Dalam suatu kesempatan, Abu Ja’far Muhammad bin al-Faraji sedang bersama dua rahib (pendeta). Mereka bertiga tersesat dan tak tahu di mana mereka berada. Saat itu, ketika hari mulai gelap, mereka mampir ke suatu tempat untuk beristirahat.
Kedua rahib melaksanakan ibadah dan Al-Faraji pun menjalankan salat maghrib. Setelah itu, salah seorang dari kedua rahib itu (rahib A) menempuk tanah dengan tangannya dan tiba-tiba keluarlah air. Makanan pun juga tiba-tiba tersedia di sana. Sontak, hal itu membuat al-Faraji heran. Mereka berdua pun akhirnya makan dan tak lupa menagajak al-Faraji untuk ikut menyantapnya.
Keesokan harinya, mereka (al-Faraji dan kedua rahib) melanjutkan perjalanan. Hingga malam pun tiba dan mereka beristirahat di suatu tempat lagi. Sama seperti malam sebelumnya, setelah beribadah, salah seorang dari kedua rahib itu (rahib B) berdoa dan menempuk tanah lagi. Makanan dan minuman pun tiba-tiba tersedia di sana.
Pada malam ketiga, salah seorang rahib meminta al-Faraji untuk berdoa untuk mendatangkan makanan, sama seperti yang mereka lakukan sebelumnya. “Sekarang giliranmu. Mintalah kepada Allah!”
Al-Faraji bingung. Dalam keadaan pikiran yang campur aduk itu, ia berdoa, “Ya Allah, aku sadar, dosaku sungguh banyak sehingga tak menyisakan tempat bagiku di sisi-Mu. Namun aku mohon kepada-Mu, jangan sampai mereka mempermalukan aku dan mereka kecewa dengan nabimu, Muhammad dan umatnya.”
Tiba-tiba air muncul dan tersedia makanan dan minuman. Mereka pun akhirnya makan dan minum bersama.
Apa yang mereka lakukan itu terus berlangsung, yakni kedua rahib dan al-Faraji bergiliran berdoa untuk mendatangkan makanan dan minuman. Hingga akhirnya, tiba giliran kedua bagi al-Faraji untuk berdoa. Makanan pun muncul, namun porsinya tak sebanyak yang pertama. Yakni hanya cukup untuk makan dua orang.
Hal demikian membuatnya memberikan makanan itu kepada raib-rahib itu. Mereka berdua makan dan al-Faraji hanya pura-pura makan. Yakni dengan cara menggengggam tangan seolah ia sedang mengambil makanan dan mulut yang digerak-gerakkan seolah sedang mengunyah.
Kejadian itu terulang lagi pada giliran al-Faraji yang ketiga. Makanan yang muncul hanya cukup untuk dua orang dan lagi-lagi ia mengalah. Melihat al-Faraji yang pura-pura makan, kedua rahib pun bertanya kenapa bisa demikian. Al-Faraji hanya menjawab, “Saya tidak tahu”.
Tengah malam setelah kejadian itu, ia mendangar ada suara yang berkata kepadanya, “Wahai Muhammad (bin Al-Faraji), kami hanya ingin kamu mendahulukan orang lain, sebagaimana ini kami khususkan (syariatkan) kepada Nabi Muhammad di antara para nabi dan rasul. Ini merupakan ciri khas dan karamah Nabi Muhammad saw. serta karamah umatnya sampai hari kiamat”.
Pada giliran keempat, hal itu terjadi lagi. Makanan yang tersedia tak cukup untuk makan tiga orang. Akhirnya, kedua rahib pun bertanya, “Wahai seorang muslim, mengapa makanan hasil doamu akhir-akhir ini berkurang dan tak sebanyak ketika pertama kali itu?”
Pertanyaan itu dijawab oleh Al-Faraji dengan balik bertanya, “Apa kalian tidak tahu apa ini?”.
“Tidak,” jawab kedua rahib.
Al-Faraji menjawab, “Ini adalah akhlak yang dikhususkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya. Allah menginginkan agar umat Islam lebih mendahulukan orang lain. Maka aku pun lebih mendahulukan kalian berdua daripada diriku sendiri.”
Kedua rahib pun takjub dengan akhlak dan keputusan al-Faraji. Hal itu membuat mereka akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Alhamdulillah.
Karena mereka sedang dalam keadaan tersesat, kedua rahib itu meminta al-Faraji untuk berdoa agar Allah sudi kiranya menunjukkan mereka jalan untuk keluar dari tempat itu. Doa al-Faraji pun terkabul. Ketika mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba mereka melihat rumah-rumah yang menandakan bahwa mereka telah sampai di Baitul Maqdis, Palestina. Alhamdulillah.
Kisah di atas penulis baca dan ringkas dari kitab Hilyah al-Awliya wa Thabaqat al-Asfiya’ karya Abu Nua’im Al-Ashfahani. Lewat kisah ini kita bisa belajar bahwa dalam urusan sosial, menghormati, mengalah dan mengutamakan orang lain—bahkan non muslim sekalipun—adalah anjuran agama. Allah Swt. berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)
Dalam tafsir al-Muntakhab dijelaskan, ayat ini menegaskan bahwa tak ada larangan bagi seorang mukmin untuk menghormati dan menjalin hubungan dengan orang non-muslim. Yakni dengan catatan, selama non-muslim itu tidak memerangi dan mengusir. Pada akhir penjelasan dalam tafsir tersebut juga disebutkan bahwa Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan dan menjalin silaturrahim.
Dari penjelasan di atas kita mengerti bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kita (umatnya, kaum muslim) untuk terus berbuat kebaikan kepada seluruh umat manusia. Tak peduli apa agama dan suku mereka. Selama mereka tidak mengganggu, maka berbuat baik kepada mereka adalah keharusan. Mereka yang non-muslim memang berbeda dengan kita dalam hal keyakinan, tapi sama dalam urusan kemanusiaan.
Juga, lewat kisah di atas kita bisa membaca bahwa akhlak bagi seorang muslim adalah kunci. Akhlak yang baik akan menunjukkan hakikat Islam itu sendiri. Orang di luar Islam akan membaca dan memahami Islam bukan dari khutbah yang kita sampaikan, namun lebih kepada akhlak yang kita tampilkan.
Akhlak yang baik tidak saja membuat orang simpati kepada kita orang muslim, namun tak menutup kemungkinan akan bisa membuat mereka tertarik dan memeluk Islam. Wallahu a’lam.
Sumber:
Al-Ashfahani, Abu Nua’im. Hilyah al-Awliya wa Thabaqat al-Asfiya’. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Al-Azhar, Tim Lajnah Ulama. al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Mesir: al-Majlis al-A’la, 1995