KH Arwani Amin adalah sosok kiai kharismatik ‘alim dan ‘amil dalam mengamalkan Al-Qur’an. Mbah Arwani, begitu akrab disapa, yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah ini terkenal hafal dan memahami ilmu Qira’at Sab’ah (القراءات السبعة). Ilmu ini disebut sebagai tujuh macam bacaan Al-Qur’an.

Melalui KH Arwani Amin, ilmu Qira’at Sab’ah terkenal sehingga mulai diminati serta dikaji oleh masyarakat yang sedang nyantri di berbagai pesantren di penjuru negeri.

Diskursus tentang ragam membaca Al-Qur’an tentunya banyak sekali jenisnya. Hal ini tentunya sangat menarik untuk dikaji dan diteliti. Sebagaimana lazimnya diskursus ragam membaca Al-Qur’an sudah disepakti oleh para jumhur ulama yang jumlahnya ada tujuh ragam bacaan.

Hal ini juga ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa, Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh ragam (sab’at ahruf). Maka ilmu qiraat secara khusus bertugas mengidentifikasi ragam-ragam bacaan Al-Qur’an mana yang masuk dalam kategori sab’at ahruf dan mana yang tidak.

Baca juga :  KH Abdullah bin Nuh, Ulama Pejuang dari Bogor yang Terlupakan

Adapun ragam bacaan Al-Qur’an yang telah disepakati kesahihannya. Ragam tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama disebut qiraat mutawatirah (قراءة متوترة), yang bersumber dari tujuh imam, yaitu: Imam Nafi’ (Qari’ Madinah), Imam Ibn Katsir (Qari’ Makkah), Imam Abu ‘Amr (Qari’ Bashrah), Imam Ibn ‘Amir (Qari’ Syam), Imam ‘Ashim (Qari’ Kuffah), Imam Hamzah (Qari’ Kuffah), dan Imam ‘Ali al-Kisai (Qari’ Kuffah).

Mayoritas (jumhur) ulama sudah menyepakati cara membaca Al-Qur’an ada tujuh huruf. Akan tetapi, hal ini justru kurang diminati oleh masyarakat Indonesia yang jumlah muslimnya terbesar di dunia. Dan rata-rata masyarakat Indonesia hanya minat dalam menghafal Al-Qur’an saja. Sedangkan yang mengkaji ragam bacaannya hanya sedikit sekali.

Hal ini tidak lepas karena pemahaman mereka hanya tertuju pada pemahaman menghayati dan menghafal. Sedangkan ragam bacaannya sedikit sekali yang diminati. Bahkan, menurut sebagian yang lain beranggapan bahwa ilmu qira’at tidak terlalu penting. Alasannya di antaranya karena hanya membahas tentang pelafalan Al-Qur’an, sehingga tidak memiliki kontribusi yang nyata bagi masyarakat.

Baca juga :  Sayyid Utsman Betawi, Mufti yang Cakap Mendidik Umat

Kitab ilmu Qira’at Sab’ah yang disusun oleh KH Arwani Amin ini terdiri dari tiga jilid. Kitabnya terkenal dengan nama Faidh al-Barakat. Kitab ini merupakan catatan Mbah Arwani selama mengaji (talaqqi) ilmu qira’at dengan berpedoman kitab Hirz al-Amani karya Imam Syathibi kepada KH Muhammad Munawwir Krapyak Yogyakarta. Kitab tersebut telah diringkas dan disempurnakan agar mudah dipahami dan dipraktikkan semua kalangan.

Sedangkan selama Mbah Arwani hidup, kitab ini tidak pernah dipublikasikan. Jika ada murid beliau yang ingin talaqqi qiraat, maka beliau akan meminjamkan kitab ini yang masih berupa catatan. Selanjutnya para murid menulis ulang kemudian dikembalikan lagi kepada beliau.

Beliau juga menerapkan hal ini kepada Mbah Abdullah Salam dari Kajen, Pati, Jawa Tengah. Di mana saat Mbah Dullah ingin talaqqi qira’at kepada Mbah Arwani sekalipun beliau adalah besannya sendiri. Hal ini Mbah Arwani lakukan untuk membangun budaya literasi di kalangan santri, sebagaimana yang disinggung dalam mukaddimah Faidh al-Barakat, bahwa “ilmu adalah hewan buruan sedangkan tulisan adalah tali kekang, ikatlah buruan-buruanmu dengan tali yang kencang.”

Baca juga :  Kisah KH Chudlori Tegalrejo Hadapi Konflik Santri-Abangan

Dengan demikian, setelah beliau wafat, catatan beliau tentang tata cara talaqqi qira’at secara mudah dan cepat akhirnya dipublikasikan dan dicetak oleh penerbit Mubarakatan Thoyyibah milik Yayasan Arwaniyyah Kudus.

Atas jerih payah beliau inilah, kini ilmu qiraat sab’ah menjadi lebih praktis dan mudah dipahami, sehingga tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengkhatamkan talaqqi qira’at kepada seorang guru. Dan sekarang, kitab Faidh al-Barakat ini menjadi kitab pegangan pokok sebagian besar santri yang mengaji dan talaqqi qira’at kepada guru di Nusantara.

Leave a Response