Pernahkah kita merenungi jika pemaknaan ikhlas versi KBBI terhadap nama surah al-Ikhlas tidaklah tepat? Dalam konteks hari ini, penggunaan kata ikhlas cenderung bermakna “kerelaan”, seperti dalam percakapan “Ikhlas ngga nih”, “aku ikhlas, kok”. Hal ini tidak sesuai dengan kandungan surat al-Ikhlas itu sendiri yang berbicara tentang keesaan Tuhan.
Surah al-Ikhlas merupakan salah satu surat yang sangat dianjurkan untuk dibaca oleh Nabi Muhammad. Bahkan dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa surah al-Ikhlas adalah sepertiga dari Alquran. Jadi apabila kita membaca tiga kali surat tersebut maka pahalanya sama dengan membaca seluruh Alquran
Di sisi lain, surat ini juga dibaca di banyak momen, seperti tahlilan, wirid setelah salat, ataupun sebagai bacaan untuk mengawali khataman Alquran. Oleh karena itu, surat ini sangat familiar di seluruh lapis masyarakat, baik anak kecil, kaula muda, orang tua, maupun di kalangan si mbah-mbah.
Mengetahui makna lafaz atau kata al-Ikhlas di era Nabi Muhammad menjadi penting karena akan menghasilkan makna yang hampir mendekati aslinya. Tidak bisa, kemudian, terminologi hari ini dipakai untuk memaknai Alquran, yang diturunkan 14 abad yang lalu, karena banyak kemungkinan akan menghasilkan salah tafsir yang disebabkan perkembangan bahasa. Mari kita lihat!
Surah al-Ikhlas merupakan surat ke-112 dalam susunan tartib mushafi. Kata Ikhlāṣ (إخلاص) berasal dari akhlaṣa (أَخلَصَ)-yukhliṣu-ikhlaṣan-mukhliṣan. Bentuk dasar dari akhlaṣa (أَخلَصَ) adalah khalaṣa (خَلَصَ). Derivasi lafaz khalaṣa (خلص) dalam Alquran terdapat dalam 30 ayat yang tersebar dalam 17 surat.
Menurut Ibnu Manzur, dalam Lisan al-Arab, makna khalaṣa adalah sebuah keadaan yang melekat kemudian terlepas. Sedangkan Aḥmad bin Faris dalam Mu‘jam Maqayis al-Lugah mendefinisikan kata khalaṣa yakni membersihkan sesuatu dan memurnikan. Sedangkan lafaz al-ikhlas, menurut Ibn Manẓūr, bermakna kalimat tauhid (baca: mengesakan Allah).
Hal ini juga diperkuat dengan beberapa kasus di lain ayat dalam Alquran. Jika kita teliti secara saksama, isi kandungan surah al-Ikhlas dekat dengan keesaan Allah yang menjadi dasar keyakinan dalam agama Islam. Oleh karena itu, mengetahui makna derivasi lafaz khalasa yang berdekatan dengan agama (al-din) sangat diperlukan.
Terdapat 12 ayat dalam Alquran yang berkaitan dengan ini. Salah satunya adalah perintah Allah: mukhliṣīn lahu al-dīn dalam QS. Gafir [40]: 65. Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H) dan al-Samarqandi (w. 383 H) menafsirkan kata mukhliṣīn dengan kata al-muwaḥḥidīn (orang-orang yang mengesakan Allah dalam agama). Hal ini sesuai dengan konteks Arab era Nabi Muhammad yang menyembah berhala.
Selain itu, dalam syair Arab pra Islam, derivasi lafaz khalaṣa mempunyai beberapa makna. Pertama, digunakan untuk menyebut nama pohon. Kedua, term ini juga untuk menyebut pakaian orang-orang Syam. Baju pakaian orang-orang syam yang diperindah dengan warna bahu hijau, lengan dan bawahan yang berwarna putih. Ketiga, dikatakan juga bahwa setiap sesuatu yang putih itu bermakna khāliṣ. Keempat, air yang jernih atau bersih. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa di era pra Islam, kata kh-l-sa bermakna memurnikan atau menyucikan yang kemudian digunakan Allah untuk membahas agama ketika pewahyuan Alquran kepada Nabi Muhammad.
Dari di sini dapat disimpulkan bahwa nama surah al-Ikhlas bermakna tauhid. Maksudnya adalah menauhidkan tuhan dalam agama kita, agama Islam. Dengan makna seperti ini, maka makna lafaz al-ikhlas dengan isi kandungan suratnya menjadi selaras; koheren; tidak bersebrangan, bukan bermakna rela.
Adapun makna versi KBBI tersebut agaknya diambil dari makna ikhlas yang berkembang di abad pertengahan. Sebagaimana yang dikatakan oleh para mufasir seperti al-Baidawi, al-Alusi, al-Nasafi, dan Abu Hayyan al-Andalusi yang menyatakan bahwa mukhlisin lahu al-din bermakna taat beribadah dan tidak riya’ yang berarti kita melakukan sesuatu semata-mata murni karena Allah.
Pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kasus kesalahan pemaknaan di atas adalah bahwa untuk mempelajari Alquran, tidak hanya membutuhkan kemampuan bahasa yang baik, tetapi juga mengetahui kaidah-kaidah menafsirkan dan memahami Alquran. Lebih khususnya, ilmu bahasa dan sejarah. Ilmu bahasa yang penulis maksud, bahasa secara umum, bukan hanya bahasa Arab. Demikian juga dengan sejarah, bukan saja tentang sejarah Alquran dan Islam, tetapi ilmu sejarah yang lebih luas.