“Semesta adalah bak cermin yang memantulkan kesempurnaan cinta. Wahai sahabat, pernahkah kau lihat bagian yang lebih besar dari keseluruhannya?”

Jalaluddin Rumi, yang oleh para pengagumnya dijuluki sebagai maulânâ (our master)—dalam bahasa Turki, ia sering dijuluki dengan mevlaâna atau maulawi—merupakan sesosok agung dalam dunia spiritual Islam. Namanya tak bisa dipisahkan dari konsep-konsep sufisme yang menebarkan ajaran cinta kepada Tuhan dan kepada sesama umat manusia.

Rumi meninggalkan tulisan-tulisan yang selalu subur nan abadi di dalam dunia sufisme. Ia menulis karya-karya tersebut dalam dua bentuk; prosa dan puisi (nazam). Dalam buku Mystical Dimensions of Islam, Annemarie Schimmel menyebutkan bahwa Rumi menulis lebih dari tiga puluh ribu puisi, dua puluh ribu diantaranya terdapat dalam bukunya yang berjudul Mathnawi.

Puisinya memiliki ciri-ciri khusus yang tak kita dapati oleh penyair-penyair sufi yang lain; ia sering memulai puisinya dengan  menggunakan kisah-kisah, tetapi adanya kisah ini bukan berarti bahwa Rumi ingin menulis puisi yang bersifat naratif. Kisah-kisah ini ia tuliskan hanya untuk dijadikan alat pernyataan pikiran dan ide-ide saja.

Ajaran cinta yang diukirkan Rumi dalam puisi-puisinya mengingatkan kita kepada dimensi terdalam ajaran agama Islam; dimensi esoterik. Ia mengajarkan bahwa keberagaman yang terdapat pada tataran dunia bentuk (a world of forms) tidak begitu transenden. Artinya, ada hal yang harus kita sadari lebih dalam dibalik adanya keberagaman bentuk-bentuk tersebut, yaitu esensi yang tak berbentuk (the formless essence), atau ‘yang esoterik’.

Ajaran ini tercerminkan dari salah satu puisi Rumi yang masyhur:

Kutemukan beragam benuk lampu
Namun cahayanya adala satu
Saat kulihat lampu dengan teliti
Aku temukan sebuah esensi.

Tentunya, ajaran-ajaran seperti ini tidak hanya terdapat dalam puisi-puisi Rumi saja. Sang sufi agung yang hidup sebelum Rumi, dan dijuluki sebagai Syaikh al-akbar, Ibn Arabi, dalam beberapa tulisannya, ia juga senada dengan Rumi. Pun demikian halnya dengan Al-Jili.

Apa itu cinta? bagi Rumi, cinta itu terlalu besar hingga ia tak bisa diletakkan dalam sekat-sekat pendefinisian. Bagiamana ia mau didefinisikan jika sesungguhnya seluruh wujud dan kehidupan ini adalah cinta? kata Rumi:

“Cinta tak dapat ditampung dalam kata-kata yang kita ucapkan atau kita dengar. Cinta adalah samudra yang kedalamannya tak dapat diukur, di dalam samudra, tujuh lautan bukanlah apa-apa”

Menurut pemikir Islam kontemporer asal Iran; Seyyed Hosein Nasr, agama cinta yang diusung oleh Jalaluddin Rumi merupakan doktrin tauhid tertinggi dan unik, karena ia hanya memfokuskan kepada kesatuan hamba dengan Tuhannya.

Cinta yang semacam ini bukan semata-mata emosi atau perasaan belaka, tapi ia merupakan realisasi dari pencapaian makrifat, suatu pengetahuan  spiritual tentang kesatuan batin agama-agama (wahdat al-adyân). Menurut Prof. Nasr, di level esoterik inilah taraf mendasar spiritual agama-agama saling bertemu. Kata Rumi:

Jangan tanya apa agamaku
Aku bukan Yahudi,
Bukan zoroaster
Bukan pula Islam
Karena aku tahu,
Begitu suatu nama kusebut,
Kau akan meberikan arti yang lain
daripada makna yang hidup di hatiku

Di tempat lain Rumi mengatakan:

Agamaku adalah agama cinta
Yang senantiasa kuikuti kemanapun langkahnya
Itulah agamaku, itulah keyakinanku

Bagi Rumi, beragama jika hanya percaya kepada Tuhan semata tidaklah bisa dianggap cukup. Seseorang yang beriman menuntut adanya amal perbuatan; baik untuk Tuhannya ataupun untuk sesama.

