Pada suatu ketika Abdullah ibn Mubarak menunaikan ibadah haji. Seusai thawaf dan sholat di Hijr Ismail, ia tertidur dan bermimpi berjumpa dengan Baginda Rasulullah ṣallallahu alaihi wa sallam.

Dalam mimpinya, ia melihat Baginda Rasulullah ṣallallahu alaihi wa sallam berpesan kepadanya, “Wahai Abdullah ibn Mubarak, ketika engkau selesai menunaikan ibadah haji dan pulang ke Baghdad, datanglah ke sebuah desa. Carilah seseorang yang bernama Bahram. Sampaikan salamku padanya. Katakan kepadanya, Allâh ridla kepadamu.”

Lalu Abdullah ibn Mubarak terbangun seraya bergumam: “La hawla wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim.” Ia menyangka mimpi itu datang dari syaitan. Kemudian ia bergegas untuk berwudlu, thawaf dan shalat hingga kelelahan dan tertidur lalu bermimpi.

Kejadian itu terulang sampai tiga kali. Karena itu, Abdullah ibn Mubarak memantapkan hatinya bahwa mimpi itu adalah ar-ru’ya aṣ-ṣalihah yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Setelah menunaikan seluruh rangkaian ibadah haji, Abdullah ibn Mubarak bergegas melaksanakan wasiat itu sebelum kembali ke kampung halamannya. Ia datangi sebuah desa yang disebutkan Baginda Rasulullah ṣallallahu alaihi wa sallam dalam mimpinya. Setelah bertanya kepada beberapa penduduk desa, sampailah ia pada sebuah rumah yang cukup megah.

Di rumah itu, ia berjumpa dengan seorang kakek tua. Ia lantas bertanya, “Apakah anda orang yang bernama Bahram al-Majusy?” Kakek tua itu menjawab dengan lugas, “Benar.” Ia lalu memperkenalkan diri dan menceritakan kedatangannya mencari seseorang yang bernama Bahram al-Majusy.

Untuk memantapkan kebenaran mimpinya itu, Abdullah ibn Mubarak mengajukan beberapa pertanyaan kepada Bahram al-Majusy, “Apakah engkau mempunyai kebaikan di sisi Allah yang bisa engkau ceritakan kepadaku?” Bahram menjawab, “Ya. Saya mempunyai empat anak perempuan dan empat anak laki-laki. Aku menikahkan masing-masing di antara mereka.”

Abdullah ibn Mubarak berujar, “Bukan. Itu haram di sisi Allah. Adakah selain itu?” Bahram pun menimpali, “Tentu. Aku mengadakan pesta yang besar untuk orang-orang Majusi dalam pernikahan mereka.” Abdullah ibn Mubarak berkata, “Itu juga bukan, kakek.”

Abdullah ibn Mubarak lalu mengajukan pertanyaan yang lain, “Adakah kebaikan yang lain lagi?” Bahram termenung sesaat kemudian menjawab, “Ya. Mungkin ini kebaikan menurut Tuhanmu. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang menjadi kembang desa. Tiada seorangpun lelaki yang sepadan dengannya. Akhirnya, aku nikahi dia.

Pada malam pertama, aku mengadakan pesta besar. Aku mengundang tidak kurang dari seribu orang Majusi.” Abdullah ibn Mubarak terperanjat, “Kakek. Ini lebih parah lagi. Mungkinkah ada yang lain?”

Dengan ragu Bahram menjawab, “Ada satu lagi. Pada malam setelah pesta usai, seorang wanita yang sama agamanya denganmu datang kepadaku meminta api untuk menyalakan lampunya. Lalu ia bergegas pergi, memadamkan apinya dan kembali lagi. Hal itu berulang sampai tiga kali. Aku curiga kepadanya.

Dalam hati aku bergumam, “Bisa jadi, orang ini adalah mata-mata pencuri”. Kemudian aku mengikutinya. Sesampai di rumahnya, aku melihat dia menjumpai anak-anak perempuannya. mereka merengek seraya berujar, “Wahai ibu, adakah engkau membawa sesuatu untuk bisa dimakan? Kami tidak lagi mempunyai kekuatan dan kesabaran untuk menahan lapar.”

Kemudian kedua mata perempuan itu berlinang air mata dan berkata, “Wahai putri-putriku, aku malu untuk meminta kepada selain Tuhanku, terlebih kepada musuh-Nya, orang Majusi itu.”

Setelah mendengar percakapan mereka, aku bergegas pulang dan mengambil talam. Aku penuhi talam itu dengan berbagai makan dan aku antar sendiri ke rumahnya. Mereka bergembira karena itu. Seraya bertasbih dan menahan haru,

Abdullah ibn Mubarak berujar, “Ini baru kebaikan. Selamat. Anda berhak menerima kabar gembira. Dalam mimpiku saat ibadah haji di Masjidil haram, Baginda Rasûlullâh ṣallallâhu alaihi wa sallam menitipkan salam untukmu.” Seketika itu, Sang Kakek, Bahram al-Majusy berkata, “Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh.” Sesaat setelah bersyahadat, ia tersungkur dan meninggal dunia.

Abdullah ibn Mubarak kemudian memandikan jenazahnya, mengkafani, menshalatkan dan memakamkannya. Setelah semua rangkaian pamulasaran selesai, Abdullah ibn Mubarak berkata kepada khalayak, “Wahai hamba-hamba Allah, bermurah hatilah kepada sesama ciptaan Allah. Karena kemurahhatian bisa mengubah musuh pada derajat kekasih.”

Sumber:   Kitab Qâmi’ at-Tughyân alâ Syarh Mandhûmah Syu’ab al-Îmân karya Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantaniy al-Jâwiy.

Artikel ini juga tersedia dalam Bahasa Inggris

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English

Leave a Response