Aisyah Al-Ba‘uniyyah, Perempuan Sufi Era Dinasti Mamluk (Bag. II)
Sebagai seorang intelektual dan sufi perempuan berpengaruh, ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah banyak menghasilkan karya syair, prosa, dan kitab sufistik. Sayangnya, sebagaimana pengakuan ‘Aisyah, karya-karyanya tersebut banyak yang hilang karena berbagai hal, termasuk perampokan ketika ‘Aisyah melakukan rihlah ke berbagai tempat.
Dari sekian banyak karya tersebut, sedikitnya ada tiga kitab yang dapat ditemukan oleh penulis. Kitab pertama berjudul Faydh al-Fadhl wa Jam’ al-Syaml. Kitab ini memuat lebih dari 370 bait puisi sufistik berupa munajat-munajat dan doa-doa kepada Allah Swt. Versi yang penulis simpan adalah yang telah ditahqiq dan disyarah oleh Mahdi As’ad ‘Arar dari Universitas Birzeit, Palestina dan terbit pada tahun 2009.
Kitab yang telah ditahqiq ini secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama mukadimah tahqiq terdiri dari tiga bab: biografi penulis, penjelasan tentang kitab, dan metode tahqiq yang digunakan. Sedangkan bagian kedua adalah isi dari keseluruhan kitab: sedikit mukadimah dari ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah dan syair-syairnya disertai catatan kaki dari pentahqiq berisi kosakata sulit yang dianggap perlu dijelaskan.
Matra (bahar) bait-bait puisi yang disuguhkan dalam kitab Faydh al-Fadh ini amat beragam, mulai dari ta’wil, kamil, basit, majzu’ al-raml, dan lain lain. Hal ini menandakan ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah tidak sekedar menguasai sastra dari segi konsep, tetapi sudah menjadi bagian dari sastra itu sendiri. Berikut ini adalah contoh dari puisi dalam matra basit yang ada dalam kitab tersebut:
Letak martabat para hamba (muhibbin) adalah cukup bagi mereka kecintaan kepada al-Haq, bukan kepada makhluk. Tidak ada bagi mereka kemuliaan kecuali al-Ridha sebagai maksud dan tujuan.
Kitab kedua adalah al-Fath al-Mubin fi Madh al-Amin. Kitab ini berupa syair-syair yang berisi pujian-pujian (madh) kepada Nabi saw, pernyataan-pernyataan puitis tentang kerinduan dan kekaguman kepada Nabi saw, serta puitisasi hadis-hadis Nabi saw.
Kitab yang penulis dapatkan adalah versi syarah dengan judul al-Badi’ah wa Syarhuha al-Fath al-Mubin fi Madh al-Amin yang ditransliterasi dan ditulis oleh Adil ‘Izzawi dan Abbas Tsabit. Kitab ini diterbitkan Dar Kanan, Damaskus pada tahun 2009.
Penggunaan judul al-Badi’ah oleh pentahqiq merujuk pada corak puisi yang digunakan ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah adalah ragam badi‘, seluruh baitnya menggunakan badi‘ yang berbeda-beda seperti isti’arah, nazahah, tajahul al-‘arif, dan lain-lain.
Kitab ini menurut penulis lebih sulit dipahami dibandingkan kitab Faydh al-Fadhl. Para pentahqiq melakukan syarah yang cukup komprehensif dengan menjelaskan setiap bait dan badi‘ dan memberikan komparasi dengan syair lain.
Adapun kitab ketiga berjudul al-Muntakhab fi Ushul al-Rutab fi ‘Ilm al-Tashawwuf. Berbeda dengan dua kitab sebelumnya, kitab ini berisi prinsip-prinsip dasar Ilmu Tasawuf. Kitab yang penulis dapatkan adalah versi yang diterbikan oleh Library of Arabic Literature, New York University dan ditransliterasikan oleh Emil Homerin.
