Salah satu cendekiawan Muslim yang patut diketahui dan diteladani perjalanannya adalah Syekh Badiuzzaman Said Nursi. Ia merupakan seorang ulama terkemuka, seorang pemikir Islam yang paling cemerlang di zaman modern, dan sekaligus seorang yang konsisten dalam memperjuangkan gagasan-gagasannya dengan menjadikan Islam sebagai agama yang dinamis di dunia modern.

Said Nursi lahir pada tahun 1877 M, di sebuah desa bernama Nursi- sebuah perkampungan Qadha’ (Khaizan) di wilayah Bitlis terletak di sebelah Timur Anatolia. Kedua orang tuanya pemeluk Islam yang taat dan menjalani gaya hidup yang saleh dan bersahaja.

Said Nursi memulai pendidikannya di rumah dan mempelajari dasar-dasar keislaman dari ibunya yang menginspirasinya untuk menekuni persoalan-persoalan keislaman. Pada mulanya, ia berguru kepada kakak kandungnya, Syekh Abdullah.

Kemudian ia berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain, dari satu kota ke kota yang lain. Menimba ilmu dari sejumlah guru dan madrasah dengan penuh ketekunan.

Pada masa-masa inilah ia mempelajari tafsir, hadis, nahwu, ilmu kalam, fikih, mantiq, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Dengan kecerdasannya yang luar biasa, sebagaimana diakui oleh semua gurunya, ditambah dengan kekuatan ingatannya yang sangat tajam, ia mampu menghafal hampir 90 judul buku referensial.

Bahkan ia mampu menghafal buku Jam’ul Jawâmi’, di bidang ushul fikih, hanya dalam tempo satu minggu. Ia sengaja menghafal di luar kepala semua ilmu pengetahuan yang dibacanya.

Diceritakan, tanda-tanda kecerdasan Syekh Badiuzzaman Said An-Nursi sudah tampak semenjak Beliau masih usia belia. Ketika Beliau mulai masuk di Kuttab (Tempat mengaji), guru-gurunya sudah dibuat terheran-heran oleh daya ingatannya, kecerdasannya, kedalaman ketelitiannya.

Dan inilah yang menjadikannya bisa mendapatkan ijazah di usia yang masih 14 tahun, setelah mampu menguasai beragam ilmu aqliyah ataupun naqliyah.

Bahkan dikatakan, Syekh Badiuzzaman hafal 80 kitab-kitab induk berbahasa Arab di luar kepala pada umurnya yang masih terbilang muda, selain tentu sudah hafal Al-Qur’an sebelumnya. Termasuk dari kitab yang dihafalkannya adalah kitab buah karya Syekh Abdul Wahab Tajuddin As-Subki, Jam’ul Jawami’. Kitab tersebut mampu dihafal tidak lebih dari seminggu!

Dengan kehebatannya itu, kealimannya mulai tersebar dan mengungguli para ulama di zamannya. Maka, terkenallah Syekh Said waktu itu dengan sebutan “Said Al-Masyhur”. Beliau lalu pergi ke sebuah kota bernama Tillo, dan tinggal beberapa saat di salah satu zawiyah.

Di sana, Beliau menghafal Kamus yang besarnya tiga kali Al-Qur’an. Kamus Al-Muhith namanya, buah karya dari Syekh Fairuz Abadi. Beliau menghafalnya sampai bab huruf Sin.

Sa’id Al-Masyhur memang benar-benar kehausan akan ilmu pengetahuan. Setelah ilmu-ilmu agama sudah ia lahap, kini merambah ke Matematika, Astronomi, Kimia, Fisika, Geologi, Filsafat, dan Sejarah.

Said Al-Masyhur dengan semua ilmu itu tidak hanya sekadar kenal atau tahu. Bahkan penguasaan terhadap ke semua ilmu itu jika diperintahkan untuk mengarang, ia mampu untuk melakukannya.

