Tanah Persia merupakan lahan subur dari tumbuhnya mistisme dalam Islam. Dari generasi ke generasi, tanah ini selalu melahirkan tokoh-tokoh sufi yang disegani.  Salah satu tokoh sufi yang banyak menyita perhatian adalah Ain al-Qudzat al-Hamadani.

Ia merupakan seorang master sufi kontroversial yang lahir tahun 1098 di Hamedan yang menjadi bagian dari Iran saat ini. Keluarganya berasal dari Azerbaijan yang hijrah ke daratan Iran. Ayahnya adalah seorang hakim terpandang yang memungkinkan dirinya untuk mereguk ilmu pengetahuan dalam bidang fiqih dan hukum.

Namun, semangat intelektual muda yang dimilikinya menarik dia ke kajian filsafat dan mistisme. Ketekunannya dalam menuntut ilmu menjadikannya seorang teolog dan filsuf di usia yang relatif muda yakni 20 tahun. Pada umur tersebut, ia sudah menulis banyak risalah-risalah terkait dengan persoalan-persoalan yang rumit.

Ain al-Qudzat ini sezaman dengan Imam al-Ghazali dan di antara mereka terdapat kesamaan yang menghubungkan keduanya. Mereka sama-sama mengalami keterjebakan dalam sebuah keraguan terhadap ilmu yang dimilikinya. Mereka pun mendapat keyakinan setelah memperdalam dunia mistisme.

Berbeda dengan al-Ghazali yang meninggalkan ruang publik sebagai seorang guru dan memilih jalan kesunyian, Ain al-Qudzat dengan semangat mudanya justru menampakkan skeptisismenya secara publik.

Pertemuan dengan Ahmad al-Ghazali, adik kandung Imam al-Ghazali di Hamedan menjadi titik balik kehidupan spiritualnya. Ia tertarik untuk mendalami mistisisme sebagai sebuah jawaban dari keraguan yang sedang menghinggapinya.

Dia menapaki jalan mistisisme melalui teologi dan filsafat. Teologi dan filsafat tidak cukup mampu memberikan keyakinan terhadap dirinya dan menganggap keduanya menemui jalan buntu dalam meraih keyakinan.

Sebelum bertemu dengan Ahmad al-Ghazali, Ain al-Qudzat sebetulnya ketika mengalami kebingungan menelaah kitab Ihya Ulumuddinnya al-Ghazali. Dalam satu keterangan, ia mengatakan bahwa mata batinnya terbuka karena berkah dari kitab karya sang Hujjatul Islam. Tak berselang lama setelah itu, ia berjumpa dengan seorang master sufi Ahmad al-Ghazali yang menambah kemantapannya untuk menempuh jalan sufisme.

Setelah berpisah pun mereka tetap berhubungan dengan saling berbalas surat. Ahmad al-Ghazali membimbing Ain al-Qudzat untuk mencapai kemajuan spiritual yang mampu mengantarnya menuju gerbang keilahian. Proses seperti ini menyadarkan beliau  bahwa menelaah kitab-kitab tasawuf saja tidak cukup, tetapi kehadiran guru ruhani atau mursyid adalah hal yang utama dalam menapaki jalan sufi.

Tak berselang lama, Ain al-Qudzat pun di usia muda telah mencapai tingkat tertinggi dalam hirarki sufisme. Ia mengalami sebuah kematian mistik atau fana yakni peleburan diri sepenuhnya kepada Dia sebagai wujud hakiki.

Ain al-Qudzat telah mencapai tingkat tertinggi dalam sufisme. Jalan untuk mencapainya adalah dengan menghancurkan hawa nafsu atau ego. Kesadaran terhadap diri adalah penghalang utama untuk mencapai fana. Dia tidak lagi merasakan dirinya eksis.

Sebaliknya, kesadarannya sepenuhnya diliputi oleh Dia Sang Wajibul Wujud. Oleh karenanya, maka tak heran kalimat-kalimat kontroversial keluar dari ucapannya. Ia mengaku sebagai Tuhan sama seperti al-Hallaj yang dibelanya.

