Keadaan sosial budaya masyarakat Mesir kala itu sangat memprihatinkan. Perempuan dipandang sebelah mata, tidak dihargai, bahkan dijadikan budak dan pemuas nafsu kaum laki-laki, serta kerap dipingit di dalam rumah.

Kondisi seperti ini tidak memberikan kebebasan berkehendak (pilihan) atau secara langsung membunuh kreativitas seorang perempuan dalam menentukan pilihan-pilihannya. Sehingga, tampak bahwa peran seorang perempuan kala itu menjadi sempit, hanya beraktivitas di dalam rumah laiknya seorang tahanan.

Budaya patriarki (perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu) yang mengakar di tengah masyarakat Mesir kala itu, mengundang perhatian dari pelbagai tokoh atau pemikir Islam di Mesir. Di antaranya Qasim Amin.

Kehadiran Qasim Amin seakan menjadi angin segar bagi kaum perempuan Mesir. Pemikiran yang digaungkannya memberi ruang serta kebebasan bagi kaum perempuan untuk memperoleh kedudukan yang sama dengan laki-laki.

Terbukti dengan diterbitkannya buku Tahrir al-Mar’ah (pembebasan perempuan) karya pertama Amin yang disambut dengan meriah oleh kaum perempuan Mesir kala itu. Buku ini mengilhami para aktivis kesetaraan gender khususnya di kalangan perempuan Mesir dalam menyuarakan hak-hak mereka setelah Amin wafat.

Qasim Amin merupakan pembaharu Islam yang lahir Thurah, wilayah pinggiran Kairo, tahun 1277 H/1863 M. Ayahnya bernama Muhammad Bek Amin merupakan keturunan Turki, sementara ibunya adalah seorang perempuan Mesir asli dari Al-Said.

Pendidikan pertama Amin di Madrasah Ra’su al-Thin (Sekolah Dasar) tepatnya di wilayah Iskandariyah, kemudian Madrasah Tajhiziyah (tingkat Tsanawiyah) yang terletak di Kairo. Amin lalu melanjutkan studinya ke sekolah tinggi hukum Madrasah Al-Huquq, dan berhasil memperoleh ijazah licence tahun 1298 H/1881 M.

Setelah menyelesaikan studinya, Qasim Amin bekerja di sebuah kantor pengacara milik Mustafa Fahmi yang terletak di kota Kairo. Namun demikian, pekerjaan yang ia geluti tak berlangsung lama, sebab Amin kemudian berangkat lagi ke Prancis untuk mendalami ilmu di bidang hukum pada Universitas Montpellier.

Di universitas inilah Qasim Amin berhasil meraih gelar sarjana hukum, yang kemudian mengantarkan dirinya menjadi seorang hakim kesohor di Mesir pada masanya.

Keberadaannya di Prancis memberikan arti tersendiri bagi kehidupannya serta pemikirannya. Ia bertemu dengan beberapa tokoh pemikir pembaharu Islam, seperti Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dari Abduh, Amin belajar bahasa Prancis.

Pertemuannya dengan para pemikir pembaharu tersebut memberikan kesempatan bagi Amin untuk ikut andil dalam penerbitan majalah Islam populer yang diberi nama al-Urwah al-Wustqa yang berpusat di Paris.

Dalam majalah itulah, mereka menyuarakan gerakan “nasionalisme” yakni pembebasan masyarakat Mesir dari imperialisme-kolonialisme Barat, yang kebetulan Inggris telah menggulingkan kekuasaan Urabi Pasha dan menguasai Mesir.

Sekembalinya dari Prancis, Qasim Amin diangkat menjadi hakim pada sebuah lembaga kehakiman ­al-Mahkamah al-Mukhwalatah hingga menjadikan dirinya mustashar (hakim agung) pada mahkamah al-Isti’naf pada tahun 1309 H/1892 M. Pekerjaan itu ia geluti hingga akhir hayatnya pada 1908, dalam usia 45 tahun.

Qasim Amin juga termasuk pemikir produktif, di antara karyanya adalah: Tahrir Al-Mar’ah (pembebasan perempuan), al-Mar’ah al-Jadidah (perempuan modern), Mishr wa al-Misriyyun, Asbab wa al-Nataji wa Akhlaq al-Awaiz, Tarbiyah al-Mar’ah wa al-Hijab dan Al-Mar’ah Al-Muslimah.

