Pada umumnya terdapat dua macam zakat, yaitu zakat fitrah yang dikeluarkan saat Ramadan dan zakat mal (harta) yang dikeluarkan atas harta yang dimiliki oleh individu dengan berbagai syarat dan ketentuan tertentu. Dalam Islam, selain sebagai bentuk keshalihan ritual, praktik zakat juga dikenal sebagai perwujudan dari keshalihan sosial khususnya dalam mengurangi angka kemiskinan.

Namun, pemberian zakat masih dipahami sebagai bantuan sekali pakai kepada mustahik (penerima zakat) dan habis begitu saja, terutama dalam hal zakat harta. Fenomena tersebut menjadi salah satu permasalahan yang dipandang oleh Kiai Sahal Mahfudz sebagai ketimpangan sosial dan harus diatasi dengan sistem pengelolaan zakat yang berjalan sesuai bimbingan dari segi syariah maupun perkembangan zaman.

Jauh sebelum UU Pengelolaan Zakat 1999 dicetuskan dan sistem pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga zakat kontemporer bermunculan, Kiai Sahal sudah menjadi pelopor penggerak pengembangan aset zakat atau yang lebih dikenal dengan zakat produktif.

Menurut Kiai Sahal, zakat menjadi salah satu instrument penting dalam pengentasan kemiskinan. Kata produktif secara bahasa berasal dari bahasa Inggris “productive” yang berarti banyak menghasilkan, memberikan banyak hasil, banyak menghasilkan barang-barang berharga, yang mempunyai hasil baik.

Dalam bukunya Nuansa Fikih Sosial, Kiai Sahal menyatakan perlunya model basic need approach (pendekatan kebutuhan dasar) bagi para mustahik sebagai bentuk aplikasi zakat produktif ini. Untuk mewujudkan itu semua, maka pembagian zakat harus ditatakelola dengan cara melembagakan zakat itu sendiri. Penataan ini juga menyangkut aspek managemen modern yang dapat diandalkan sehingga zakat menjadi kekuatan yang bermakna.

Yang dimaksud Kiai Sahal tentang aspek managemen zakat yakni pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembagian, dan yang menyangkut kualitas manusianya. Semua hal ini mampu tercapai jika pengelolaan zakat direalisasikan ke dalam lembaga resmi, bukan individu atau perorangan yang tidak jelas kredibilitasnya. Model pengelolaan zakat melalui lembaga profesional tentu akan membawa zakat kepada fungsinya yang tepat sasaran dalam menyejahterakan umat.

Menurut Kiai Sahal, fakir miskin harus dilatih secara intensif supaya mempunyai kesadaran dalam membuka usaha dan mengelolanya secara professional. Kesadaran dari dalam harus ditumbuhkan terlebih dahulu supaya mampu menggunakan uang secara produktif. Pembinaan dan pelatihan ini harus dilakukan oleh tim ahli sehingga hasilnya sesuai dengan harapat dan target.

Bagi Kiai Sahal, amil menjadi kekuatan utama dalam mengelola harta zakat. Amil harus melaksanakan tugasnya dengan profesional, memiliki tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, amanah dan jujur. Keterampilan seorang amil tercermin dari pola pengelolaan yang tidak hanya terbatas pada penyaluran harta zakat saja, namun pemberdayaan secara berkala bagi para mustahik.

Dengan demikian, amil memiliki fungsi signifikan dalam merancang program pengelolaan zakat dari yang bersifat consumtive-oriented kepada produktive-oriented.

Pada akhirnya, harus selalu ada berbagai upaya agar zakat benar-benar membudaya dalam lingkungan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Nasaruddin Umar menambahkan bahwa kemajuan pengelolaan zakat mencerminkan pertumbuhan kesejahteraan ekonomi dan pendapatan masyarakat yang terukur dari sisi tanggung jawab sosial orang-orang kaya terhadap kaum dhuafa. Budaya zakat juga mempunyai korelasi positif dengan keseimbangan perekonomian negara.

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English

Leave a Response