Lebih tinggi dari sekadar iman, ada sesuatu yang dinamakan cinta. Rumi juga memandang bahwa kesatuan transenden agama-agama ditemukan dengan agama cinta, cinta yang universal.

Cinta sebagai hasil dari penyingkapan spiritual terdalam adalah agama yang melampaui bentuk-bentuk keyakinan dan agama umat manusia yang pernah ada. Agama cinta bagi Jalaluddin Rumi terpisah dari  seluruh bentuk agama, tidak terikat dengan bentuk formal agama.

Lebih lanjut, Rumi menjelaskan bahwa cinta merupakan alasan dari hakikat-hakikat sebuah eksistensi. Dengan cinta, seluruh ciptaan Tuhan dapat hidup dalam rambu-rambu harmonisasi. Karena sesuatu yang ada di alam semesta merupakan ciptaan Tuhan, maka berbuat baik kepada manusia sebagai ciptaan Tuhan dengan rasa cinta merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa dipungkiri lagi. Inilah maksud yang Nabi ajarkan sebagai implementasi Ihsân.

Dalam sudut pandang kaum sufi, seluruh makhluk hidup dipandang sebagai satu kesatuan makhluk yang berada dalam naungan kasih sayang Tuhan. para sufi sering kali mengajarkan landasan tentang  cinta dalam memandang ciptaan Tuhan.

Melalui cinta ini, para sufi meyakini bahwa mereka berada dalam naungan cinta Tuhan. Tuhan mengasihi ciptaan-Nya dengan tidak membeda-bedakan agama manusia. Rumi meyakini, bahwa memalui ajaran cinta ini ia dapat menembus sekat-sekat perbedaan diantara umat manusia dan mengembalikan tugas utamanya: kembali kepada rahmat; cinta dan kasih sayang. Kata Rumi:

“Berbuat baiklah kepada orang demi Tuhan dan kedamaian hatimu sendiri. Agar selalu kau lihat apa-apa yang suci, dan kau bisa selamatkan hatimu dari gelap kebencian.”

Apa yang dimaksud Rumi di dalam puisi-puisinya tidak lain hanyalah sebuah ungkapan mendalam terkait pengalaman alam bathinnya. Ini yang kemudian dikenal dengan ranah esoterik di dalam sebuah ajaran agama.

Dalam tahapan ini, Rumi telah menembus sekat-sekat eksoterik (zahir) ajaran agama Islam. Ia tidak lagi berurusan dengan forma, bentuk, tradisi-tradisi dan ritual-ritual yang bersifat seremonial belaka. Namun, bukan berarti dengan hal ini Rumi meninggalkan syariat-syariat Islam yang telah disepakati oleh konsensus ulama.

Menurut Prof. Nasr, Rumi hanya ingin mengungkapkan esensi dari semua ritual-ritual keagamaan, esensi yang manusia tuju dari ritual-ritual tersebut bukanlah sekedar pencapaiannya kepada Sang Maha Esa, tetapi lebih dari itu; bisa merasakan kaindahan dan keagungan Yang Maha Esa melalui kacamata cinta, dan kemudian mengejawantahkannya kepada seluruh ciptaan-Nya.

Dari sini, bisa kita ajukan pertanyaan yang sedikit menggelitik; bukankah Islam adalah ajaran yang menebarkan kasih sayang (rahmat)? Bukankah sîrah  Nabi Muhammad SAW tidak lain dan tidak bukan adalah manifestasi dari ajaran rahmat itu sendiri? Firman Allah: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam semesta.” (Al-Anbiya:107)

Leave a Response