Filsafat merupakan induk seluruh ilmu pengetahuan yang mengarahkan manusia berpikir kritis, mengakar, dan mendalam. Sementara itu, pendidikan merupakan tonggak keberhasilan suatu bangsa yang pertama kali diajarkan para ‘ibu’ pendiri bangsa pada ‘anak-anak kemerdekaan’. Pendidikan filsafat sangat esensial karena filsafat menangani afirmasi prinsip-prinsip pelbagai ilmu lainnya, sehingga ia disebut “induk semua ilmu”.

Pendidikan filsafat sejak masa kanak-kanak sangat esensial karena objek penyelesaian [bahkan sebagai subjek/ the agent of change] dari persoalan bangsa adalah “anak-anak”. Bayangkan kemandegan (ketidakefesiensian) pendidikan karena tidak tepat sasaran. Pendidikan filsafat tak sekadar “penting”, tapi sesungguhnya inheren dalam diri anak-anak. Dalam diskursus filsafat disebutkan bahwa “anak-anak” adalah “filsuf alamiah”.

Dengan kata lain, anak-anak sebagai seorang filsuf mempertanyakan segala sesuatu secara mengakar, termasuk hal-hal yang sudah jelas [dianggap sepele] oleh orang-orang dewasa. Meskipun, pada fase awal anak-anak ‘berfilsafat’ melalui panca inderanya atau pengalaman inderawi, tapi pada fase lanjutan mereka mempertanyakan suatu kondisi yang mana di dalamnya terdapat konsepsi filsafat, seperti sebab-akibat atau material-immaterial.

Jadi, anak-anak sudah memiliki semacam intuisi filosofis yang ada di dalam dirinya. Sehingga, melalui pendidikan filsafat, anak-anak akan mampu membangun kesadaran berpikir filosofis sejak dini.  Sehingga, dalam menghadapi kehidupan diharapkan bisa berpikir dan bertindak dengan bijak. Ia pun mampu menjadi “agen perubahan” yang menyelesaikan problematika bangsa tanpa terjangkit fallacies of reasoning (kesesatan penalaran).

Terdapat sejumlah praktisi scholars yang concern terhadap ”filsafat untuk anak-anak”, antara lain Mario Biggeri dan Marina Santi. Keduanya dalam sebuah artikel The Missing Dimensions of Children’s Well-Being and Well-Becoming in Education Systems: Capabilities and Philosophy for Children mengeksplorasi “Filsafat untuk Anak-anak” sebagai pendekatan pedagogis. Filsafat digunakan sebagai pendekatan dalam pendidikan anak yang disajikan sebagai dasar pedagogis dan instrumen untuk mendorong kreativitas dan berpikir kritis.

Maughn Gregory dalam Philosophy for Children Practitioner Handbook, menyatakan bahwa pemahaman dan gaya berpikir filsafat yang diberikan sejak usia dini dapat meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan berhubungan dengan orang lain (sosial), kemampuan untuk berhadapan dengan kegagalan (psikologis), dan kemampuan untuk berpikir terbuka anak (ilmiah), sehingga ia bisa menerima pelajaran dari luar dengan lebih cepat dan mendalam.

Selain itu, Gert Biesta dalam Philosophy, Exposure, and Children: How to Resist the Instrumentalization of Philosophy in Education. Biesta menggunakan filsafat dalam program dan praktik pendidikan, dikenal dengan “filsafat untuk anak-anak” (philosophy of children), “filsafat dengan anak-anak” (philosophy with children), atau “komunitas penyelidikan filosofis” (the community of philosophical enquiry).

Kemudian, Joanna Haynes dan Karin Murris dalam The Provocation of an Epistemological Shift in Teacher Education through Philosophy with Children menunjukkan bahwa episode yang signifikan seperti dalam praktik filosofis dengan Anak-anak (Philosophical with Children/ PwC) menawarkan kesempatan untuk refleksi yang lebih luas dan kritis pada pertanyaan epistemologis dan pedagogis untuk pendidikan guru dan pengembangan profesionalitas.

Sebagai contoh, di Jerman, program “anak-anak berfilsafat” (Kinder Philosophieren) sudah dimulai sejak dekade 1960-an. Metode yang digunakan sebenarnya cukup sederhana, yakni (1) perumusan pertanyaan yang dibuat bersama-sama dengan anak, (2) berdiskusi bersama anak guna menjawab pertanyaan ini, (3) melihat beberapa kemungkinan jawaban yang bersifat terbuka, dan (4) mencoba menggali pertanyaan lebih jauh dari jawaban yang telah ada.

Hal yang patut ditekankan adalah filsafat bukan sekadar mata pelajaran yang menjadi pokok ajaran dalam kurikulum, tapi juga merupakan aktivitas berpikir. Jadi, pendidikan filsafat merupakan pembangunan atmosfer ”aktivitas berpikir” secara mengakar, mendalam, dan komprehensif terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam kehidupan, serta berupaya untuk menjawabnya secara rasional, kritis, dan sistematis.

Dengan belajar filsafat, anak-anak akan mendapatkan beberapa ketrampilan berikut; memikirkan suatu masalah secara mendalam dan kritis, membentuk argumen dalam bentuk lisan maupun tulisan secara sistematis dan kritis, mengkomunikasikan ide secara efektif, dan mampu berpikir secara logis dalam menangani masalah-masalah kehidupan yang selalu tak terduga.

Selain itu, anak akan dilatih menjadi manusia yang utuh, yakni yang mampu berpikir mendalam, rasional, komunikatif. Anak akan tumbuh menjadi generasi muda yang mumpuni di berbagai bidang. Anak akan tumbuh menjadi manusia yang berpikir universal, bukan parsial. Melalui diskusi-diskusi filsafat yang bermutu, anak juga diajak untuk melampaui identitas sempitnya, dan mencoba melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Pemahaman antar-budaya, antar-agama dan antar-kelas sosial juga bisa tercipta melalui program “anak-anak berfilsafat”.

Apabila penerapan pendidikan filsafat pada anak-anak bisa terwujud, maka penulis meyakini bahwa persoalan-persoalan bangsa bisa terselesaikan dengan mengakar. Setiap generasi mendatang akan berpikir dan bertindak logis, sehingga tak ada lagi sesat nalar bangsa. Namun, filsafat an sich tidak mampu mencapai tujuan pendidikan ideal yang mana mendidik manusia agar bisa ”memanusiakan manusia” dalam berbagai dimensi dalam dirinya, yakni lahiriah-bathiniah; rasionalitas, emotionalitas, dan spiritualitas.

Leave a Response