Snouck Hurgronje bukan tokoh yang asing dalam ranah kajian sejarah Indonesia, seorang sarjana Barat (orientalis) yang sempat mengelabui penduduk Hindia-Belanda. Ia mendaku sebagai seorang syekh, mengganti namanya menjadi “Abdul Ghafar”, dan berhasil menikahi mojang Sunda.

Tidak semua kekuatan mampu dilumpuhkan menggunakan senjata. Pemerintah kolonial akhir abad 19 M berpikir keras, mencari solusi meluluh-lantakkan muslim politik yang tidak takut mati, dengan jargon jihad: “Cinta tanah air adalah bagian dari iman”. Pemerintah Belanda butuh ahli siasat, meski telah memiliki banyak penasahat, namun yang terkenal hanyalah Snouck Hurgronje.

Snouck, Sang Intelijen Ulung

Christian Snouck Hurgronje pertama kali menginjakkan kaki di tanah jajahan Hindia-Belanda pada 18 Mei 1889. Sebelum bertugas, ia telah lebih dulu mengamati komunitas Jawi di Mekah, selama kurang lebih empat tahun.

Tempat tujuannya di Hindia-Belanda adalah Bogor, di mana kantor K.F. Holle berada, seorang Belanda yang sejak kecil bermukim di Bogor dan menjabat sebagai Penasihat Kehormatan Belanda untuk urusan-urusan pribumi. Garut menjadi sasaran perhatian pertama Snouck, tentu atas rekomendasi dari Holle dan dibantu Mohammad Moesa, penghulu Garut sekaligus ipar Holle.

Tiba di Garut, Snouck diperkenalkan dengan Hasan Moestapa, ulama tempatan alumnus Mekah yang menjadi informan setia Snouck. Hasan Moestapa menemani penjelajahan intelektual dan intelejen Snouck mengelilingi pulau Jawa: Ponorogo, Surakarta, Yogyakarta, dan basis-basis Muslim lainnya.

Hasan Moestapa menerangkan secara detail tentang bagaimana Islam ditransmisikan: dari Mekah ke Hindia-Belanda, dari kiai ke santri. Ia juga menginformasikan terkait amaliyah yang dipraktikkan muslim tanah air, bidang kepakaran masing-masing tokoh sentral, lengkap dengan kitab-kitab yang digunakan proses pedagogis. (Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan, 2012: 165-167).

Selain Hasan Moestapa yang berhasil direkomendasikannya menjadi Penghulu Kutaraja Aceh, dan Priangan, ada banyak nama informan yang berhasil menjalin hubungan dekat dengan Snouck. Termasuk Teuku Umar yang berbalik arah. Capaian tertinggi Snouck tidak lain adalah sebagai penasehat handal menaklukkan Aceh, setelah memata-matainya selama tujuh bulan (Juli 1891-Februari 1892).

Kesuksesan penyerangan militer yang dipimpin J. B. Van Heutsz terhadap masyarakat Aceh, melambungkan nama Snouck. Rekomendasi kebijakan militer Snouck ini terdokumentasi dalam karya besarnya, dua jilid tebal berjudul The Acehnese (1960). Melalui The Acehnese, Snouck mengungkap segala seluk beluk terkait keagamaan, sosial, politik, dan kebudayaan masyarakat Aceh.

Snouck menarik kesimpulan, meski Islam dan doktrin jihad telah mengakar, namun penganutnya tidak bisa lepas dari tuntunan dan tuntutan adat yang seakan mengikat. Bahkan kedudukannya lebih ditinggikan dibanding hukum Islam. Keduanya terpisah dan turut memicu terjadinya konflik.

Sama seperti di Jawa dan Sumatera Barat, antara ulama pesantren dan penghulu; antara kaum Paderi dan kaum Adat. Perseteruan ulama dan uleebalang ini terjadi di Aceh, dan dimanfaatkan oleh politik adu domba kolonial. (Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan, 2012: 169-171).

