Dalam berbagai kesempatan terutama setelah pindah ke kota lain, saya senantiasa mengenang Solo sebagai kamus mungil dengan lema keberagama(a)n yang komprehensif. Kota kecil itu mengetuk mata mungilku dengan hamparan peristiwa-peristiwa sederhana dan wajar tentang hidup harmoni di tengah segala macam perbedaan. Baik dalam skala personal dan ringan hingga skala masif dan esensial.
Pada tataran personal, baru setelah berkuliah di Solo, saya bersahabat karib dengan sejumlah kawan dari latar belakang agama berlainan. Kami sering menghabiskan waktu bersama tanpa mengorbankan kewajiban dan hak masing-masing sebagai pemeluk agama. Misalnya dengan meniadakan janji bertemu yang bertepatan dengan waktu salat atau beribadah di gereja.
Di luar pengalaman intim dan personal, dalam skala lebih luas, sejarah mencatat Solo sebagai kota dengan basis komunitas lokal dan keagamaan yang kuat. Dua di antaranya yang menonjol secara fisik ialah keberadaan Kampung Arab di kawasan Pasar Kliwon dan Kampung Cina (Pecinan) di Sudiroprajan. Di luar itu, banyak komunitas dengan fokus berlain-lainan tetapi tetap setia pada visi menjaga Solo sebagai kota komunal yang toleran dan inklusif.
Acara Haul Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi yang pada dasarnya identik dengan aktivitas di Kampung Arab Pasar Kliwon, kini dapat dijamah oleh publik yang lebih luas. Acara haul itu bahkan menjadi salah satu agenda Kota Solo. Dalam hal ini, tampak peran aktif pemerintah mengakomodasi kultur lokal yang sudah mandarah-daging dalam kehidupan masyarakat setempat.
Dampaknya, setiap tahun jumlah jemaah yang hadir dalam acara haul selalu membludak. Tak sedikit dari mereka berasal dari luar kota. Keramaian jemaah di Pasar Kliwon membawa dampak baik bagi banyak pihak dari berbagai latar belakang, mulai dari para pedagang yang membuka lapak selama acara berlangsung, tukang becak, ojek online, penginapan, dan lain sebagainya. Acara yang identik dengan umat Islam itu nyatanya mampu memberikan manfaat kepada banyak orang, termasuk mereka yang beragama lain.
Selanjutnya, yang tidak kalah menarik ialah gelaran Grebeg Sudiro. Agenda kebudayaan yang digelar sebagai wujud perayaan Tahun Baru Imlek itu memiliki makna keberagaman yang filosofis. Grebeg Sudiro menggabungkan budaya Jawa dan budaya Tionghoa di Sudiroprajan. Sebelum menjadi agenda kota, Grebeg Sudiro merupakan acara tingkat kampung.
Agenda kebudayaan ini berpegang teguh pada misi menjunjung keberagaman dan kebhinekaan. Pada pelaksanaannya, perayaan Grebeg Sudiro melibatkan masyarakat dari berbagai latar belakang. Ornamen yang ditampilkan selama pelaksanaan Grebeg pun sangat beragam. Masyarakat Solo, baik pendatang atau penduduk asli, dari kanak-kanak hingga lansia turut bersukacita menyaksikan gelaran Grebeg Sudiro. Salah satu keseruan yang tidak bisa dilupakan yakni saat masyarakat berduyun-duyun berebut gunungan kue keranjang.
Selain acara Haul Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi dan Grebeg Sudiro, sejumlah agenda Kota Solo juga bermula dari kultur lokal yang sarat dengan nilai keberagaman dan kebhinekaan. Beberapa di antaranya yakni Festival Imlek, Festival Hadrah, Waisakha Puja Raya, dan masih banyak lagi. Modal sosiokultural masyarakat Solo yang beragam dan kebijakan akomodatif pemerintah kota berperan besar memperteguh kohesi sosial di kota itu.
Beranjak dari agenda kebudayaan, setiap tahun publik juga tak pernah absen mendapati cerita baik lain. Sebagian jamaah Masjid Al Hikmah menunaikan ibadah salat Idul Fitri dan Idul Adha di halaman Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Dua rumah ibadah itu terletak persis berdampingan sejak 1947 silam, tepatnya sejak musala yang merupakan cikal bakal Masjid Al Hikmah didirikan. Sementara GKJ Joyodiningratan berdiri delapan tahun sebelumnya, yakni pada 1939.
Tak cuma satu dua kali pihak gereja suka rela mengundurkan jadwal kebaktian lantaran Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha bertepatan dengan hari Minggu. Pada Idul Adha 2019 silam misalnya, jadwal kebaktian pukul 06.30 ditiadakan, sementara jadwal kebaktian pukul 08.30 diundur menjadi pukul 09.00 WIB. Jemaat gereja pun bisa memahaminya. “Dalam situasi itu mereka saling menyesuaikan waktu agar bisa saling khusyuk beribadah (CONVEY Indonesia, 10 Januari 2021)”.