Sebagai seorang reformis Islam dan hakim kesohor di Mesir, Qasim Amin membentangkan pemikirannya pada isu-isu perempuan di Mesir, yang pada saat itu budaya patriarki semakin merebak di kalangan masyarakat Mesir.

Menurutnya, perempuan Mesir tidak saja terpinggirkan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan serta struktur sosiologis, tetapi hak-hak mereka sebagai individu telah direnggut oleh keyakinan Islam tradisional dan berbagai budaya patriarki mengatasnamakan agama yang dianggap sudah mapan.

Dalam membela hak-hak kaum perempuan Mesir kala itu, pada tahun 1899 M, Qasim Amin menerbitkan buku dengan judul Tahrir Al-Mar’ah (pembebasan perempuan). Buku ini menuntut penghapusan “adat hijab” yang bagi Amin dianggap bertentangan dengan hakikat hijab dalam ajaran Islam.

Selain itu, Amin menuntut agar perempuan Mesir mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak serta memperoleh kedudukan yang sama dengan laki-laki. Bagi Qasim, adanya perubahan dalam praktik poligami dan perceraian telah banyak merugikan kaum perempuan di Mesir.

Kendati demikian, gagasan Qasim Amin tidak berjalan mulus. Berbagai kecaman mulai bermunculan, baik dari kalangan ulama Islam tradisional maupun beberapa tokoh nasionalis Mesir.

Alih-alih pemikiran Amin patah akibat kritik yang dilancarkan oleh pelbagai kalangan, pemikiran Amin seakan mendapatkan relevansinya dan hal itu justru memicu semangat Amin untuk lebih giat dalam membela hak-hak kaum perempuan Mesir.

Ini terbukti dengan diterbitkannya buku al-Mar’ah al-Jadidah (perempuan modern), sebagai jawaban atas kecaman dan kritikan yang dilancarkan kepadanya. Di dalam buku keduanya ini ia mengemukakan contoh-contoh konkret perbandingan antara perempuan Mesir, Eropa, dan Amerika.

Yang menarik dari pemikiran Qasim Amin tentang emansipasi wanita, ia menawarkan gagasan tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan. Menurutnya, pendidikan merupakan satu-satunya alat untuk membebaskan wanita dari praktik  budaya patriarki yang menyiksa mereka.

Dengan memperoleh pendidikan, seorang perempuan dapat mempertinggi perannya. Bukan hanya di bidang domestik, tetapi mencakup segala hal tak terkecuali di bidang kemasyarakatan.

Menurut Qasim Amin, urgensi pendidikan bagi perempuan berkaitan dengan peranannya sebagai seorang ibu. Seorang anak hampir seluruh waktunya dihabiskan bersama ibunya.

Karenanya, dia harus mampu berperan sebagai seorang pendidik yang baik, karena ia merupakan “sekolah pertama bagi anak,”. Ibu bahkan menjadi salah satu faktor penentu bagi masa depan anak-anaknya sebagai generasi penerus bangsa.

Ironisnya, masyarakat Mesir kala itu menganggap bahwa pendidikan akan merusak akhlak. Perempuan tidak memiliki kemampuan laiknya seorang laki-laki. Bahkan terdapat beberapa ulama tradisional yang mempertanyakan perihal kebolehan belajar membaca bagi anak perempuan.

Stigma-stigma demikian, oleh Amin sudah saatnya dihilangkan karena akan menjadi kendala dalam upaya peningkatan taraf pendidikan perempuan. Menurutnya, semakin tinggi pendidikan wanita, maka semakin tingga pula harkat dan martabatnya.

Dengan demikian, mereka mampu menentukan pilihan dalam menghadapi pelbagai rintangan hidup yang mengitarinya, apalagi pendidikan tersebut disertai dengan pendidikan akhlak.

Upaya Qasim Amin membela perempuan melalui karya dan pemikirannya, adalah untuk mencapai kemakmuran masyarakat dan kepentingan bersama. Juga merestorasi ajaran Islam di mana sejatinya tidak menghendaki budaya patriarki. Salah satu ajaran yang dibawa Islam adalah mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan.

Leave a Response