Kegelisahan terhadap Huruf Melayu-Jawi

Penggunaan huruf Melayu-Jawi diklaim telah ada sejak abad ke-14 M. Bukti tinggalan arkeologis mengenai ini berupa Batu Bersurat Terengganu-Malaysia, bertanggal 4 Rajab 702 H / 22 Februari 1303 M. Istilah huruf Jawi tidak terbentuk di pulau Jawa dan bukan menunjukkan orang Jawa, tetapi Nusantara secara umum, di Jawa memiliki karakter tersendiri: huruf Pegon. (Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, 2009: 290-291).

Pemerintah kolonial berusaha keras membuat aturan tersendiri tentang penulisan huruf Melayu-Jawi. Sarjana terkenal yang mengurusi persoalan yang disebut Snouk ini antara lain, Van Ophuysen, Gerth van Wijk, dan Habbema. Problem ini dibicarakan Snouck dalam surat yang ditulisnya di Betawi, 30 Oktober 1894.

Snouck menasihatkan, bahwa tata aturan tulisan Melayu yang dibuatkan pemerintah demi keseragaman dan kepentingan politik, tidak memberi pengaruh banyak. Orang Melayu akan menulis dengan cara mereka sendiri, seperti yang telah mereka dapatkan secara turun temurun, berabad-abad.

Orang Malayu tetap akan menulis tanpa keseragaman, tetapi lekas terbaca dan dipecahkan teka-tekinya dalam waktu singkat. Misalanya kata “terlalu”, ditulis (ترللو) dan ada yang menulis (ترلالو).

Fakta ini membingungkan pegawai kolonial dan pelajar pribumi yang telah belajar bertahun-tahun di sekolah pemerintah. Snouck menyebut: “Dan kebiasaan yang ada ini tidak dapat kita hapus, dan bahkan tidak dapat kita rubah”. (E. Gobee dan C. Andriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje, 1994: 1897-1902).

Belanda Phobia Kitab-kitab Melayu

Snouck berkerja sebagai pengamat dan penasihat yang bertanggung jawab terhadap pemerintah Belanda dalam mengambil keputusan. Pemerintah Hindia-Belanda sangat menakuti gerakan Islam politik, sehingga semaksimal mungkin mereka harus bisa membaca detail pergerakan muslim. Tidak hanya itu, setiap karya yang beredar, dibaca, dan dipelajari masyarakat tidak lepas dari pengawasan dan pemeriksaan pihak pemerintah.

Belanda khawatir bila ajaran-ajaran jihad disuntikkan melalui buku-buku berbau agamis berbahasa Melayu. Sikap ini terungkap lewat nasihat Snouck melalui surat yang ditulisnya di Batawi, 29 September 1894, ditujukan kepada Direktur Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan. Snouck menerangkan dua karya yang dikirimkan kepadanya, Sair al-Salikin karya Abdul Samad al-Falimbani dan al-Manhaj al-Masyru’ karya Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Kedua karya ulama Nusantara tersebut telah diperiksa Snouck, karya pertama ia menilai: “kitab ini tidak memiliki arti politik khusus” dan untuk karya kedua dia berkomentar: “berisi peringatan keras terhadap orang-orang Minangkabau sebangsanya, agar segera menghapus hukum waris kemanakan mariarkat yang terkenal itu.” (E. Gobee dan C. Andriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje, 1994: 1993-1994).

Karya pertama tidak menjadi problem bagi pemerintah Belanda, tetapi karya kedua dapat membuat kondisi serba-salah. Satu sisi, Belanda tidak ingin dianggap intoleran terhadap pemberlakuan syariat Islam, sedangkan pada sisi lain, mereka menaruh perhatian dan kedekatan terhadap kaum adat Minangkabau.

