Nama dan pemikiran al-Biruni di dalam beberapa literatur filsafat Islam di Indonesia, baik literatur filsafat karya para penulis Indonesia maupun literatur filsafat Islam terjemahan, sedikit sekali diekspos ruang publik. Dan bisa dikatakan, kajian tentang pemikiran al-Biruni di ruang akademik sangat jarang dilakukan, bahkan tak ada. Hal ini berbanding lurus dengan kajian pemikiran al-Farabi, ar-Razi, Ibnu Sina, apalagi al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, al-Bajjah dan Ibnu Khaldun.
Sebut saja misalnya, dua karya intelektual Indonesia, Harun Nasution dan Nurcholish Madjid yang sempat menjadi buku babon dalam kajian filsafat di Indonesia, berjudul Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Bulan Bintang. 1973), Khazanah Intelektual Islam, (Bulan Bintang. 1984), dan Para Filosof Muslim, (Mizan, 1875) karya M.M. Syarif.
Padahal, al-Biruni adalah salah satu di antara intelektual, ilmuan, dan filosof yang lahir dari peradaban keemasan Islam abad ke-11 M. yang banyak menentang pemikiran umum para filosof Yunani dan filosof Muslim, dengan berusaha mencoba melakukan percobaan untuk mencari kesimpulan di antara teori-teori yang sudah dikembangkan para pendahulunya.
Beliau menolak pandangan Ibnu Sina dan mempertanyakan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa gravitasi tak mempengaruhi gerak benda langit.
Kritiknya pada Ibnu Sina sebagai penerus al-Farabi dituangkan dalam bukunya Kitab al-Atsar al-Baqiyah ‘an al-Qurun al-Khaliyah. Ia menuliskan “banyak orang menghubungkan apa yang tak mereka ketahui dalam ilmu alam dengan kebijakan Allah”.
Tentu kritik ini ditunjukkan filosof yang lebih suka mengabaikan suatu peristiwa daripada berupaya mencari tahu penyebab alami yang sebenarnya.
Nama lengkapnya adalah Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni, lahir di luar kota Kath, (sekarang dikenal sebagai kota Khiva, Uzbekistan) pada 04 september 973 M. dan meninggal di Ghazanah pada 1048.
Tak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Biruni karena dia bukan termasuk dari keluarga terkemuka, dan bahkan tidak pernah menulis otobiografi. Riwayat lain mengatakan beliau berasal dari keluarga sederhana Muslim Syiah yang aslinya berasal dari negara Tajikistan di Asia Tengah sebelah Barat Tiongkok.
Secara giografis kehidupan al-Biruni dipenuhi pergulatan kekuasaan antar dinasti selama zaman pertengahan yang terpecah-belah. Di daerah Khawarizm tempat tinggal al-Biruni terbelah sepanjang aliran sungai Oxus, kedua sesi dikuasai dinasti berbeda yang tak mau mengalah. Di sisi Barat dikuasai Abu Ali Ma’muni bin Muhammad dari Dinasti Ma’muni, berkuasa sejak 992 hingga 997, dan di sisi Timur dengan ibukotanya Kath dikuasai Dinasti Banu Iraq.
Meski demikian, sejak masa muda, sudah dikenal sebagai pemuda berprestasi akademik. Pemikirannya sangat analitis dan sangat tertarik pada matematika dan astronomi, dengan menggunakan sudut pandang ahli sejarah serta kebudayaan.
Al-Biruni juga dikenal sebagai intelektual religiusitas tinggi, rajin dan sangat cerdas yang mendorong pencarian ilmu. Tercatat, al-Biruni sudah menulis 180 buku sepanjang hidupnya. Maka tak heran, dengan keluwesan intelektual yang dimilikinya ini, ia dimasukkan kelompok elit intelektual besar Muslim sepanjang sejarah peradaban ilmu pengetahuan Islam .
