Al-Kindi adalah sosok filosof muslim, yang pertama-tama berupaya mempertemukan pandangan Plato dan Aristoteles serta menyelaraskan antara ajaran Islam dengan Filsafat Yunani. Beliau lahir di Kufah sekitar tahun 185 H/801 M.
Dalam pemikirannya, Al-Kindi sangat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang sebuah realitas. Di sisi lain, beliau juga mengakui keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan yang metaphisis. Oleh karena itu, diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal yang diluar jangkauan akal pikiran manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan.
Dalam hal ini, Al-Kindi tidak sependapat dengan filosof Yunani seperti Aristoteles yang menyatakan bahwa alam ini tidak diciptakan dan tidak bersifat abadi. Bagi Al-Kindi alam ini berasal dari ciptaan Tuhan yang semula tidak ada menjadi ada, sehingga alam ini tidak kekal.
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan dan upaya manusia dalam meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Al-Kindi juga menyatakan filsafat adalah latihan untuk mati, dalam artian mematikan hawa nafsu untuk mencapai keutamaan. Filsafat merupakan pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan.
Selain itu, filsafat bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran, tetapi juga aktualisasi dari kebenaran tersebut. Jadi, filosof sejati adalah mereka yang dapat memperoleh kebijaksanaan dan mengamalkannya.
Bahkan Al-Kindi pernah mengatakan; “Kita tidak perlu malu untuk mengakui kebenaran atau mengambilnya darimanapun datangnya, meskipun datang dari bangsa lain yang sangat besar perbedaannya dengan kita, sebab tidak ada yang lebih utama bagi pencari kebenaran selain dari kebenaran itu sendiri, sehingga orang yang mengingkari filsafat berarti mengingkari kebenaran itu sendiri”.
Dalam kitab Al-Janib Al-Ilahi Min At-Tafkir Al-Islami karya Muhammad Al-Bahi, Al-Kindi adalah orang pertama yang mengarahkan filsafat ke bentuk perpaduan antara pendapat Plato dan Aristoteles serta menyelaraskan antara filsafat dan agama. Menurut Al-Kindi, antara agama dan filsafat keduanya mencari kebenaran. Agama menempuh jalur syara’ sedangkan filsafat menempuh jalan dalil akal.
Al-Kindi juga menyatakan bahwa antara agama dan filsafat tidaklah harus dipertentangkan, karena keduanya membawa kebenaran yang serupa, yang meliputi ilmu-ilmu seperti ketuhanaan, keesaan, dan ilmu-ilmu lain yang bermanfaat bagi manusia. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya dalam cara, sumber dan ciri-cirinya saja, sehingga jalan keluarnya adalah dengan kembali kepada hakikat atau makna majasi dari syara’.
Dalam upaya menyelaraskan antara filsafat dengan agama, Al-Kindi kemudian membahas hal-hal yang ada dalam filsafat Yunani seperti metafisika, alam fisika, dan jiwa manusia.Pemikiran Al-Kindi tentang metafisika bertujuan untuk membuktikan wujud Allah Swt dengan dalil empiris.
Seperti barunya alam ini menunjukkan bahwa alam ini ada yang menciptakannya. Di mana hukum alam terwujud dan berjalan dengan sesuai tuntunan Allah Swt. Sedangkan dzat dan sifat Tuhan adalah wujud yang maha sempurna, tidak berakhir dan tidak berwujud sesuatu tanpa wujudnya.
Selain itu, Al-Kindi juga menjelaskan tentang keesaan Tuhan bahwa Tuhan bukan benda, bukan form, tidak mempunyai kuantitas, tidak mempunyai kualitas dan tidak berhubungan dengan yang lain, tidak bertubuh, tidak bergerak tetapi Tuhan adalah keesaan belaka.
Al-Kindi juga menyatakan bahwa alam ini dijadikan Allah Swt dari tidak ada menjadi ada, kemudian mengendalikannya dan mengaturnya, serta menjadikan sebagiannya sebagai sebab bagi yang lain. Dalam hal ini, Al-Kindi menyanggah pandangan Aristoteles tentang qadimnya alam.
Sumbangsih Al-Kindi dalam dunia filsafat Islam begitu besar, beliau tidak hanya menerjemahkan pemikiran-pemikiran filsafat Yunani tetapi juga mengaitkannya dengan agama Islam. Mana yang tepat dan mana yang kurang tepat dalam filsafat Yunani.
Oleh karena itu dalam menyikapi para filosof Yunani, Al-Kindi menyatakan; “Adalah kewajiban kita untuk tidak mencela orang yang telah memberi manfaat besar bagi kita. Meskipun para filosof itu tidak berhasil mencapai sebagian kebenaran, mereka adalah saudara yang telah memberikan buah pemikiran bagi kita.
…sehingga menjadi jalan dan alat untuk mengetahui banyak hal yang belum tercapai. Para filosof juga menyadari bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebenaran yang sempurna dengan upaya sendiri. Masing-masing pihak mungkin hanya dapat memperolehnya sedikit, tetapi bila dikumpulkan yang sedikit itu niscaya akan menjadi bukit”.