Lain dari itu, surat penjelasan Snouck yang panjang lebar terkait kitab Melayu ditulis di Betawi, bertanggal 25 Maret 1897, dan ditujukan kepada Residen Lampung. Dalam surat ini Snouck menerangkan satu persatu kitab yang pernah diserahkan kepadanya untuk diperiksa dan sebagian diduplikasi.

Snouck membagi penjelasan surat ini dalam 25 bagian, yang diberi huruf romawi I-XV. Campur aduk di dalamnya antara kitab Arab dan Melayu; dan secara gelondongan pula dari segi spesifikasi keilmuan dan materi yang terdapat di dalamnya. Paling tidak, ada sekitar 20 kitab berbahasa Melayu yang ia sebutkan.

Beberapa di antaranya: Furu al-Masa’il, Sifat Dua Puluh, Bulugh al-Maram karya Daud al-Fatani, Masail al-Mubtadi dan al-Nur al-Mubin karya Zain al-Fatani; Tanbih al-Ghafilin sebuah karya anonim, Fawaid al-Abrad, Lam’at al-Aurad, Mujarrabat al-Arabiyah karya Wan Ali Kelantan, Taj al-Muluk karya Tengku Abbas Kutakarang, Hukum Jima’ karya Ahmad Kemal Pasya. (E. Gobee dan C. Andriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje, 1994: 2004-2018).

Realita demikian menunjukkan perhatian Snouck yang besar terhadap karya-karya Melayu-Jawi. Dari tangan Snouck inilah barangkali perpustakaan Leiden mendapat pasokan koleksi. Martin van Bruinnessen berdasarkan penelitiannya 1986-1990 menyebutkan ada sekitar 22% karangan berbahasa Melayu dari 1000 kitab yang berhasil dikoleksinya. (Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, 1999: 134).

Kitab Melayu Bernada Propaganda

Selain al-Manhaj al-Masyru’ yang kritis terhadap hukum adat Minang, sebuah karya Ahmad Khatib Minangkabawi yang tidak lepas dari perhatian Snouck adalah kitab Dauj al-Siraj. Kitab Melayu ini sebenarnya tentang Isra dan Mi’raj nabi, tetapi isinya sangat kontekstual dan kritis terhadap pemerintah. Snouck mereview sebagian dari isi kitab ini.

Di dalamnya, Ahmad Khatib menyindir keras orang-orang pribumi yang belum memahami Islam dengan benar, begitu mudahnya bergaul dengan orang “kulit putih” (Belanda). Padahal orang berkulit putih itu akan membuat orang Melayu ragu-ragu terhadap ajaran Islam, terutama tentang Isra Mi’raj.

Ahmad Khatib memberi “cap” kepada mereka sebagai orang yang murtad, amal ibadahnya sia-sia, dunia akhirat menjadi orang yang merugi, celaka, dan bakal masuk neraka. Ahmad Khatib juga menanamkan sikap anti Kristen. Menurutnya, orang Kristen sudah mengetahui semua itu penyelewengan, mereka tidak akan menerima orang-orang pribumi yang sejatinya telah mengkhianati agamanya sendiri.

Lebih keras lagi Ahmad Khatib menfatwakan bahwa jenazah orang yang berpihak dan menjadi kaki tangan Belanda tidak wajib disalatkan dan dimakamkan di perkuburan muslim, melainkan lebih pantas di leparkan ke anjing.

Snouck menilai, Ahmad Khatib satu di antara orang yang teguh, menentang Belanda, dan anti Kristen. Kendati demikian tidak perlu ditakuti, karena jumlahnya sangat kecil. Penentangan itu bukan sesuatu yang baru, hanya gaya bahasanya yang lebih keras.

Ia menasihati pemerintah Belanda agar selalu mengawasi Ahmad Khatib dan pengikut-pengikutnya dikhawatirkan membangun gerakan politik. Terkait dengan karya-karyanya, tidak perlu diperhatikan, dan sangat baik untuk menjadikannya sebagai arsip di perpustakaan. (E. Gobee dan C. Andriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje, 1994: 2062-2064).

Leave a Response