah telah membuktikan bahwa Islam pernah menjadi kiblat peradaban dunia. Perkembangan Islam saat itu sangat luas, bahkan sampai ke daratan Eropa. Dari sisi keilmuan, Islam menjadi rujukan utama berbagai negeri, termasuk bagi negeri-negeri non-muslim. Superioritas Islam ini bertahan berabad-abad lamanya tanpa ada yang mampu menyainginya. Banyak daerah atau kota yang menjadi saksi kejayaan Islam kala itu, seperti Baghdad, Kairo, Samarra, Kordoba, dan lain sebagainya.

Masa kejayaan Islam mampu bertahan selama lebih dari 13 abad dan mampu menguasai dua per tiga wilayah dunia. Hingga akhirnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924, Khalifah Utsmaniyah atau Kesultanan Turki Utsmani runtuh. Umat Islam kemudian terpecah menjadi lebih dari 50 negara. Kerajaan Islam yang memakai syariat Islam sebagai undang-undang dan Alquran sebagai dasar negaranya, kini hanya menjadi fakta sejarah dan romantisme masa lalu.

Fakta sejarah tersebut dijadikan bahan refleksi dan kajian yang menarik oleh para akademisi Islam. Salah satunya Muhammad Iqbal, seorang filsuf berkebangsaan Pakistan. Di samping sebagai akademisi, ia juga merupakan sosok di balik pergerakan masyarakat Pakistan dalam merebut kemerdekaan. Ia menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan kejayaan Islam menjadi pudar, bahkan redup.

Pertama, gerakan nasionalisme. Menurut Muhammad Iqbal, faktor yang pertama adalah menguatnya pengaruh kelompok konservatif. Kelompok konservatif, yaitu kelompok yang tidak menghendaki adanya perubahan mendasar dalam sebuah sistem. kelompok ini biasanya terdiri atas orang-orang yang memiliki kekuasaan atau posisi strategis dalam sebuah struktur kekuasaan. Mereka diuntungkan dengan sistem yang telah ada, sehingga tidak menginginkan adanya perubahan ke arah yang lebih baik yang belum tentu menguntungkan mereka.

Kedua, kemunculan sufisme asketis. Aliran ini merupakan aliran minoritas dalam Islam yang mementingkan hal-hal yang bersifat ruhani, tetapi melupakan sesuatu yang bersifat jasmani. Mereka tidak peduli dengan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, semisal makan, minum, dan sebagainya. Mereka lebih senang menyendiri dan menjauh dari masyarakat karena terinspirasi dari hal ahwal Nabi Muhammad sewaktu belum diangkat menjadi rasul.

Sikap asketis semacam ini tecermin dalam pernyataan salah satu tokoh sufi bernama Abdul Quddus; “Muhammad telah naik ke langit tertinggi, lalu kembali lagi. Demi Allah, aku bersumpah, seandainya aku yang mencapai makam itu, niscaya aku tidak akan kembali lagi.”

Ketiga, runtuhnya Baghdad pada pertengahan abad ke-13. Menurut Muhammad Iqbal kondisi ini menimbulkan pesimisme sebagian besar masyarakat Islam. Ketika itu Baghdad sebagai pusat peradaban Islam tidak berdaya oleh serangan bangsa Mongol. Seluruh kota dirusak dan dibakar, tidak terkecuali perpustakan besar yang menyimpan berbagai literatur karya para cendekiawan muslim terdahulu. Semua koleksi kitabnya dirusak dan dihanyutkan ke sungai Tigris. Diperkirakan zaman itu merupakan akhir dari masa kejayaan Islam. Akibat peristiwa tragis ini umat Islam merasa pesimis dan kesulitan untuk bangkit kembali.

Keempat, munculnya anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Faktor ini juga menjadi penyebab kemunduran Islam karena hukum dan perundang-undangannya sudah dianggap final dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Seharusnya ijtihad dijadikan sebagai asumsi dasar untuk mengembangkan cakrawala berpikir, bukan malah dijadikan sebagai dalih untuk menyubordinasi penggunaan akal. Manakala anggapan seperti ini tetap dipertahankan, maka teori ijtihad sekadar instrumen statis yang tidak dapat dikembangkan. Tidak terbatas pada teori ijtihad, teori ijmak juga hanya dijadikan sebagai khayalan semu yang tidak mungkin terwujud. Syarat-syarat ijmak yang begitu ketat dan banyak, semakin menabalkan ijmak sebagai utopis yang mustahil ada. Bayangkan saja, cukup dengan satu orang ulama yang tidak setuju telah dapat membatalkan ijmak tersebut. Padahal, nyatanya daerah kekuasaan Islam ketika itu telah menyebar luas.

Kelima, terdapat kecenderungan umat Islam terjerembab ke dalam paham fatalisme. Paham fatalisme adalah paham yang meyakini bahwa manusia telah dikuasai oleh takdir sehingga tidak mampu berbuat apapun guna mengubahnya. Fatalisme membuat manusia tidak bersemangat dalam memperjuangkan masa depannya, karena apapun yang akan dilakukannya telah digariskan oleh takdir jauh sebelum keberadaan manusia. Karena itu, manusia tidak bisa lagi merencanakan suatu perubahan lantaran dianggap sebagai sesuatu hal yang percuma dan hanya membuang-buang waktu dan tenaga saja.

Keenam, pola pikir yang totalitas bertaklid kepada para ulama terdahulu. Sebetulnya faktor terakhir ini merupakan konsekuensi dari faktor sebelumnya, yakni anggapan pintu ijtihad telah tertutup. Dengan demikian, seluruh permasalahan yang sedang dihadapi harus mengikuti dan memedomani sepenuhnya pada solusi-solusi yang telah ditetapkan oleh ulama terdahulu,  meskipun konteks situasi dan kondisinya telah jauh berbeda. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Leave a Response