Setelah kami rampungkan Cemetary Gates-nya Pantera, kawan saya yang menganut Advent itu tersenyum. “Sana! Kamu salat dulu. Saya tunggu di sini.” Saya pun keluar dari studio untuk membasuh muka dengan air wudu, salat, mencari keheningan batin dengan berzikir.

Azan maghrib telah berkumandang. Hanya samar terdengar dari ruang kecil berperedam. Barangkali, di musala-musala, orang sedang bersujud dan atau mengaji, begitu khusyuk dan tenang, sementara saya di sini malah sibuk menjaga permainan dan konsentrasi: suatu permainan musik keras dengan ritme berkecepatan tinggi. Namun, di antara kami dan mereka, ada tirai besar yang tak seorang pun dapat saling menjangkau: itulah rahasia.

Dengan langkah gegas, saya menuju sebuah petak, sebuah ruangan yang amat kecil. Si empunya rumah barangkali bercita-cita menyebutnya musala, tapi kok rasa-rasanya tak cukup jika digunakan untuk jamaah meskipun cuma berdua. Adanya sajadah sudah bernilai lumayan, sih, daripada ubinnya berdebu pertanda tak pernah dipakai. Di sana, telinga yang sebelumnya pekak dan dada yang sedari tadi bergolak, perlahan-lahan, berangsur tenang kembali.

Sesudah itu, saya kembali untuk menyelesaikan urusan “Antisocial” dengan Anthrax dan membereskan hal-hal serius lainnya dengan Megadeth. “Peace sells, but who’s buying?” Terbayang muka si Dave dengan bibir mencibir. Suaranya berdarah berlumur satire. Ia seperti sedang meledek kami yang berdandan tapi hatinya rapuh, mudah retak dan masir.

Sound control dinyalakan. Potensio dinaikkan. Drummer mengawal ketukan dengan aba-aba stiknya. Terjadilah gemuruh sekaligus. Maka, ketika dawai gitar telah kembali dicabik, senar bass kembali dibetot, drum kembali digebuk, juga vokalis kami kembali menggeram, kepala yang dingin sontak memanas.

Bagaimana mungkin di ruangan yang sempit ini kami bermain musik dengan beringas? Untunglah, hiruk-pikuk diselamatkan oleh harmoni nada-nada sehingga emosi tetap dapat dijaga. Ruangan ini pun mendadak luas rasanya.

Sepukul dua pukul, saatnya kami jeda.

Kawan, terlintas dirimu di dalam benak; sedang apa engkau di sana? Semoga hanya ada Yang Satu dalam salatmu, tak diusik bayang kekuasaan, kebencian, dan bahkan uang. Jika dalam ibadah engkau begitu, maka seluruh fatwa dan kata-kata indahmu tak akan kalah berisiknya daripada suara kami, bahkan mungkin lebih menyedihkan: berisik yang sumbang karena dikelabui kakofoni.

Sibuklah bertakbir, bukan takfir. Sesungguhnya, seorang fakir itu adalah dia yang dalam segala urusannya terlepas dari zikir.

Leave a Response