Dalam kitab ini ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah menuliskan empat prinsip dasar tasawuf: taubat, ikhlas, dzikir, dan mahabbah. Dalam menjelaskan konsep per konsep, pertama-tama ia mengutip ayat Al-Quran. Kemudian menguraikan makna konsep tersebut baik dari segi bahasa maupun dalam istilah tasawuf.
Setelah itu, ia mengutip hadis, mengutip banyak atsar, dan perkataan ulama terkait dengan konsep yang sedang dijelaskan. Tidak lupa ‘Aisyah al-Ba’uniyyah mengutip syair-syair dan juga menuliskan syair-syairnya sendiri ketika menjelaskan masing-masing konsep.
Ketika menjelaskan tentang prinsip taubat misalnya, ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah mengutip setidaknya lima penggalan ayat dalam permulaan penjelasannya yaitu: Q.S Al-Nur ayat 31, Hud ayat 90, al-Tahrim ayat 8, al-Hujurat ayat 11, dan surah al-Baqarah ayat 222.
‘Aisyah kemudian menerangkan bahwa kata ta>ba, a>b, dan ana>b bermakna al-ruju‘ artinya kembali. Lalu ia menjelaskan tentang klasifikasi taubat dalam ilmu tasawuf.
Menurutnya, taubat bisa dibagi menjadi dua: taubat dzahir dan taubat batin. Taubat dzahir adalah kembali dari tindakan tercela kepada tindakan terpuji (al-ruju’ min dzamim al-af’al ila hamidiha), sedangkan taubat batin ialah kembali dari segala sesuatu menuju kepada-Nya (al-ruju’ min kulli syai’in ilaihi).
Ia juga menerangkan bahwa untuk bisa diterima taubat harus disertai dengan rasa sedih telah berbuat dosa (nadam ‘ala al-dzanbi), menyesal (iqla’), dan bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa. ‘Aisyah juga menekankan untuk dosa-dosa yang berkaitan dengan makhluk, maka cara taubatnya adalah memurnikan perbuatan dosa itu dengan dengan memberikan hak mereka yang ditelah dizalimi.
Setelah menjelaskan tentang konsep taubat, ‘Aisyah mengutip banyak riwayat hadis, atsar, perkataan salaf terkait dengan keutamaan taubat, perintah untuk taubat, dan kisah-kisah menyangkut keutamaan taubat.
Salah satu kisah yang dikutipnya adalah tentang taubat Ibrahim bin Adham yang sedang berburu rusa, kemudian terdengar suara memanggil, “apakah untuk ini kamu diciptakan?” Singkat cerita, ketika telah mendengar suara tersebut Ibrahim bin Adham bertaubat dan menanggalkan jubah kemewahannya.
Dalam kitab ini, ‘Aisyah juga menegaskan bahwa taubat adalah bagian dari karunia Allah Swt yang diberikan kepada hamba-hambaNya yang terpilih. Menurutnya, tidak semua orang mampu untuk bertaubat kecuali atas pertolongan Allah Swt. Contoh salah satu syair karya ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah terkait dengan taubat:
Bila keadaanku teramat lemah efek dari besarnya kesalahanku, maka keyakinanku atas keluhuran-Mu adalah obatnya. Dan jika wajahku terhimpit karena ketergelinciran, maka berbaik sangka kepada-Mu melapangkan.
Selain tiga karya di atas, ada beberapa karya yang disebutkan para pentahqiq ketika menjelaskan tentang biografi ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah antara lain al-Isyarat al-Khafiyyah fi Manazil al-‘Aliyyah, Tasyrif al-Fikr fi Nadzmi Fawaid al-Dzikr, al-Maurid al-Ahna fi al-Maulid al-Asna, Diwan ‘Aisyah al-Ba‘uniyyah, dan karya-karya lainnya.
Masih banyak dari karya-karya ‘Aisyah yang belum ditemukan dan belum ditahqiq. Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa pada masanya, seorang perempuan sudah bisa sangat produktif melahirkan karya tulis. Wallahu A’lam.