Umat dari kedua agama berbeda itu mewujudkan toleransi sebagai aksi nyata dalam keberlangsungan hidup bermasyarakat. Selaras dengan apa yang disampaikan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA., toleransi bukan sekadar gagasan retoris yang digembar-gemborkan melalui kata-kata di acara seminar, melainkan telah jauh melampaui itu (republika.co.id, 25 Desember 2016).
Di luar fakta-fakta keberagaman yang tampak menonjol di Kota Solo, bukan berarti kota kecil itu terbebas dari ancaman intoleransi. Pada Agustus 2020 lalu misalnya, oknum intoleran membubarkan acara keluarga di bilangan Mertodranan Pasar Kliwon dengan cara kekerasan. Mereka beramai-ramai memukul korban. Para pelaku menuding keluarga tersebut melakukan perayaan Idul Ghadir, salah satu hari besar mahzab Syiah. Padahal, acara keluarga itu merupakan acara midodareni atau doa bersama menjelang pernikahan.
Selain intoleransi, ancaman terorisme dan kekerasan ekstremisme juga membayangi Kota Solo. Saat jari telusur mengetik kata “terorisme di solo” misalnya, dalam hitungan detik, media peramban berhasil mengumpulkan sekian banyak informasi berkenaan dengan hal tersebut. Bukan satu dua kali terduga teroris ditangkap di Kota Solo. Beberapa kali aksi bom bunuh diri juga terjadi di kota ini.
Selanjutnya, kendati tidak secara khusus dilakukan di Solo, hasil survei PPIM UIN Jakarta bekerja sama dengan UNDP Indonesia melalui program Convey tentang intoleransi di kalangan remaja perlu jadi perhatian. Survei yang menunjukkan 4 dari 10 generasi Z di Indonesia menyetujui tindakan intoleran dilakukan kepada kaum minoritas itu membuktikan bahwa bibit intoleransi sudah menjangkiti para remaja.
Temuan Convey Indonesia itu jadi pijakan penting bahwasanya sudah saatnya seluruh pihak terlibat aktif mengampanyekan narasi keberagama(a)n yang toleran dan inklusif. Baik dalam skala kecil hingga massif, dilakukan sendiri atau bersama-sama. Penggunaan medium yang beragam dan sesuai kebutuhan zaman juga perlu dipertimbangkan. Pada generasi Z misalnya, kampanye toleransi terbukti lebih efektif dilakukan melalui platform media sosial, seperti TikTok dan Instagram.
Selain peran aktif kelompok dalam bentuk program terstruktur seperti Convey, individu-individu khususnya publik figur berpaham moderat juga perlu terus mengampanyekan narasi toleransi di media sosial. Kita misalnya menyaksikan Habib Husein Ja’far Al-Hadar melalui konten-konten dakwah Islam inklusif di Instagram dan TikTok, Andovi da Lopez dan Jovial da Lopez melalui konten keberagaman dan keindonesiaan di YouTube skinnyindonesia24, dan masih banyak lagi.
Menyitir Goenawan Mohamad, jika buku merupakan ujud kalam atau argumen yang dituliskan yang lemah berbisik (Pada Masa Intoleransi, 2017: hlm. 84). Kendatipun lebih kaya ketimbang kata yang dipajang dan diteriakkan, kata-kata yang seolah hadir secara fisik melalui desain visual, gambar hidup, fotografi menjangkau sejumlah besar manusia sekaligus.
Massa bisa jadi kekuatan yang bersatu dalam kecenderungan selera yang bisa digerakkan atau terdorong untuk bergerak. Peran aktif kaum moderat dalam mengampanyekan narasi keberagaman dan keindonesiaan pada akhirnya bisa menciptakan kekuatan. Menghalau narasi-narasi intoleran yang kontraproduktif dengan jati diri bangsa Indonesia.
Selanjutnya, dalam pola kerja media sosial, penggunaan tagar atau kata kunci lain juga diperlukan. Semakin banyak warganet yang menggunakan tagar mempromosikan toleransi, maka narasi toleransi akan semakin terdengar gaungnya di media sosial. Selain itu, penggunaan tagar tersebut juga memudahkan warganet menelusuri konten-konten terkait toleransi.
Pada akhirnya, sikap-sikap manusiawi sedemikian rupalah yang membuat kita menjadi umat beragama yang penuh penghargaan. Mengamalkan agama sesuai kodrat Tuhan yang Maha Esa, yakni umat beragama yang mampu menebar rahmat dan kasih sayang bagi alam dengan segala isinya (Buku Saku Moderasi Beragama, 2019: hlm. 11).