Kitab suci Alquran dengan model penulisan dan penampilan baru bertebaran di layar iklan. Berdalih memudahkan si pembaca agar lancar membaca Kitab Suci. Bahkan untuk pembaca pemula, mereka mengaku bisa mengajari (tanpa kehadiran guru) dengan cepat mahir membaca Alquran.

Untuk mempercepat rasa gandrung Alquran, pengiklan bahkan mendesign sampul Alquran lebih kekinian. Warna mencolok dan sedap dipandang membuat calon konsumen terpikat untuk segera memilikinya.

Alquran hadir dalam bahasa Arab yang memililki struktur kebahasaan yang rumit. Bahkan di awal kemunculannya, tulisan (Arab) Alquran tidak semudah yang kita saksikan hari ini. Sekian inovasi penulisan Alquran telah dilakukan agar Alquran mampu menjangkau lebih banyak umat ke daerah (yang lebih) jauh di luar Arab.

Bila meruntut pada masa-masa awal syiar Islam, penggunaan bahasa tulis sebagai metode penyebaran ayat suci Alquran tidak begitu populer. Mengingat sebagian besar masyarakat (waktu itu) dapat dikatakan buta huruf dan perbedaan dialek antar suku di Jazirah Arab menjadikan komunikasi semakin sulit.

Meskipun demikian, puisi Arab kuno dengan bahasanya yang baku, tekniknya yang rumit, dan kaidah serta standarnya yang ketat, dapat dikatakan sama di seluruh wilayah Arab yang luasnya sepertiga wilayah Eropa, membentang dari Yaman di selatan hingga Suriah di utara, dari perbatasan Irak modern hingga perbatasan Mesir. (Navid Kermani, Jurnal Kalam (2003): hlm. 208)

Masyarakat (Jahiliyah) Arab begitu memuliakan posisi seorang penyair Arab sebagai sosok yang memiliki kemampuan mistik religius sehingga dianggap memiliki kedekatan komunikasi dengan Sang Pencipta. Kehadiran Alquran dengan bahasanya yang puitis menjadikan masyarakat Arab waktu itu semakin terkagum-kagum. Banyak kisah mualaf awal sebab kekaguman mereka dengan kaidah bahasa Arab yang digunakan oleh Alquran banyak kita temui dalam literatur Islam.

Pada mulanya Alquran bukan merupakan karya tertulis; Alquran terdiri dari beragam bacaan yang terpisah-pisah yang kemudian disatukan dalam satu karya (tulis) utuh. Rumitnya proses literatif Alquran hingga berwujud seperti hari ini, telah mengalami berbagai macam peristiwa dan tokoh yang terlibat di dalamnya.

Salah satu tokoh yang patut kita ingat jasanya adalah sosok yang dikenal sebagai “Gutenberg Arab”, Prof. Ahmed Lakhdar Ghazali dari Maroko. Seperti halnya Gutenberg (1400-1468), orang Jerman yang berhasil menemukan mesin cetak tulisan latin yang sangat membantu populerisasi kitab suci Kristen dan karya sastra Eropa, Prof. Lakhdar pertama kalinya dalam sejarah telah memungkinkan pencetakan huruf-huruf Arab semurah dan semudah mencetak huruf latin.

Dalam rubrik Teknologi majalah Tempo edisi bulan Agustus 1978, kisah revolusioner Prof. Lakhdar diceritakan begitu menarik. Dahulu, cetak-tangan kaligrafi Arab begitu rumit, membutuhkan 350 sampai 600 simbol.

Ketika percetakan tulisan Arab itu mulai dimekanisir, itu pun masih diperlukan 117 simbol. Dari seratus lebih simbol tersebut, kemudian mengalami penyederhanaan lagi menjadi hanya 66 simbol. Namun dengan 66 simbol yang dipergunakan, tidak semua orang dapat dengan mudah membaca dan mempelajari huruf-huruf Arab yang tercetak dalam tulisan.

Si pembaca harus cukup terdidik untuk memahami bahasa dan pengertian yang disampaikan oleh teks Arab. Sebab tulisan Arab yang disederhanakan hingga menjadi 66 simbol ini tidak ada huruf-huruf hidupnya.

Di Indonesia, huruf-huruf semacam ini kita kenal dengan sebutan “huruf Arab gundul”, tidak dilengkapi dengan tanda baca yang membedakan huruf-huruf hidup yang menyertai huruf-huruf mati. Hanya orang yang sudah faham konteks tulisannya dan disertai ilmu balaghah yang mumpuni dapat ‘menebak’ huruf hidup apa yang tersirat di situ.

Hasil penelitian Prof. Ahmed Lakhdar Ghazali bersama anak buahnya selama enam tahun telah melahirkan sejenis tulisan Arab baru yang disederhanakan, namun lengkap dengan tanda baca dan huruf hidupnya. Dengan ASV (Arabic Standard Vowelled) karya Prof. Lakhdar cukup menggunakan 42 simbol untuk mencetak semua huruf mati, dan 22 simbol lagi untuk mencetak tanda baca, huruf hidup, dan angka.

Penelitian yang dibiayai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu pun akhirnya  mendapatkan pengakuan resmi dari 21 negara Arab yang diperolah dalam sebuah konferensi Unesco di Nairobi pada tahun 1978.

Kisah penemuan Prof. Lakhdar memungkinkan bukan hanya menyangkut persoalan penulisan teks-teks dalam Alquran lebih mudah ditulis dan terbaca, lebih jauh sistem ASV diperkirakan akan banyak membantu berbagai macam studi dan pengembangan bahasa Arab.

Di era teknologi yang serba digital, penemuan ini memungkinkan model komputerisasi teks Arab menjadi sangat dipermudah dan dipermurah. Bahkan di masa awal penemuannya, setelah dibantu oleh perusahaan Italia melalui proses komputerisasi bahasa Arab, Prof. Lakhdar berencana untuk memulai proyek ambisius berikutnya. Yaitu dengan menyimpan 600 ribu kepingan data yang merupakan koleksi lengkap karya sastra dan ilmiah Arab kuno dan modern berikut terjemahan Inggris dan perancisnya.

Sekian puluh tahun setelah peristiwa revolusioner Prof. Lakhdar kita menjumpai antrian model tulisan Alquran yang diiklankan di berbagai lini masa. Sama seperti Prof. Lakhdar, pengiklan juga memiliki dalih mempermudah proses bacaan bahasa Arab yang termaktub dalam kitab suci.

Hanya saja, iklan-iklan tersebut lebih berani memberi ‘jaminan’ pemahaman makna teks Alquran yang telah terbaca. Bahkan tanpa kehadiran seorang guru agama maupun guru bahasa. Jaminan itu tentu perlu pembuktian konkrit sekian tahun mendatang.

Prof. Lakhdar tidak mau muluk memberikan jaminan. Namun ASV sebagai karya monumentalnya jelas membuktikan percepatan transformasi keilmuan melalui teks-teks Arab dari barat ke dunia Arab, begitupula sebaliknya. Amin.

 

Leave a Response