Tak pelak ungkapan esoterisnya ini membuat gaduh masyarakat Hamedan. Pertentangan antara ahli fiqih dengan mistik mengemuka kembali setelah sebelumnya diredakan oleh al-Ghazali. Persepsi diri sufi yang mencakup keberhadiran Ilahi tidak dapat diterima oleh ahli hukum yang meniscayakan adanya persepsi lain di luar Tuhan.

Pertentangan wacana ini menyeret Ain al-Qudzat ke dalam situasi berbahaya. Ia mendapat tuduhan zindiq dan murtad yang hukumannya jelas setimpal dengan nyawa.

Tuduhan tersebut berhasil untuk menarik dukungan masyarakat, tetapi belum tentu mendapat persetujuan politik dan penguasa. Untuk meyakinkan pihak istana supaya menghukum Ain al-Qudzat, dilancarkan lah tuduhan lain yang mengatakan bahwa ia berafiliasi kepada Syi’ah Ismailiyah yang waktu itu menjadi musuh kerajaan.

Saat itu, dinasti Seljuk mendapat ancaman politik dari Ismailiyah yang berpusat di Alamut pimpinan Hasan Sabbah. Tuduhan ini berakar dari pemikiran Ain al-Qudzat yang mengharuskan adanya guru ruhani dalam menapaki kehidupan.

Akhirnya, Ain al-Qudzat dinyatakan bersalah baik secara agama maupun politik. Putusan pengadilan yang mendapat persetujuan penguasa sudah diketuk yakni berupa hukuman mati. Namun, kematiannya lebih mengerikan dari sekadar hukuman gantung. Seorang menteri Seljuk yang bernama Qawam al-Din Abu Qasim Ibn Hasan Daragazini mengeluarkan perintah untuk membantai Ain al-Qudzat yang sebelumnya ditahan di Baghdad.

Setelah beberapa saat, dia dikirim kembali ke Hamedan dan dihukum mati tepat di pintu masuk sekolah tempat dia mengajar. Itu terjadi tahun 1130 M dimana Ain al-Qudzat baru memasuki usia 33 tahun. Lantas, tubuhnya dibungkus dalam sebuah kain dan dibakar. Kemudian, abunya ditaburkan ke udara di langit Hamedan.

Menurut Hamid Dabasyi, dia dihukum karena mampu mencapai tingkat spiritual yang tinggi yang mengguncang kemapanan para ahli hukum, teolog, filsuf, dan mistikus yang secara politik benar.

Imam Jalal al-Suyuti salah satu pembela Ibnu Arabi yang gigih mengatakan “Orang besar dalam sejarah selalu mempunyai musuh orang-orang bodoh”. Begitu juga dengan Ain al-Qudzat, kecermelangannya tidak disukai oleh orang-orang yang tidak memahaminya. Kehidupannya berakhir dengan tragis di tiang gantung. Ia menjadi martir lain dari kaum sufi selain Suhrawardi dan al-Hallaj.

Sebelum kematiannya, Ain al-Qudzat telah menulis banyak risalah, tetapi hanya sedikit yang sampai kepada kita. Di antara risalahnya yang masyhur adalah Tamhidat. Kitab ini menjadi rujukan wajib bagi penganut tarekat Chistiyyah yang bermarkas di Delhi. Di anak benua India, kitab ini sangat populer, sehingga banyak yang menulis ulasan tentangnya dan bahkan diterjemahkan ke dalam  bahasa Urdu.

Kitab lainnya yang  masih bisa dinikmati adalah Syakwa al-Gharib. Kitab ini berisi pembelaan-pembelaan Ain al-Qudzat terhadap tuduhan-tuduhan yang dilancarkan kepadanya. Kitab ini ditulis ketika beliau dalam masa tahanan. Kitab ini juga dipuji karena keindahan bahasanya.

Ain al-Qudzat adalah korban lain dari pertentangan antara ahli fiqih dan mistis. Pencapaian tingkat spiritual pribadi dan keberaniannya dalam mengungkapkan perasaan kebenarannya di muka umum telah menyeretnya menjadi seorang martir yang akan selalu dikenang oleh mereka yang menapaki jalan sufisme.

Leave a Response