Beberapa waktu lalu, saya sudah menyaksikan penganugerahan gelar kehormatan (Doktor Honoris Causa) untuk guru yang amat saya segani itu, KH Afifuddin Muhajir. Jujur, saya sangat menikmati moment itu, sebelum hingga saat acara pengukuhannya dilaksanakan.

Pasalnya, berkat kabar gembira itu banyak sekali orang-orang yang menulis refleksi tentang beliau, mulai dari muridnya, kolega, hingga para pejabat pemerintah. Semua tulisan itu berisi sanjungan betapa beliau sangat layak memproleh gelar itu, bahkan jauh sebelum hari ini.

Sementara dalam tulisan ini, saya tidak akan berpanjang lebar menyampaikan yang sudah-sudah, sanjungan dan refleksi tentang diri beliau. Tulisan ini hanya akan mengungkapkan satu bagian kecil yang sepertinya luput dari bidikan man-teman untuk ditulis.

Satu bagian kecil itu adalah keterkaitan apa yang saat ini dilakukan oleh Kiai Afif dengan peristiwa yang dilakukan oleh KH As’ad Syamsul Arifin pada tahun 1983 silam. Apa yang saat ini dilakukan oleh Kiai Afif sejatinya adalah sesuatu yang dahulu juga dilakukan oleh Kiai As’ad, guru yang sekaligus orang tua Kiai Afif.

Pada tahun 1982, Pemerintah berencana untuk memberlakukan Asas Tunggal Pancasila sebagai ideologi. Isu tersebut sontak membuat heboh umat Islam, khususnya kiai-kiai NU.

Ada yang menerima rencana ini, ada pula yang dengan keras menolaknya. Orang-orang yang menolak penerimaan Asas Tunggal Pancasila didasarkan pada kekhawatiran bahwa Pancasila akan mereposisi agama Islam.

Melihat fenomena ini, Kiai As’ad tidak tinggal diam. Ia langsung mengambil langkah-langkah terukur dan hati-hati yang sekiranya tidak merugikan umat Islam dan sekaligus juga tidak merugikan negara.

Pertama-tama, Kiai As’ad langsung menghadap Presiden Seoharto untuk melakukan klarifikasi mengenai posisi Pacasila.

“Apakah benar Pancasila akan dijadikan agama, sehingga Islam tidak ada, Kristen tidak ada?“ tanya Kiai As’ad.

Pak Harto buru-buru menjawab bahwa tidak demikian yang dimaksud. “Owh, tidak Pak Kiai, sekali-kali tidak (Pak Harto mengatakan sambil angkat tangan). Agama ya agama, Pancasila ya Pancasila, Kiai,” jawab Pak Harto.

Singkat cerita, Kiai As’ad kemudian mendapat kemantapan hati bahwa Pancasila sama sekali bukan musuh agama, justru ia sangat selaras dengan agama. Karena sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mencerminkan katauhidan.

Namun, pekerjaan Kiai As’ad masih belum selesai sampai di sini. Pada tahap selanjutnya, ia juga dituntut harus mampu menjelaskan dengan meyakinkan bahwa Pancasila tidak untuk mereposisi agama.

Dalam hal ini ia hanya sebagai landasan kita dalam bernegara, kepada para kiai-kiai yang sebelumnya sudah menaruh kecurigaan tidak sedap terhadap Pancasila.

Untuk pekerjaan yang teramat berat ini, Kiai As’ad menunjuk Kiai Ahmad Shiddiq. Ia ditugaskan untuk memberikan argumen-argumen normatif-ideologis mengenai pertautan Pancasila dan Agama.

Berikut ini deklarasi tentang pertautan Pancasila dengan Agama Islam yang pada saat itu berhasil dirumuskan.

Bismillahirrahmanirrahim

Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama.

Sukorejo, Situbondo 16 Rabi’ul Awwal 1404

Deklarasi inilah yang kamudian menjadi cikal bakal lahirnya keputusan paling bersejarah dalam perjalan NU dan Bangsa Indonesia. Keputusan itu adalah kesedian NU untuk menerima Asas Tunggal Pancasila melalui forum Muktamar dan Munas NU yang ke-27 di Situbondo.

Dalam hal ini, Kiai As’ad menjadi orang paling berjasa karena selain sibuk menjadi tuan rumah. Selain itu beliau juga merupakan orang yang paling banyak terlibat dalam mempersiapkan penerimaan Asas Tunggal Pancasila.

Beliau rela bolak-balik ke Pak Harto untuk melakukan berbagai klarifikasi mengenai isu-isu Pancasila yang berkembang liar di masyarakat. Beliau juga termasuk orang yang paling aktif dalam mengkampanyekan penerimaan Asas Tunggal Pancasila sebagai ideologi negara.

Adapun puncaknya, NU menjadi Ormas pertama yang menerima Asas Tunggal Pancasila pada tahun 1983, dalam acara Muktamar dan Munas NU Ke-27 di Situbondo.

