“Kamu kapan selesai kuliahnya? Teman sebayamu sudah pada berkeluarga semua, bahkan sudah pada punya anak lho.”

Antara kuliah dan menikah selalu menjadi topik relevan untuk dibahas. Di sini mari kita luruskan semua terlebih dahulu. Kuliah atau nikah keduanya adalah ibadah. Dan setiap ibadah ada hukumnya masing-masing.

Hukum asal menikah menurut para ulama adalah mubah jika diniatkan sebatas berkeluarga dan pemenuhan kebutuhan seks saja. Namun, dikatakan sunnah muakkad jika diniatkan meneladani sunnah Rasulullah. Namun hukum ini dapat berubah jika disesuaikan dengan kondisi mempelai atau orang yang akan menikah.

Menjadi remaja perempuan yang memasuki usia dewasa dan tinggal di desa bukanlah suatu hal yang mudah. Pola komunikasi masyarakat desa sangatlah intens, antar tetangga masih dengan mudah untuk berkomunkasi. Hal yang positif memang, namun terkadang kita merasakan adanya perbincangan toxic di sana.

Ya, hal ini menjadi pengalaman pribadi saya sendiri. Ketika memasuki usia di atas 20 tahun masih menempuh pendidikan di tanah rantau. Dan ketika pulang semua teman sebaya bahkan adik tingkat yang sudah berkeluarga dan mempunyai momongan.

Hal yang wajar menurut saya dan lumrah di lingkungan kehidupan desa. Namun yang mengganggu adalah ketika timbul pernyataan, “Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalo cuman hidup di dapur dan melayani suami saja?” Mungkin di daerah yang pendidikan sudah maju perdebatan ini sudah final, namun tidak sepenuhnya di beberapa desa di negeri ini.

Dalam buku Inspirasi Keadilan Relasi (2018: 55), Faqihuddin Abdul Qadir menjelaskan bahwa menikah dapat memiliki hukum wajib disegerakan, makruh bahkan haram. Hal ini dikembalikan lagi pada realitas kondisi tiap orang, terkait kesiapan mengarungi bahtera pernikahan. Kesiapan di sini juga harus mempertimbangkan dari segala segi, baik itu fisik, finansial, maupun pemenuhan kebutuhan lainnya.

Sebagaimana dikutip Faqihuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam Fath al-Bari:

”Bagi seseorang yang merasa akan memperoleh manfaat dari menikah dan terhindar dari kemungkinan penistaan dalam pernikahan, sebaiknya ia menikah. Tetapi, ketika ia justru tidak akan memperoleh manfaat, atau tidak bisa menghindari kemungkinan penistaan, maka ia tidak dianjurkan untuk menikah.”

Sehingga, ketika kita mendapati diri belum siap menghadapi pernikahan dan hidup berkeluarga, maka menikah tidaklah wajib. Justru di masa-masa emas (masa muda) jatah kita untuk terus menuntut ilmu (contoh: kuliah).

Secara segi ibadah, menuntut ilmu merupakan ibadah wajib bagi siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin, umur, dan kelas sosial masyarakat. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah nomor 229, “Bahwa mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.

Berdasarkan hadits di atas, dapat dipahami bahwa menuntut ilmu adalah suatu kewajiban. Salah satu cara memperoleh ilmu adalah melalui pendidikan, sehingga pendidikan haruslah diprioritaskan ketika kondisi masih belum memungkinkan untuk menikah. Sehingga, di sinilah kemudian peranan keluarga sangat dibutuhkan, mengigat posisi seorang anak masihlah tanggung jawab orangtua.

Orangtua yang telah lebih dahulu menjalin kehidupan berkeluarga seharusnya lebih mengetahui betapa perlunya kesiapan yang matang untuk memasuki pernikahan. Kesiapan diri dalam segala hal sangat diperlukan untuk membangun keluarga yang Samara (Sakinah Mawadah wa Rahmah).

Oleh sebab itu, tidaklah salah jika kemudian ada sebagian orangtua yang memilih untuk menuntaskan pendidikan anaknya terlebih dahulu sebelum memasuki pernikahan.

Mengingat keluarga adalah madrasah pertama bagi seorang anak, terlebih lagi posisi seorang ibu. Maka tidaklah salah ketika perempuan menempuh pendidikan tinggi. Asalkan dengan niat terus menunaikan kewajiban menuntut ilmu, dan nantinya akan sangat berguna untuk anak-anaknya kelak.

Sehingga memiliki pendidikan yang mapan, sebelum kemudian membangun rumah tangga sangatlah diperlukan untuk nantinya melahirkan keturunan yang baik (dzurriyah toyyibah).

Dengan demikian, di antara kuliah atau nikah, keduanya adalah ibadah yang sangat dianjurkan bahkan diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tinggal bagaimana kemudian kita memantaskan diri menjalani hidup dengan seimbang, sehingga tidak ada ketimpangan.

Tentu pilihannya bukan menikah muda namun dangkal keilmuan, ataupun hanya memikirkan kuliah dan mengejar gelar tanpa mempersiapkan diri untuk mengganti status. Karena hidup adalah pilihan, pilihlah yang terbaik menurut kehidupan kita kedepannya.

Leave a Response