Karena hidup dan bekerja selama kejayaan peradaban ilmu pengetahuan Islam , beliau tak pernah berkeluarga dan terus termotivasi serta ditantang oleh para guru dan juga para sejawatnya, yang semuamya para intelektual hebat. Sepanjang hidupnya mengabdikan diri untuk mencari ilmu pengetahuan dan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk belajar di istana para sultan.
Pemikiran al-Biruni banyak dipengaruhi oleh para pendahulunya. Sebut saja misalnya, ketika melakukan studi perbandingan agama, menggunakan pendekatan yang diilhami al-Sirat al-Falsifah dan beberapa karya al-Razi (865-925 M). Dalam matematika, astronomi dan geometri banyak dipengaruhi Abu Nashr Manshur bin Iraq (970-1036 M) serta Muhammad al-Khawarizmi (780-850 M).
Di antara karyanya di bidang geografi, sejarah dan perbandingan agama yang paling terkenal adalah Tarikh al–Hind (Sejarah India), di dalamnya berisi tentang garis lintang kota-kota India, termasuk kota-kota besar seperti Kashmir, Varanasi dan Multan yang saat ini dikenal sebagai pusat ziarah agama Hindu. Serta berisi tentang budaya, agama, lingkungan, sastra dan juga teori sains India yang langsung dari para cendekiawan Hindu Balabhadra.
Oleh karena itu, ia dianggap sebagai intelektual Muslim pertama yang memperkenalkan Bhagawad Gita pada pembaca Muslim, serta menunjukkan kesamaan dan perbedaan antara umat Hindu dan Islam.
Dalam Tarikh al-Hind, al-Biruni menyatakan “Tak seorang pun akan menyangkal bahwa dalam pertanyaan-pertanyaan kesahihan sejarah, desas-desus tidak setara dengan saksi mata.”
Di dalam bidang astronomi ia menulis buku al-Qunun al-Mas’udi, berisi tentang rumus-rumus matematika yang kemudian memberikan kontribusi pada trigonometri serta berisi pengkuran jarak antara bumi dan benda langit, memperluas batas-batas matematika, yang pada saat itu belum cukup untuk mengukur secara tepat ukuran jarak benda-benda langit.
Karya lain di bidang astronomi adalah kitab Fi Isti’ab al-Wujuh al-Mumkina di Shan’at al-Asturlab (kitab kemampuan yang memungkinkan pembuatan astrolabe), menjabarkan penggunaan astrolabe untuk mengukur keliling bumi. Pengukuran yang dilakukan al-Biruni terhadap keliling bumi adalah 39.964,9 kilometer. Pengukuran ini dianggap sebagai paling akurat sejak zaman pertengahan dan hanya meleset 322 km dari pengukuran saat ini.
Penghitungan lain yang dilakukan al-Biruni adalah mengenai panjang tahun syamsiah (matahari) yang dianggap paling akurat sejak zaman pertengahan, hasil akhirnya bahwa ada 365 hari, 5 jam, dan 49 menit, dan hanya selisih di bawah 15 menit dengan hasil perhitungan zaman sekarang.
Apa yang sebenarnya dilakukan oleh al-Biruni hanyalah merupakan suatu upaya untuk menerapkan konsep kesatuan ilmu, tanpa ada celah untuk melecengkan dari kebenaran dan kalam tauhid tuhan. Serta mengilhami generasi berikutnya agar mencapai kebesaran peradaban ilmu pengetahuan Islam dari seorang intelektual, sekaligus astronomi abad 11 M.
Pada akhirnya, mengutip kalimat al-Biruni dalam Tarikh al-Hind (Sejarah India), “Kami meminta kepada Allah untuk mengampuni kami apabila ada pernyataan kami yang ternyata tak benar. Kami meminta kepada Allah agar membimbing kami ke pemahaman yang tepat mengenai hakikat kebatilan dan kesia-siaan supaya kami dapat menyisihkannya sebagaimana memisahkan sekam dari padi.”