Gus Dur adalah belantara makna yang seakan tak pernah habis digali. Sudah tak terhitung kajian yang dilakukan terhadap sosok dan pemikirannya dalam berbagai dimensi. Maklum, Ia memang dikenal sebagai manusia dengan sejuta dimensi.
Di satu sisi ia adalah agamawan, tapi di sisi lain ia juga tampil sebagai politisi, budayawan, filosof, bahkan juga aktivis gerakan masyarakat sipil. Di tengah berbagai dimensi yang beragam tersebut, tidak banyak orang menyadari bahwa Gus Dur adalah seorang feminis.
Gender adalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan oleh
konstruksi sosial. Ia merupakan konstruksi sosial, maka gender akan berbeda pada wilayah dan
kondisi yang berbeda, dan dapat berubah karena keadaan sosial dan budaya.
Pandangan Gus Dur terhadap kesetaraan gender sangat menarik dikaji. Selain peduli terhadap perdamaian, pluralisme, demokrasi, dan pembelaan terhadap kaum minoritas, Gus Dur juga peduli dengan hak asasi perempuan Indonesia. Gus Dur memiliki pemikiran yang sangat fundamental bagi terwujudnya kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki.
Pemikiran feminis dan pembelaan Gus Dur terhadap perempuan tergambar melalui pandangannya terhadap relasi gender yang di Indonesia dianggap masih timpang. Pandangan tersebut menjelaskan adanya dua garis besar dalam pemikiran Gus Dur terhadap persoalan bangsa, yakni pluralisme dan pembelaan.
Pluralisme merupakan pandangan yang mengakui kemajemukan realitas. Gagasan yang dimaksudkan adalah dalam rangka menciptakan kesepemahaman, toleransi dengan tujuan membentuk masyarakat plural produktif.
Sedangkan pembelaan merupakan komitmen keberpihakan terhadap kaum tertindas, terpinggirkan dan menjadi korban ketidakadilan. Pemikiran Gus Dur yang banyak tertuang dalam tulisan dan tuturannya hampir selalu berangkat dari perspektif korban, terutama bagi kalangan minoritas agama, gender, etnis, warna kulit, dan kelas sosial.
Sebagai tokoh pluralis, Gus Dur menganggap diskriminasi merupakan persoalan utama yang menghambat pembangunan harmoni relasi gender. Perlawanan terhadap diskriminasi, termasuk diskriminasi gender, inilah yang terus menjadi concern Gus Dur.
Komitmen gender Gus Dur terdokumentasikan dalam beberapa produk hukum ketika beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia tahun 2000. Yang pertama adalah memperkenalkan kata gender di GBHN 1999-2004, dijabarkan dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004.
Duet Presiden dengan Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri urusan pemberdayaan perempuan ini juga menerbitkan Inpres no. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (PuG/Gender Mainstreaming).
Pengarusutamaan gender bertujuan untuk terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional perspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selain itu, pembelaan dan keberpihakan Gus Dur terhadap perempuan dilakukan dalam berbagai tindakan nyata. Tindakan-tindakan tersebut antara lain, penyusunan Racangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang disahkan pada masa pemerintahan Megawati, perlawanan terhadap penggunaan agama untuk pembenaran perilaku diskriminatif, perlawanan terhadap fatwa haram mengenai kepemimpinan perempuan, serta mendorong penerapan kebijakan affirmative action untuk perempuan di kancah politik.
Tidak hanya itu, sikap feminismenya, misalnya, ia tunjukkan juga dalam penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) pornografi dan pornoaksi, karena RUU tersebut justru berpotensi menjebak perempuan dalam dilema peran sosial. Pornoaksi dan pornografi bisa dilakukan dan terjadi pada siapa pun, bukan hanya perempuan. Sedangkan pada RUU tersebut pembatasan justru banyak dilakukan terhadap perempuan.
Lebih nyata lagi pembelaan Gus Dur kepada Inul Daratista yang berkonflik dengan Roma Irama, langkah ini menimbulkan kontroversi. Pembelaan tersebut dilakukan bukan karena Inul sebagai biduan dangdut, tetapi sebagai perempuan yang sedang menunjukkan eksistensinya.
Pemikiran dan tindakan nyata tersebut membuktikan bahwa Gus Dur merupakan pembela hak asasi perempuan dan menjadi bagian penting dari gerakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan Indonesia.
Gus Dur boleh pergi menghadap Sang Khalik secara lahiriah, namun nilai-nilai universal yang menjadi bagian dari hidupnya tetap dipertahankan dan diperjuangkan. Untuk itu para feminis dan perempuan Indonesia harus menjaga, mengembangkan dan membumikan pemikiran almarhum tentang hak-hak perempuan Indonesia, terutama dalam hal kesetaraan gender.
Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk terus mengampanyekan pemikiran feminis yang berakar pada khazanah pemikiran dan tradisi ke-Indonesia-an.