Dari sinilah, julukan “Badiuzzaman/Keajaiban Masa” tersemat di namanya. Sebagai pengakuan dari para ulama dan cendekiawan waktu itu akan kecerdasan dan ilmunya yang luas.

Dengan modal ilmu yang luas inilah, kiprah beliau berlanjut. Bahkan ada yang mengatakan, beliau adalah Tokoh Pembaharu (Mujaddid) di abad ke-13.

Demikian yang termaktub dalam bukunya Syekh Ahmad Syukriy, “Buhuts Al-I’Jaz Wa At-Tafsir Fii Rasaail An-Nur” dan bukunya Syekh Husainy Ashim, “Shirah Imam Mujaddid: Qabasaat min Hayati Al-Imam Al-‘Allamah Badiuzzaman Sa’id An-Nursiy.”

Dengan kecerdasan, kecemerlangan, prestasi, kiprah, perjuangannya itu, ada yang penasaran bagaimana orang tua Syekh Badiuzzaman Said An-Nursi dalam mendidik anaknya yang gemilang ini.

Dalam berbagai sumber, ayah dari Syekh Said yang bernama Mirza adalah orang yang sangat wirai. Sangat berhati-hati dalam persoalan syubhat apalagi yang haram. Beliau tidak ingin ada sebiji gandum yang haram yang masuk di tubuhnya, apalagi ditubuh anak-anaknya.

Saking wira’inya, dikisahkan ketika Beliau kembali dari menggembala, mulut hewan yang ia kembala diikat. Hal ini agar hewan-hewan gembalanya tidak sembarangan makan rumput di tanah orang.

Sedangkan ketika Ibunya yang bernama Nuriyah ditanya, Sang Ibu menjawab: “Aku tidak pernah meninggalkan shalat Tahajud sepanjang hidupku, kecuali saat-saat uzur syar’i. Dan aku tidak pernah menyusui anakku (Syekh Badiuzzaman Said An-Nursi) kecuali dalam keadaan suci berwudhu.”

Dari kisah ini kita bisa melihat bahwa anak yang hebat, berasal dari orang tua yang hebat pula. Hebat dalam menjaga makanan untuknya dan untuk keluarganya, terlebih anak-anaknya.

Imam Syafi’i menjadi luar biasa seperti itu, pun juga bermula dari kehati-hatian ayahandanya dalam meminta halal buah yang terlanjur ia makan, padahal buah yang ia dapat dari arus aliran sungai.

Putra-putri KH Maimoen Zubair menjadi orang shalih dan alim semua, pun juga bermula dari kehati-hatian Mbah Maimoen dalam mengelompokkan uang, agar untuk keluarga dan anak-anaknya mendapatkan makan dari hasil dagangnya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh orang besar lainnya.

Bagaimana ingin mempunyai anak yang sholih dan punya kecerdasan yang luar biasa, kalau bapaknya saja sembarangan dalam makan, bahkan haram-haram pun dimakan. Apalagi memberi nafkah keluarganya dengan hasil menipu, dengan hasil berbohong saat berdagang, dengan hasil mengurangi timbangan saat menimbang di pasar, dengan hasil rentenir, apalagi dengan hasil curian.

Bagaimana bisa membuahkan anak yang serupa dengan Syekh Badiuzzaman An-Nursi?

Tidak hanya dari jalur bapak yang hebat. Pun ibunya juga harus ikut tirakat. Lihatlah sosok tirakat dari ibunda Syekh Badiuzzaman: mendoakan anaknya sepanjang hayat di pertengahan malam, menyusui anak dengan keadaan suci dzahiran wa bathinan.

Demikian sejarah di balik kehebatan Syekh Badiuzzaman Said An-Nursi. Dengan mengetahuinya, semoga menjadi teladan yang harus dilestarikan oleh para bapak dan ibu, yang berharap anaknya menjadi anak yang shalih, hebat dan cerdas.

Leave a Response