Pidato “Visi Indonesia” oleh presiden terpilih, Joko Widodo, pada 14 Juli kemarin menghadirkan optimisme dan harapan. Dalam pidato tersebut, ada 5 program kerja sasaran prioritas yang disampaikan; melanjutkan pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM, memangkas yang menghambat investasi, reformasi birokrasi, dan penggunaan APBN tepat sasaran.

Dari kelima program kerja prioritas, pembangunan SDM harus menjadi skala prioritas tertinggi dan paling utama. Ini penting agar tagline HUT RI ke-74, “SDM Unggul, Indonesia Maju” tak sekedar slogan tanpa makna. Kegagapan penerjemahan “pendidikan karakter” dalam sejumlah program prioritas pada Jokowi jilid I tidak boleh terjadi pada periode kedua ini. Melalui tagline SDM Unggul ini, Jokowi jilid II harus benar-benar menata, melakukan reformasi secara menyeluruh terhadap dunia pendidikan kita.

Carut Marut

Pendidikan nasional kita seperti benang kusut, yang pokok masalah dari hulu ke hilir belum terurai sepenuhnya. Kebijakan masing-masing menteri seringkali tumpang tindih, saling menegasikan bukan saling menguatkan, dan tidak berkesinambungan, terutama ketika jabatan Menteri dihuni atas pertimbangan representasi partai politik.

Berdasarkan laporan PISA (Programme for International Assessment) tahun 2015 menempatkan pendidikan Indonesia berada di di urutan 62 dunia (dari 70 negara) di bidang sanis, 63 dunia di bidang matematika, dan 64 dunia di bidang membaca. Angka ini jauh di bawah Singapura, Vietnam, dan Thailand. Bahkan, UNESCO menyebutkan hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius. Karenanya, tak heran jika dalam catatan World Literacy yang dikeluarkan oleh Central Connecticut State University, Indonesia berada diperingkat 60 dari 61 negara.

Centre for Education Economics (CFEE) Annual Research Digest 2016/2017 menyimpulkan bahwa anak Indonesia tidak siap menghadapi abad 21. Anak-anak kita baru siap menghadapi dan memiliki keterapilan abad 21 (21st century essential skills) pada abad 31, yakni 10 abad mendatang. Ini artinya, kita tertinggal 1000 tahun lamanya.

Karena berasumsi dan kuatir penilaian lembaga-lembaga asing terhadap pendidikan nasional bias, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun membuat Indonesian National Assessment Programme (INAP). Hasilnya pun tidak jauh berbeda. Hanya 2,29% anak menguasai di bidang matematika, 6,06% memiliki kompetensi membaca, dan 1,01% menguasai sains.

Data riset di atas memotret beragam dinding pendidikan kita, terutama terkait kualitas pendidikan kita. Padahal, pendidikan kita sedari awal bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan garda terdepan dan shortcut untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita berada di tangan guru. Sementara itu, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) juga tak menunjukkan hasil positif, karena hanya guru di 10 provinsi yang bernilai rata-rata 56,69, dan hanya 192 dari 1,6 juta guru yang ikut UKG yang kompetensinya di atas 90.

Ini juga menjadi indikator betapa mempersiapkan guru dari hulu oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) belum sepenuhnya memuaskan. Dari 421 LPTK, hanya 18 yang terakreditasi A (2018).  Sementara itu, lulusan LPTK yang mencapai 300ribu pertahun menghadapi problem dilematis; antara kompetensi dan kualitas lulusan versus ketersediaan kebutuhan guru yang hanya mencapai 40 ribu pertahun.

Sementara itu, Research in Improving System of Education (RISE) mencatat hanya sedikit kabupaten dan kota yang memiliki inisiatif kebijakan atau program berkaitan dengan perbaikan kualitas guru (in service teacher) tingkat sekolah dasar dan menengah.

Jika demikian adanya, masihkah kita berharap terhadap pendidikan melalui tangan-tangan terampil guru di sekolah untuk menghadapi era revolusi industry 4.0?

Selain dari pada itu, problem akut lainnya yang perlu menjadi perhatian pemerintahan Jokowi jilid II ini soal akses terhadap pendidikan. Kartu Indonesia Pintar yang dijalankan oleh pemerintah hanya mampu meningkatkan Angka Partisipasi Siswa (APM) di bawah 1 persen. Untuk SD, kenaikan hanya 0,77 persen, SMP 0,87 persen dan SMA hanya 0,92 persen.

Yang tak kalah miris terkait dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dengan SPM yang lebih banyak berorientasi pada input, kita tidak bisa menutup fakta lebih dari 90 ribu ruang kelas rusak berat, hampir separuh dari 214.409 sekolah tidak memiliki perpustakaan, dan hanya laboratorium science hanya tersedia di 50ribu sekolah. Di tengah kondisi seperti ini, Mendikbud pun mengeluarkan sistem zonasi, sebuah sistem yang bercita-cita baik tapi abai terhadap fakta lapangan.

Road Map Pendidikan

Segala carut marut pendidikan di atas pertama-tama harus diakui dan perlu menjadi kesadaran bagi pemerintah, sehingga pengakuan dan kesadaran itu menjadi starting point untuk melakukan perombakan pendidikan secara menyeluruh. Tentunya, perbaikan pendidikan tak secepat membangun infrastruktur jalan toll, karena pasti membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Dalam kerangka itulah, menyusun road map pendidikan dalam skala jangka pendek, menengah, dan panjang harus dilakukan. Road map ini harus menjadi kompas ke arah mana pendidikan kita akan menuju dan capaian yang hendak diraih. Sehingga, siapa pun menterinya kelak, ia harus tunduk patuh terhadap road map yang telah ditetapkan. Dengan road map inilah, Jokowi II kelak akan meninggalkan legacy yang sangat berharga untuk perbaikan pendidikan nasional.

Dalam kerangka ini, penting kiranya untuk mengingat sejumlah pesan penting dari Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan, daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), fikiran (intelek), dan jasmani anak-anak.

Gagasan-gagasan besar Ki Hajar ihwal pendidikan yang banyak terinspirasi dari pendidikan pesantren kiranya perlu menjadi acuan menyusun road map tersebut. Terlebih, di situasi hari ini, di mana pendidikan semakin terpisah dari semangat membangun jiwa kebangsaan (nasionalisme) peserta didik. Melalui road map ini, upaya membentuk SDM Unggul dapat dimulai. Dengan cara inilah, hutang janji kepada para pendiri bangsa dapat ditunaikan: mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

 

 

 

 

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:
English

Leave a Response