Dan akhir-akhir ini, ada sekelompok orang yang dengan lantang selalu berteriak bahwa Pancasila adalah thagut. Ada juga yang menawarkan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah di Indonesia dengan berlandaskan Khilafah.

Karena menurut kelompok tersebut, Pancasila dinilai tidak syar’i oleh mereka. Dan masih banyak lagi gerakan-gerakan serupa yang ujung-ujungnya hanya buat gaduh negara.

Dalam suasana kemelut seperti ini, pakar Fikih-Ushul Fikih kebanggaan NU, Kiai Afifuddin Muhajir hadir melakukan kampenye melalui satu forum ke forum lainnya bahwa Pancasila tidak bertentangan dan justru selaras dengan syariat Islam. Bahkan, bisa jadi Pancasila merupakan syariat itu sendiri.

Untuk yang terakhir, hal ini diungkapkan karena menurut Kiai Afif, dalam teks-teks syariat ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang sangat layak menjadi dalil dan landasan bagi masing-masing sila yang ada di dalam Pancasila.

Kiai Afif yang dikenal dengan kedalaman dan kematangannya dalam penguasaan Ilmu Fikih-Ushul Fikih. Kemudian beliau terus melakukan pencerahan dan penguatan kepada masyarakat mengenai pemahaman atas Asas Tunggal Pancasila dengan keilmuannya.

Dan uniknya, Kiai Afif selalu mampu berbicara dengan fasih dan segar mengenai Pancasila dan tata negara dengan pendekatan Ilmu Fikih-Ushul Fikih. Kerja-kerja tersebut terus dilakukan oleh Kiai Afif.

Tidak hanya melalui mimbar-mimbar forum, beliau juga melakukannya dengan cara menulis sejumlah buku. Misalnya, Buku “Fikih Tata Negara”.

Dalam buku ini, Kiai Afif berbicara banyak hal mengenai negara. Mulai dari bagaimana bentuk negara, bagaimana menjalankan negara, hingga apakah negara Indonesia sah disebut negara Islam. Beliau membahas semua tema-tema itu dengan pendekatan Fikih-Ushul Fikih. Sesuatu yang unik dan jarang kita temui hari ini.

Di samping itu, Kiai Afif juga menulis sebuah buku dengan judul “Membangun Nalar Islam Moderat”. Buku ini ditulis oleh Kiai Afif sebagai landasan metodologis atas karya Kiai Afif sebelumnya, yakni Buku “Fikih Tata Negara”.

Sehingga tak heran apabila hampir seluruh dari buku ini hanya berisi teori-teori tentang bagaiman memperlakukan al-Qur’an dan Hadis secara tepat. Dan melalui buku ini pula, Kiai Afif sedang menunjukkan bahwa dalil-dalil agama tidak hanya terbatas pada al-Qur’an dan Hadis sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang saat ini.

Dan puncaknya, kerja Kiai Afif dalam mengawal pancasila terjadi pada tanggal 20. Di mana beliau menulis sebuah orasi ilmiah yang berisi tentang kajian Pancasila dengan judul “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushūs dan Maqāshid)”.

Dalam karyanya tersebut, Kiai Afif memaparkan bahwa Pancasila yang selama ini menjadi pedoman kita dalam bernegara memiliki acuan dan landasan di dalam syariat Islam, baik secara tekstual maupun Maqāshid.

Hal ini bisa kita lihat dari proses pembentukan Pancasila. Sudah jamak kita ketahui, Pancasila lahir dan terbentuk dari kesepakatan para pendiri bangsa ini. Hampir tak ada seorangpun yang menolak Pancasila pada saat itu.

Ini artinya, Pancasila adalah hasil konsensus yang dalam Ilmu Fikih-Ushul Fikih dikenal dengan istilah Ijmā’. Dalam Islam ijmā’ termasuk dari empat jenis dalil yang muttafaq alaih (disepakati).

Ijma’ menempati urutan ke empat setelah Al-Qur’an, Hadis, dan Qiyas. Jadi ketika kalian ditanya oleh kelompok sebelah, apa dalil kalian menerima Pancasila? Maka jawablah dengan mantap, Ijmā’!

Ala kulli hal, secara umum, garis perjuangan yang saat ini ditempuh oleh Kiai Afifuddin Muhajir sama persis dengan apa yang dahulu diperjuangkan oleh Kiai As’ad, yaitu sama-sama memperjuangkan Pancasila.

Titik perbedaannya hanya terletak pada: jika dahulu Kiai As’ad memperjuangkan Pancasila untuk dijadikan sebagai pondasi negeri ini, maka Kiai Afif saat ini memperjuangkan Pancasila dari tangan-tangan brengsek yang berusaha mencabut Pancasila dari negeri ini.

Untuk beliau berdua, Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Kiai Afifuddin Muhajir, Alfatihah!

Leave a Response