Judul: Feminisme Sebuah Pengantar Singkat

Penulis: Margaret Walters

Penerjemah: Devi Santi Ariani

Penerbit: IRCiSoD

Cetakan: Pertaman, Januari 2021

Tebal: 224 hlm; 14 x 20 cm

ISBN: 978-623-6699-25-6

 

Membaca buku Feminisme Sebuah Pengantar Singkat karya Margaret Waltres, membantu kita untuk melacak sejarah dari gerakan feminis dunia, lebih-lebih di Inggris.

Margaret, memulai dengan menceritakan fenomena di abad ke-11, di mana perempuan sibuk mengurung diri di biara-biara. Di antara mereka ada yang berasumsi bahwa kehidupan semacam ini begitu mengerikan. Tapi, bagi sebagian lainnya, ini adalah jalan menuju ketenangan, kesejahteraan dan pengembangan pikiran.

Di sana, perempuan memanfaatkan waktu untuk terus belajar. Terlepas dari tuntutan dan sarkasme dari suami mereka yang berdalih agama dan Tuhan sebagai pedang untuk menghujam hak-hak perempuan.

Lihat saja bagaimana Margery Kempe, yang bersikeras menolak untuk berhubungan seksual dengan suaminya setalah kehamilan yang ke-14, tetapi setelah itu dia harus pergi meninggalkan suaminya.

Gerakan-gerakan kaum perempuan terus digalakkan, ruang-ruang publik penuh dengan tuntutan hak perempuan. Meskipun, lagi-lagi upaya yang dilakukan oleh feminis tidak diberikan ruang, dan cenderung diputus oleh laki-laki.

Bagi perempuan, laki-laki merupakan Tuhan yang berkuasa atas hak dan kebebasan. Tubuh, pikiran dan hak pilih dipegang oleh laki-laki, perempuan hanya hidup berkelindan dalam kesuraman.

Suara-suara perempuan berisik di depan umum atau juga melalui tulisan. “Saya seorang wanita yang sangat lemah dan tidak layak… saya tidak bisa melakukan lebih dari diri saya sendiri seperti yang bisa dilakukan oleh pensil atau pena ketika tidak ada panduan tentang hal itu,” ini tulisan dari wanita di abad ke-17. (hal. 33). Pengakuan atas keterbatasan dirinya, merupakan jalan pengekalan bagi dominasi laki-laki atas segala yang ada dalam diri perempuan.

Kecaman atas gerakan feminisme begitu masif, banyak para aktivis perempuan yang berakhir dengan kematian. Label pelacur sering disematkan pada perempuan yang aktif dalam gerakan-gerakan persamaan hak. Anggapan bahwa mereka kebanyakan cacat secara pemikiran dan pengetahuan mengenai perempuan, juga tidak kalah suram dalam perjalanan perjuangan feminisme.

Tapi, meskipun banyak perempuan yang bergabung dalam gerakan ini, perlu dicatat bahwa tidak sedikit perempuan yang melakukan pemberontakan dari dalam, karena menganggap bahwa gerakan feminisme hanya berpusat pada kebebasan hak seksual, pendidikan, hak pilih, dan persamaan upah.

Memasuki abad ke-20, pada gelombang pertama, feminisme menuntut kesetaraan sipil dan politik. Dan mulai memperlebar sayap di tahun 1970-an, feminisme gelombang kedua, memusatkan perhatian pada hak-hak seksualitas dan keluarga untuk wanita. (hal. 198).

Fase ini merupakan lompatan besar feminisme, di mana perempuan merasa dirugikan secara fisik dan harta. Setiap perempuan yang menuntut cerai tidak diperbolehkan secara administrasi hukum negara. Bahkan, jika perempuan tidak diberikan hak asuh atas anak dan harta setelah melakukan perceraian.

Akhir-akhir ini, feminisme kembali didengungkan, juga di Indonesia. Feminisme yang dilahirkan di universitas juga mulai banyak melahirkan perempuan yang dengan lantang bersuara atas diri mereka. Persoalan-persoalan lain mengenai kuasa atas perempuan kerapkali menjadi topik paling menyenangkan.

Terlepas dari pembahasan singkat Margaret Walters dalam bukunya, ternyata feminisme masih terus akan dibicarakan tanpa ujung, karena selain menuntut hak atas persamaan kedudukan di kehidupan sosial, perempuan juga harus belajar berdamai sesama perempuan atas hak dirinya.

Leave a Response